Senin, 30 Januari 2012

Pemimpin Umat yang Galau


Kalau dalam artikel sebelumnya saya membahas umat narsis dan lebay, sekarang gentian pemimpin umat yang galau. Kalimat pemimpin umat yang galau di sini punya dua arti. Pertama, umatnya yang galau. Kedua, pemimpinnya yang galau.  Dalam artikel ini pilihan saya jatuh pada yang kedua. Dan di sini saya khusus membahas kapasitas ketua MUI yang dalam derajat tertentu bisa juga disebut pemimpin umat. Mengenai perkara Gereja Yasmin, dalam sebuah talkshow di sebuah stasiun televisi Ketua MUI menanggapi perkara pelarangan pendirian gereja tersebut dengan kalimat yang bunyinya demikian kira-kira: “Bukan hanya orang Kristen yang dilarang mendirikan gereja, tapi umat Islam di bagian timur Indonesia juga diperlakukan demikian, dilarang mendirikan masjid.”
Atau begitulah kira-kira, saya tidak hapal tepatnya. Suatu statement yang bukan hanya menyimpang dari akar masalah, namun juga mengusung semangat bela diri yang sangat berlebihan dan berpotensi kian mengobarkan bara masalah. Kemudian dengan penuh rasa percaya diri ia menyebut berbagai daerah sebagai contoh, di antaranya Sulawesi Utara. Ketika seorang sosiolog atau apalah yang jadi rekan narasumber dalam acara tersebut mempertanyakan validitas statementnya tersebut karena sepanjang yang semua orang tahu Minahasa adalah daerah dengan tingkat kerukunan beragama terbaik di Indonesia, dengan ringan dan lucu sang Ketua berkata begini kira-kira: “Saya dapat info dari sumber di daerah.” Sudah, begitu saja. Tanpa data atau apapun juga. Tanpa rasa bersalah atau apa, dengan wajah yang sangat lempeng. Luar biasa.

Sebuah statement yang benar-benar menyakiti perasaan umat yang sudah bekerja dan berusaha keras untuk menciptakan negeri yang damai sejahtera (baca posting saya yang lama: Negeri Minahasa, Surga Bagi Kerukunan Antar Umat Beragama). Bukan hanya umat mayoritas yakni Kristen, namun juga Muslim, dan umat lain yang sudah bekerja keras demi perdamaian di daerah mereka. Salah seorang teman saya, orang Jawa, Islam, yang pernah tinggal 4 tahun di Manado, yang biasanya selalu membuat status serta komentar lucu gila-gilaan, mendadak dengan emosi berkomentar begini, “Wkhfahflauiefnajfakjehruhnfkajfeu!!!! (ekspresi kemarahan yang sebaiknya tidak saya terjemahkan). Hanya orang-orang yang tak pernah merasakan hidup di sana sajalah yang bisa berkomentar blablabla seenak udelnya bodong.” (Meskipun dalam hal ini saya bertanya-tanya dari mana si teman itu tahu bahwa orang yang berkomentar asal tersebut udelnya bodong).

Namun yang jadi masalah bukanlah udel yang bodong atau tidak, melainkan betapa tidak pantasnya seseorang dengan kapasitas seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia di sebuah negara dengan seratus sekian puluh juta umat Muslim, yang mana tidak semuanya bijaksana dan berjiwa besar seperti yang direpresentasikan dengan jelas oleh kaum narsis ( lihat posting berjudul ‘Umat Narsis dan Umat Lebay’), mengeluarkan statement semacam itu. Saya tidak mau membahas perkara lainnya, saya hanya ingin membahas statement itu saja. Dari pernyataan tersebut bisa ditangkap sedikitnya:
1.      Sang ketua jelas berusaha ingin mengaburkan masalah dengan melarikannya pada hal lain, tepat seperti petuah tak bijak yang mengatakan ‘Kalau ingin menghilangkan bau pete, makanlah jengkol’. Bau petenya memang hilang, tapi gantian bau jengkol yang eksis. Atau malah bau ajaib perkawinan antara pete dan jengkol. Yang artinya, memunculkan masalah baru. Dalam hal statement ketua MUI tersebut masalah yang bisa timbul di antaranya adalah:
a.      Umat narsis jadi semakin besar kepala dan kian gila-gilaan dalam menjalankan aksi mereka.
b.      Umat yang tidak narsispun bisa jadi terpengaruh, walaupun tidak serta merta mendadak narsis dalam derajat kengerian yang sama dengan para narsis kampiun yang sudah lama berkecimpung dalam dunia narsisme.
c.       Umat lebay jadi  tambah tidak terima, karena selama ini mereka merasa orang Kristenlah yang melulu jadi korban. Kemudian mereka jadi kian hiperbolik dalam menyebarkan kampanye berat sebelah mereka.
d.      Umat di daerah-daerah ‘tertuduh’ dalam statement  tersebut berpotensi merasa sakit hati. Terutama daerah yang sudah terbukti melaksanakan dengan nyaris sempurna sila pertama dan ketiga Pancasila, seperti Manado, misalnya. Dan melaksanakan dua sila tersebut adalah perkara yang sama sekali tidak mudah, terlebih jika usaha tersebut sudah dilakukan selama berbilang dekade atau bahkan mungkin abad, diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Belum terhitung tantangan dari luar, misalnya berita-berita di media yang mudah sekali diakses yang kebanyakan distorsif, menjengkelkan, enggak penting banget, dan cenderung dibuat untuk mengombang-ambingkan hati rakyat tersebut. Jadi patutlah kita semua meneladani keberhasilan rakyat Minahasa atau manapun juga dalam menegakkan cara hidup yang bijaksana tersebut. Kalau memang tak mampu, setidaknya kita bisa tutup mulut, terutama jika kita adalah seorang tokoh, terlebih pemimpin umat yang semestinya bisa menjadi panutan.

2.      Sang Ketua tidak memiliki kualitas sebagai seorang pemimpin.
                                                                                                                        
Bertolak dari kalimat ‘siapapun lebih baik tutup mulut jika tak mampu melakukukan suatu hal yang baik, termasuk jika itu adalah seorang pemimpin sekalipun’ di atas, adalah suatu kecelakaan yang fatal jika seorang pemimpin umat hanya memilih tutup mulut. Sebab salah satu kualifikasi yang dibutuhkan dari seorang pemimpin umat adalah kemampuan berkomunikasi yang baik. Kemampuan ini termasuk (dan terutama) menenangkan hati umatnya yang sedang galau. Seorang pemimpin umat tentu dituntut untuk punya hubungan pribadi yang dengan Tuhan. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, maka akan semakin berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan pulalah tutur katanya. Jika ia tak punya kemampuan untuk itu, maka kita bisa mempertanyakan kualitasnya, apakah sebagai pemimpin atau penguji? Dalam hal ini adalah penguji kesabaran dan kualitas kita sebagai hamba, apakah lebih memilih untuk kembali kepada firman Tuhan atau kepada orasi pemimpin yang bagaimanapun adalah manusia biasa, yang ujung-ujungnya kultus individu. Seorang pemimpin yang tidak bijaksana bisa tergelincir dari menjalankan peran sebagai seorang yang menuntun atau seorang yang mencobai manusia-manusia lainnya.  Kedekatan dengan Tuhan akan memberi seseorang, siapapun itu, terutama seorang pemimpin, karakteristik-karakteristik unggul macam ketenangan, kebijaksanaan, kedalaman pikir, dan terutama hikmat marifat. Kebalikan dari itu adalah jiwa yang grusa-grusu, yang dalam istilah populernya sekarang galau.

Hanya jiwa galaulah yang bisa mendorong seseorang melakukan tindakan pecicilan yang berpotensi merugikan orang lain. Kegalauan pulalah yang membuat seseorang kebingungan dan tak tahu apa yang harus ia katakan. Ada banyak sekali hal negatif yang bisa dilakukan oleh seseorang yang galau, sebab kegalauan adalah suatu kondisi di mana kita tak punya pijakan pasti. Seorang pemimpin yang kuat dan tenang akan tahu tindakan dan atau kata-kata apa saja yang harus ia tunjukkan untuk meredakan kegalauan umatnya. Namun seorang pemimpin yang galau tidak akan bisa melakukan apapun kecuali melakukan tindakan ugal-ugalan yang menginspirasi orang lain, terutama umatnya, untuk melakukan hal buruk. Seorang pemimpin yang galau tidak bisa tidak hanya mampu mengeluarkan statemen yang makin mengobarkan api. Lidah seorang pemimpin yang galau ibarat bahan bakar yang siap menyulut api yang kecil menjadi kobaran besar. Lidah pemimpin yang galau bukan hanya akan jadi harimau bagi dirinya sendiri, namun juga bagi umatnya dan umat yang lain.
               
           Saya tidak tahu dengan anda, tapi saya pribadi tidak membutuhkan pemimpin yang galau. Ketimbang dipimpin oleh seseorang yang tidak tahu apa yang dilakukan atau dikatakannya, bahkan berpotensi menjerumuskan saya ke sumur masalah, lebih baik saya jadi kepala sekolah untuk diri saya sendiri. Semoga bangsa Indonesia semakin bijak dalam memilih pemimpinnya. Dan semoga siapapun yang punya kapasitas sebagai pemimpin di bumi pertiwi ini, dalam derajat apapun, punya kemampuan sekaligus kerendahan hati untuk menerapkan standart pemikiran, tutur kata, dan perilaku yang tinggi pada dirinya sendiri, sehingga ia benar-benar patut mengemban amanah sebagai pemimpin . Sungguh tak adil bila bangsa sebesar ini dipimpin oleh seseorang yang galau, yang terombang-ambing dalam menentukan tindakan apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi sebuah masalah. Rakyat Indonesia punya hak untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Karena bangsa ini adalah bangsa besar yang unik dan tiada dua, yang hanya patut dipimpin oleh mereka yang layak menjadi perpanjangan tangan Tuhan di dunia.
                Tuhan memberkati Indonesia!

*Rangkaian artikel ini akan ditutup dengan posting hari Kamis yang berjudul ‘Umat yang Lempengdotcom’.

Kamis, 26 Januari 2012

Umat Narsis dan Umat Lebay


Ini adalah posting di luar jadwal, karena sesuai rencana mustinya saya menyelesaikan dulu rangkaian artikel mengenai gizi. Tapi karena ada hal yang lebih mendesak, maka saya dahulukan dulu yang satu ini, sebagai tanggapan atas komentar MUI dalam sebuah talk show yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi swasta, sehubungan dengan komentarnya mengenai perkara gereja Yasmin. Sebelum menerbitkan artikel mengenai salah satu statement Ketua MUI yang sangat tidak bertanggung jawab dalam perkara ini dalam kapasitasnya sebagai pemimpin umat, saya hendak terlebih dulu membahas mengenai sang umat.

Kita semua tahu dan merasakan, bahwa tanah air kita yang sangat raya ini dihuni oleh beragam jenis manusia dengan berbagai jenis latar belakang yang berbeda, jadi semestinyalah kita sudah sangat fasih mengenai perkara kemajemukan. Kemajemukan yang sangat menonjol salah satunya adalah agama. Koreksi kalau saya salah, setahu saya populasi kaum Muslim di negeri ini berjumlah lebih dari dari 80%. 20% persen sisanya dibagi secara tidak merata antara kaum Kristiani, Budha, Hindu, dan Konghucu. Saya tidak tahu pasti di mana rakyat penganut agama warisan leluhur yang tidak diakui oleh pemerintah ditempatkan dalam potongan-potongan kue tersebut. Dan berapa jumlah pastinya? Meneketehe, kita kan bukan tukang sensus, hehehe…. Umat yang paling populer di Indonesia adalah umat Muslim. Ya mesthi. Dan yang kedua adalah umat Kristen. Sayangnya dua umat paling top di Indonesia yang kabarnya masih sedarah ini ternyata juga paling sering berseteru, dan seringnya tanpa alasan jelas. Kalaupun jelas, biasanya mengada-ada.

Baiklah, mari kita bicara terlebih dahulu soal umat paling populer, yaitu Muslim. Sebagai kelompok umat dengan populasi paling banyak, umat Muslim di Indonesia boleh dibilang sangat percaya diri. Ya iyalah, temannya segambreng. Dan sejauh ini, paling tidak menurut pengamatan dan pengalaman saya pribadi, kepercayaan diri mereka sangat asyik dan kul. Sayangnya, tidak semua dari mereka asyik dan kul. Sebagian (untungnya sangat keci), menganggap rasa pede saja tidaklah cukup. Walhasil dengan penuh semangat mereka meningkatkan derajat kepedean tersebut sampai level narsisme. Dan karena narsis sendirian dirasa enggak fun dan kurang gahar, maka merekapun beramai-ramai membentuk kelompok umat narsis. Front Pembela Itu, misalnya. Atau kelompok-kelompok lain yang bakal menyita halaman kalau saya sebut satu demi satu.

Unjuk karya dan rasa narsisme mereka sangat beragam. Salah satu contoh sederhana adalah, bila bulan ramadhan tiba, mereka sibuk menghabiskan waktu dengan jelalatan mencari warung-warung makan yang buka sambil membawa pentungan dan berbagai bentuk senjata tumpul atau tajam lainnya. Kalau ketemu sudah jelas diobrak-abrik. Narsisme mereka dalam hal ini adalah menganggap diri sebagai penegak hukum agama, sekalipun tidak ada seorangpun yang menahbiskan mereka, dan bahkan saat tafsir mengenai hal ini masih jadi bahan berdebatan sekalipun. Tapi sebagai kaum narsis tentu saja mereka tak peduli dengan pendapat dan atau hak orang lain, karena semua kan berpusat pada diri mereka sendiri. Istilahnya, dunia milik mereka, yang lain indekos.

Dalam banyak hal umat narsis juga pelupa, contohnya saat mereka mengklaim diri sebagai pembela Tuhan. Begitu narsisnya mereka hingga lupa bahwa Tuhan begitu Kuat dan Maha Kuasa, sehingga tidak memerlukan pembelaan  dari siapapun, terlebih dari umat yang diciptakan-Nya dari debu tanah. Mereka juga lupa bahwa Tuhan mencintai semua umat ciptaan-Nya, sehingga dengan enteng mereka memporak-porandakan, menghancurkan, bahkan meledakkan rumah ibadah umat agama lain. Mereka lupa bahwa Tuhan itu penuh cinta kasih, sehingga mereka anggap tindakan bar-bar terhadap umat Tuhan yang lain adalah tindakan yang bisa menyenangkan hati-Nya. Mereka juga lupa bahwa Tuhan menciptakan negeri ini untuk semua rakyat Indonesia tak peduli dengan latar belakang agama apa, hingga seringkali mereka kebakaran jenggot jika ada umat lain berencana mendirikan rumah ibadah. Narsisme juga membuat mereka lupa bahwa kemajemukan sudah disadari oleh bapak-bapak bangsa kita saat membuat rumusan dasar negara Pancasila, dengan menghilangkan frasa ‘…dan kewajiban menjalankan syariah-syariah Islam bagi pemeluknya’. Yah, narsisme memang membuat mereka mudah melupakan begitu banyak perkara esensial.

Oke, cukuplah mengenai umat narsis. Bukannya saya hendak menyiram bensin di atas api, namun sebagai orang yang beragama Kristen saya hanya berusaha jujur pada diri sendiri, bahwa saya sama sekali tidak bangga dengan perilaku sebagian kecil saudara-saudara saya seiman, yang dalam istilah saya Kristen lebay. Namanya juga kaum lebay, maka kegemaran mereka adalah membesar-besarkan masalah. Kalau perlu, nggak ada masalahpun dicari-cari juga. Contoh paling sederhana, saat ada gereja dihambat dalam urusan ijin pembangunan, mereka sontak heboh dan berteriak-teriak: jangankan gereja besar, gereja kecil saja mereka tindas! Komentar saya tandas: Gereja besar dan kecil yang mana? Gereja besar dan kecil yang segelintir itu? Mereka yang mana? Mereka yang cuma segelintir itu? Kalau benar semua gereja besar dan kecil ditindas oleh mereka semua, lalu apa kabar gereja-gereja yang eksis di jalanan baik jalan protokol maupun perumahan?

Dan sebagai umat lebay, ada banyak hal yang bisa membuat mereka sensi dan nyolot lebih cepat daripada mereka mengucapkan “Dalam nama Yesus, amin.” Kalau ada masalah sedikit saja, mereka mengata-ngatai pemerintah dan menuduh pemerintah menganak-tirikan kami. Tepat seperti kaum narsis, kaum lebay juga mengidap penyakit amnesia parah. Mereka lupa bahwa jumlah kami di bumi pertiwi ini hanya kurang dari 20 persen, itupun masih harus bagi-bagi potongan kue dengan kaum agama sisanya yang diakui oleh pemerintah. Mereka lupa bahwa sebagai umat minoritas, hak kami di sini bukan hanya dijamin oleh pemerintah, namun juga dihormati oleh umat mayoritas. Mereka lupa bahwa hanya di Indonesia sajalah umat yang minoritas bisa merayakan hari-hari raya dengan heboh dan riang gembira diliputi suasana pesta. Mereka lupa bahwa hal semacam ini tidak mungkin kami rasakan di negara lain, Cina, misalnya. Mereka lupa bahwa di Indonesia terdapat wilayah-wilayah yang disebut kantong kekristenan karena umat Kristen merupakan mayoritas di sana, sedangkan Indonesia adalah negeri yang dihuni oleh lebih dari seratus lima puluh juta jiwa kaum Muslim! Luput dari pandangan mereka bahwa kami begitu eksis, sehingga kita bisa melihat berbagai ekspresi kami sebagai orang Kristen pada stiker-stiker, kaus, dan sebagainya di jalanan dan di mana saja. Mereka lupa bahwa kami tetap bisa dengan bangga menuliskan ‘I Love Jesus’, ‘Jesus, one and only King,’ dan segala Jesus ini atau Jesus itu lainnya, sekalipun jumlah kami begitu minornya.
Mereka lupa bahwa sekalipun umat Muslim di negeri ini jumlahnya begitu fantastis dan terpilih sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, toh tetap Indonesia sama sekali bukan negara Islam. Mereka lupa bahwa pada saat perumusan Pancasila, beberapa wilayah di Nusantara siap melepaskan diri jika sila pertama tetap mengandung frasa ‘…dan menjalankan syariah-syariah Islam bagi pemeluknya’, hingga perombakan pun dilakukan selekasnya. Kaum lebay lupa pada pengorbanan sekian juta umat Islam yang lebih memilih persatuan Indonesia ketimbang sila yang berat sebelah namun sesungguhnya menguntungkan mereka. Kaum lebay lupa pada kerinduan jutaan umat Islam yang menginginkan bumi pertiwi ini menjadi tanah yang menjanjikan keadilan dan kesetaraan bagi semua anaknya.
Terpujilah Tuhan, karena kaum narsis dan lebay jumlahnya hanya sedikit. Namun demikian ada satu hal pasti, yakni mereka diikat oleh benang merah yang sama: militansi. Mereka begitu giat mengampanyekan pandangan-pandangan mereka yang menyimpang dalam berbagai cara, lewat berbagai media. Dan mengingat enerji serta vitalitas mereka patut diacungi jempol, maka kita tidak bisa mengasumsikan bahwa jumlah mereka akan tetap segelintir dari waktu ke waktu. Ibarat bola salju yang terus membesar dan meraksasa dari waktu ke waktu mereka meluncur ke bawah. Dan bola salju juga melibas apapun yang ada di dekatnya dalam luncuran tersebut. Maka kehancuran adalah hal berikut yang akan ditemui Indonesia jika dua kaum ini dibiarkan beraksi seenak perut mereka sendiri. Jadi, marilah kita lawan militansi mereka dengan keteguhan yang sama pula. Setidaknya dengan mengungkapkan fakta-fakta yang saya cantumkan dalam artikel ini. Syukur-syukur anda punya fakta yang lebih komprehensif dan mau membagikannya pada saya serta yang lainnya.
Mari kita bergandeng tangan, menggalang kekuatan dalam kebenaran dan rasa takut serta hormat akan Tuhan untuk lestarinya Indonesia. Sebab Indonesia milik kita semua, hancur atau lestarinya Indonesia salah satunya juga ditentukan oleh ketidak pedulian atau kepedulian kita.
Tuhan memberkati Indonesia!

*Posting selanjutnya pada hari Senin adalah artikel dengan judul ‘Pemimpin Umat yang Galau’.
                                                                                                                                            




  


Senin, 23 Januari 2012

Anak-anak Sapi yang Cerdas dan Ceria


Para juru kampanye ASI eksklusif itu memang baik hati. Sayangnya, mereka tidak sadar bahwa kadang-kadang mereka bisa sadis. Saking bersemangatnya mereka mendesak para ibu masa kini yang sibuk berkarir dan mengejar segala sesuatu di luaran sana, atau para perempuan yang menganggap bahwa payudara kencang adalah satu-satunya komoditi perempuan hingga malas menyusui bayinya, para jurkam ASI ini dengan semangat mencibir yang membara menyebut bahwa anak-anak yang tak disusui ibunya adalah anak sapi. Kalau ingin tahu bagaimana perasaan seorang ibu yang anak-anaknya dikatai anak sapi, tanya saja saya. Tertusuk hingga lubuk hati yang paling dalam, begitulah rasanya. Ya, tak mungkin lebih lebay daripada ini.
Kalau para jurkam tersebut mengatakan bahwa perempuan yang tak menyusui bayinya adalah egois sebab semua perempuan pastilah bisa memberikan ASI asal dia mau, maka mereka pasti lupa bahwa Tuhan begitu kreatif hingga tak pernah menciptakan segala sesuatu seragam. Selalu ada penyimpangan. Salah satunya saya, yang hanya bisa gigit jari meski sudah jungkir balik mencoba berbagai cara dan ikhtiar baik secara tradisional maupun modern supaya anak-anak saya bisa merasakan ASI. Pijit, sedot, jamu, obat, segala macam terapi, semua sudah saya lakoni. Mungkin cuma daun pintu dan jendela yang tidak saya makan dalam salah satu upaya untuk menghasilkan ASI. Dulu saya curiga bahwa ukuran bisa jadi biang keroknya, sebab punya saya memang bisa dibilang ‘sederhana dan apa adanya’. Tapi nyatanya tidak juga. Ada beberapa kenalan saya yang bahkan bisa disebut ‘antara ada dan tiada’ , ternyata bisa memproduksi susu berlimpah ruah bagi anak-anak mereka.
Jadi setelah bulan ketiga segala usaha tersebut tak membuahkan hasil, baik anak pertama maupun kedua, sayapun berhenti karena kelelahan dan putus asa. Namun rupanya cobaan tak berhenti sampai di situ. Masih ada para dzolimin yang begitu tahu anak saya minum susu formula, dengan ringan dan riang gembira berkomentar, “Waaaahhhhh…. Anak sapi, ya?”. Tinggallah saya terpuruk dan merutuki siapapun yang menciptakan istilah ini.
Tapi saya percaya bahwa satu pintu tertutup hanyalah supaya kita bisa menemukan pintu lain yang lebih besar. Ditekan oleh perasaan gagal tersebut, saya menjejali anak saya dengan berbagai nutrisi yang saya pikir bisa menjadi substitusi ASI. Mendadak saya jadi ahli gizi amatir. Segala bacaan tentang gizi saya baca, hapalkan, dan aplikasikan dengan cermat. Buah dada yang tertutup adalah pintu bagi pengetahuan yang lain, terpujilah Tuhan. Buah dada yang hanya berguna bagi suami (itupun belum tentu, sebab siapa tahu dalam hati dia cekikikan geli dan mengasihani diri sendiri pada saat yang sama) dan tidak bagi anak-anak saya itulah yang menjadi jembatan perkenalan saya dengan tempe.
Berhubung anak pertama saya adalah bayi yang sangat rakus dan tak kenal kenyang, dokter sekaligus ahli gizinya menyarankan agar ia dibuatkan bubur tim saring ketika menginjak usia bulan ke empat menjelang lima. Sebagai percobaan, sedikit saja dulu untuk memberi kesempatan bagi pencernaannya beradaptasi, demikian katanya. Resepnya adalah: cuci bersih beras segenggam, sejumput sayuran lalu ditim tidak di atas api langsung bersama dengan cakar ayam kampung yang sudah dikeprak dan disayat-sayat. Sayur boleh diganti jenisnya tiap hari, asal bukan yang mengandung gas macam sawi atau kubis. Demikian pula dengan protein hewaninya. Tapi ada dua perkara yang tak boleh luput setiap kali memasak tim tersebut. Yang pertama adalah bawang putih, yang berfungsi sebagai antioksidan dan penguat daya tahan tubuh. Yang kedua, tentu saja, sahabat kita, tempe.
Saya percaya seratus persen apa katanya. Bagai kerbau dicocok hidung saya mematuhi perintahnya, sebab Prof. Dr. dr. Sudigbyo, SpA, dokter anak saya, mengambil PHD-nya di Inggris atau di mana saya lupa, dengan disertasi mengenai tempe bagi kecerdasan, daya tahan tubuh, pencegah serta pengobat diare, dan meraih nilai tertinggi, mengalahkan kandidat-kandidat lain yang berasal dari berbagai negara maju. Resep tersebut saya terapkan bagi kedua anak. Hasilnya? Saya boleh bangga. ‘Anak-anak sapi’ tersebut tumbuh begitu sehat. Segala penyakit ringan dan berat membenci mereka. Cerdas, sudah pasti. Dalam periode usia 0-5 tahun, semua anak saya terkena diare masing-masing tak pernah lebih dari 3 kali. Padahal yang namanya balita di mana-mana pasti bersahabat karib dengan diare, yang dalam derajat tertentu bisa mematikan ini. Tapi tidak anak-anak saya. Daya tahan tubuh mereka luar biasa. Putri saya bahkan kelincahannya melebihi ukuran. Siapapun yang pertama kali melihat aksinya dijamin terancam jantungan, karena hobinya adalah memanjat dan meloncat. Di usia kurang dari dua tahun ia sudah lihai melompat dari pantry setinggi satu meter. Di waktu itu pula ia sudah bisa memanjat rak setinggi 2 meter hingga sap tertinggi (saya menjaganya tanpa menyentuhnya sama sekali), dengan kehati-hatian dan teknik yang luar biasa. Itu semua membutuhkan keliatan tubuh dan kecerdasan otak yang tak main-main. Segala tembok dan pagar telah digagahinya. Saya menyebutnya ‘terlahir sebagai cliffhanger’. Kadang-kadang saya juga memanggilnya ‘Jolly Jumper’.
Lalu kena berapa perkara tempe dengan kecerdasan dan keliatan anak-anak sapi tersebut? Sebaiknya nanti di artikel berikutnya. Yang ini saya tutup saja dengan propaganda: Para ibu hamil dan atau menyusui, makanlah tempe sesering mungkin, suka atau tidak, sebab anda dan bayi anda membutuhkannya. Para orang tua dengan bayi yang masih makan bubur, sedapat mungkin jauhi bubur instan. Berikan tempe dalam adonan bubur anak-anak anda. Dan siapapun yang bertanggung jawab atas urusan memasak di rumah masing-masing, hidangkan tempe setiap hari, setiap waktu. Para pembaca yang tercinta, cintailah tempe seperti anda mencintai diri sendiri. Dan janganlah puas lalu berhenti sampai di sini. Percakapkan tempe di manapun anda berada, pada siapapun yang anda jumpa. Pada saudara dan handai taulan, teman-teman, tukang sayur atau tukang becak langganan, ketua RT, pada acara arisan atau pengajian, pada kumpulan PKK, saat istirahat kantor atau kuliah, saat mengobrol di ruang tunggu dokter, saat BBM-an, saat apapun dan di manapun. Pada siapapun (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


Jumat, 20 Januari 2012

Buat para pengunjung dari Argentina dan Malaysia, selamat datang. Terima kasih sudah main-main ke sini. Kalau suka tolong sebar luaskan, ya. Kalau nggak suka lebih baik dibatin aja, hehe.... Tolong dong tinggalkan jejak-jejak anda.... *meratap*. Buat para pengunjung dari Indonesia, kamsya, kamsya, haiyaaaa *memanfaatkan momen Imlek*

Kamis, 19 Januari 2012


                                 KITA INI BANGSA TEMPE!!!!

Saya bukan pemuja Bung Karno, karena sesungguhnya saya memang belum pernah memuja siapapun. Tapi bukan berarti saya tidak mengagumi kecerdasan dan sumbangsih serta perjuangannya yang begitu luar biasa bagi lahirnya negara ini. Tapi sehebat dan secerdas apapun Bung Karno, beliau tetaplah manusia. Yang bisa saja silap kata, entah murni karena kesalahan atau karena kurangnya informasi. Maklum, jaman beliau kan belum ada apa-apa. Boro-boro internet dan sebagainya, untuk telponpun kabarnya masih harus diengkol lebih dulu. Jadi saya bisa memaklumi jika dalam pidato-pidatonya nan bergelora Bung yang gagah perkasa satu ini seringkali berseru, “Kita ini bukan bangsa tempe!!!”. Maksudnya baik, sih, karena beliau menjadikan tempe sebagai simbol kelemahan dan kelembekan (yang bisa dimaklumi mengingat harga dan penampilan tempe yang memang sangat jelata), dus, sebagai bangsa yang bukan tempe maka bangsa Indonesia pastilah tegar dan tangguh, bermartabat, dan sebagainya.
Tapi sebaik apapun maksud Bung Karno, tetap saja beliau salah. Karena tempe sama sekali bukan materi yang lemah. Tidak pula murahan, sekalipun harganya luar biasa murah. Sebaliknya, tempe adalah bukti nyata betapa Tuhan begitu murah hati memberikan berkat kecerdasan luar biasa bagi nenek moyang bangsa ini. Salah satu risalah ilmiah menyebutkan tempe sebagai ‘an extraordinary gift Indonesia has given to the world’. Persembahan luar biasa Indonesia bagi dunia. Betapa gagahnya! Eksistensi tempe diketahui dari serat Centini tahun 1800 sekian, prasasti, transkip-transkrip di daun lontar, dan sebagainya. Bahkan ditengarai sudah ada sejak sekitar 2000 tahun lalu, sebelum bangsa Cina pertama kali membuat tahu.
Well, silakan para ahli sejarah yang memutuskan. Yang jelas imajinasi saya melayang pada jaman di mana pepohonan masih sebesar bentangan tangan sedikitnya dua orang dewasa, malam pekat hanya dikerlipi sedikit cahaya pelita, kesunyian yang mengungkung hingga otomatis sarana hiburan yang paling menyenangkan hanyalah bercinta –itupun enggak asyik-asyik amat karena harus sepelan mungkin sebab ranjang paling banter terbuat dari kayu atau bambu yang digoyang sedikit saja bunyinya bikin drop, dan alat-alat laboratorium yang paling top terbuat dari tembikar. Ditambah tiadanya perpustakaan wilayah dan sharing informasi lewat BBM, hingga entah mulai dari mana dan dengan cara apa nenek moyang kita mereka-reka percobaan pembuatan tempe. Di tengah kekosongan dan kelengangan itulah tempe tercipta. Segenap hormat, bangga, dan cinta untuk nenek moyang kita.
Tempe pulalah salah satu faktor utama yang membuat kita saat ini ada. Pernahkah anda bayangkan semenderita apa nenek moyang kita yang selama ratusan tahun hidup di bawah ketengikan si penjajah serakah-oportunis-arogan-pendek pikiran-tak tahu malu bangsa Belanda? Memang kaum ningrat dan pedagang selalu hidup senang dan kenyang, tapi berapa persenkah mereka dari total populasi rakyat Nusantara ketika itu? Yang terbanyak tentulah kaum kuli, kaum yang bisa jadi adalah nenek moyang anda atau saya, strata rendah inlander yang penyebutannya selalu diliputi nada cemooh. Mungkin ada masa-masa di mana kaum kuli tersebut hanya punya pelepah pisang sebagai satu-satunya bahan yang bisa dimakan. Tapi di antara masa-masa dengan kengerian tak terbayangkan tersebut, selalu ada tempe. Sebab studi membuktikan bahwa tempe ada bahkan di area yang paling terpencil sekalipun. Tempe, makanan padat terbaik nomor satu di dunia, itulah yang membuat bangsa kita berhasil bertahan hidup dalam derajat yang paling rendah sekalipun. Dan lestari bahkan membengkak tak terhingga saat ini.
Tempe pulalah yang secara ilmiah telah terbukti berpengaruh besar pada kecerdasan nenek moyang kita yang terbentang dalam berbagai aspek, baik arsitektur, budaya, medika, kuliner, dan sebagainya, sehingga meninggalkan artefak-artefak adiluhung seperti Serat Centini, jejamuan dan obat-obat tradisional yang telah terbukti khasiatnya selama entah berapa dekade, serat La Galigo, Borobudur, batik, keris, berbagai rumusan kehidupan dari yang fisik hingga adikodrati, dan segala rupa, tak terkira.
Tempe, yang secara tragis disebut sebagai sesuatu yang jauh dari unsur gizi oleh segerombolan orang berpengetahuan picisan nan arogan, serta kemungkinan besar tukang bolos pelajaran IPA (baca posting saya sebelumnya ‘Dikibuli Distorsi? Basi!’). Tempe yang, dengan segala hormat, karena keterbatasan informasi dan atau kesibukan mengurus bangsa besar ini untuk merdeka dan bangkit dari keterpurukan akibat penjajahan selama ratusan tahun, oleh Presiden Sukarno dijadikan sebagai lambang segala yang lemah dan tak bermartabat.
Bung Karno, bapak bangsa, yang telah memberikan pengorbanan tak terperi bagi bangsa Indonesia, yang kecerdasannya melampaui ukuran banyak orang, dengan segenap takzim, kalau anda saat ini masih ada dan membaca tulisan saya, pasti hari berikut anda akan mengumpulkan berjuta massa untuk mendengar orasi anda yang penuh karisma, dan berseru penuh bangga, “KITA INI BANGSA TEMPE!!!”. Dan jutaan massa pengagum anda akan bergemuruh mengamini, “KAMI BANGSA INDONESIA MEMANG BANGSA TEMPE!!!”. Lalu mereka akan pulang dengan satu tekad baru: tiada hari tanpa tempe bagi siapapun anggota keluargaku. Maka gizi burukpun akan bergegas menyingkir dari tubuh balita dan bocah-bocah di negeri ini (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
                                                                                                                        



Selasa, 17 Januari 2012

Buat para pengunjung.....

Nggak nyangka, ternyata ada yang jauh-jauh dari Rusia segala, lho. Buat saudara-saudara yang ada di Jerman, Amerika, dan Australia, salam manis dari saya yang tak kalah manisnya. Trima kasih sudah datang berkunjung. Semoga tulisan-tulisan saya bisa jadi obat rindu pada tanah air. Dan untuk para pembaca yang berada di Indonesia, salam manis juga dari saya yang masih tetap sama manisnya *memaksakan diri*. Tuhan memberkati kita semua, Tuhan memberkati Indonesia...

Senin, 16 Januari 2012

Subyektifitas Media Memblingerkan Massa


Setelah saya perhatikan, salah satu obyek favorit untuk dijadikan alat pemutarbalikan logika nan cantik oleh media massa adalah perkara gizi buruk. Dengan sedih saya mengakui bahwa gambar-gambar hidup korban malnutrisi itu memang menyayat hati. Dan memang sejujurnya saya tersayat-sayat, terlebih jika membanding-bandingkan mereka dengan anak-anak dalam keluarga saya dari generasi ke generasi yang terus-menerus mendapatkan gizi berkecukupan. Alhamdulilah secara turun-temurun entah sejak kapan keluarga besar saya hidup tercukupi, umumnya terlebihi. Jeleknya, kelebihan bertemu dengan selera makan yang tak kenal ukuran menghasilkan penyakit mematikan. Jadilah keluarga saya punya catatan mati di usia jauh dari tua gara-gara berbagai penyakit yang umum dikenal ‘penyakitnya orang yang suka makan enak’. Saya pribadi lebih suka menyebutnya ‘penyakitnya orang rakus’. Sutralah, kok malah curhat?
Kembali pada balita-balita bergizi buruk. Sangat tidak etis jika saya menggambarkan secara tertulis kondisi mereka, karena toh saya yakin anda semua sudah mengetahuinya. Fakta tersebut dapat ditangkap dengan mudah. Tapi rasa tercekat karena melihat kondisi bayi-bayi mengenaskan tersebut seringkali membuat mata kita jadi kabur, dan luput melihat bahwa umumnya bayi-bayi tersebut dipangku atau digendong oleh orang-orang dewasa, biasanya orang tua mereka, yang tampak sama sekali tak kurang suatu apa. Dalam arti, mereka seperti orang-orang yang kita lihat di mana-mana, di pasar atau di jalan, di pertokoan atau perkantoran. Sama seperti kita atau orang-orang biasa yang lain di manapun juga. Pertanyaannya: bagaimana mereka bisa baik-baik saja sedangkan bayi-bayi tersebut hampir mati karena tidak mendapatkan apa-apa? Apa saja dan sebanyak apa yang masuk ke perut si dewasa, sedangkan bayi-bayi tersebut hanya mendapatkan sisa-sisa, yang membuat mereka hidup dengan kulit membungkus kerangka?
Bagi anda pertanyaan di atas mungkin sadis. Saya sependapat, meskipun saya sendiri yang bertanya. Tapi saya tak dapat menyangkal diri bahwa pertanyaan tersebut sangat logis. Sebab setahu saya, dimanapun orang tua akan memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Ia akan menahan keinginan jika dihadapkan pada dua pilihan: diri sendiri atau si buah hati. Orang Jawa punya istilah indah: anak kui di anak-anakke. Anak itu diada-adakan. Artinya, buat anak, yang tidak adapun akan selalu diusahakan ada. Lebih jauh lagi adalah mengenai ibu atau istilah ndesanya simbok. Simbok kudu wani tombok. Simbok harus berani nombok. Artinya, seorang ibu harus berani memberi lebih untuk anak-anaknya. Kalau perlu mengambil dari jatahnya, sekalipun itu berarti ia musti menahan lapar. Sebab memang begitulah hakekat orang tua; memberi. Sebab tak ada seorang anakpun yang secara khusus meminta pada orang tua untuk dilahirkan. Orangtua yang memutuskan mereka hadir di dunia, sehingga menjadi aneh jika mereka menjalani tahun-tahun pertama mereka sebagai kerangka bernyawa, sementara si orangtua justru tak kurang suatu apa.
Dan sekalipun si orang tua telah memberikan segalanya namun toh tetap awan gizi buruk memayungi mereka, bukankah masih ada sanak keluarga, atau setidaknya para tetangga di kiri-kanan mereka? Dan jika kita membuat asumsi SELURUH sanak keluarga dan para tetangga tersebut sama miskinnya, bagaimana dengan sistem jimpitan? Jimpitan terbukti bukan hanya digdaya dalam menopang secara materi mereka yang membutuhkan, namun juga sama sekali tak memberatkan. Jauh di atas segalanya, jimpitan adalah tali tipis yang menggambarkan kekuatan kekerabatan dan rasa senasib sepenanggungan. Jika hal yang sesederhana jimpitan saja sudah ditinggalkan, terlebih lagi yang lebih menuntut energi dan dedikasi, seperti mengunjungi tetangga di belakang gang.
Atau mungkin di sinikah letak permasalahannya, yakni sudah semakin tipisnya tali kekerabatan dan kepedulian pada bangsa ini, sehingga kasus gizi buruk masih terjadi? Sebab gizi buruk membutuhkan proses sekian lama, dan tidak terjadi semalam atau secepat kita mengedipkan mata. Andaikan masing-masing dari kita yang hidup dalam satu RT aktif secara bergiliran mengunjungi satu sama lain, mungkinkah kasus seperti ini terjadi? Sebab dari satu visitasi kita bisa mengumpulkan informasi, dan dari satu informasi kita bisa menyatukan hati. Lalu pikiran dan energi. Kemudian materi.
Tetapi melakukan itu semua memang tidak mudah. Jauh lebih mudah berpihak pada media massa masa kini yang kian tegas menjunjung azas subyektifitas. Jauh lebih mudah menonton televisi yang memberitakan kasus gizi buruk, yang dari awal sampai akhir hanya menuding pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang musti bertanggung jawab atas tragedi ini. Seakan hanya pemerintah yang tinggal di Indonesia. Seakan tidak ada apa yang disebut rakyat Indonesia. Seakan di sekeliling si miskin tak ada tetangga atau sanak saudara. Memang lebih mudah untuk percaya dan mengamini apapun kata media, terlebih yang memberi peluang bagi kita untuk berkelit. Berkelit dari tanggung jawab bahwa sebagai manusia yang beragama kita wajib berbagi pada sesama. Berbagi perhatian, materi, waktu, tenaga, apa saja.  Jauh lebih mudah menudingkan satu jari pada pemerintah, sambil di saat yang sama lupa bahwa tiga jari lainnya menuding pada diri kita sendiri.
Gambar dan narasi media yang begitu cantik dan lirik telah berhasil mengaburkan distorsi mereka. Untuk kemudian berhasil membuat kita keblinger. Tinggallah saya bingung, harus memberi ucapan selamat pada media yang berhasil membodohi massa atau bersimpati pada massa yang dengan ikhlas bersedia dibodohi media (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).









Kamis, 12 Januari 2012

Fakta Memang Tak Pernah Memihak, Tapi Media Belum Tentu Tidak


Betapa terperanjatnya saya ketika setelah beberapa waktu tinggal di Manado saya mengetahui bahwa orang-orang sana yang belum pernah menginjakkan kaki di tanah Jawa, menganggap bahwa Jawa melulu berisi orang-orang miskin, gelandangan, pencopet, dan pelacur. Yang kaya cuma pejabat, pengusaha, dan artis. Well, oke, memang kaum miskin dan lain-lain tersebut di atas ada di mana-mana di pulau Jawa. Tapi melulu? Wow, tunggu dulu. Saat saya melakukan investigasi kecil-kecilan benarkah itu yang mereka percayai, seratus persen jawabnya begini: “Torang lihat begitu no di berita (yang kami lihat di berita begitu).” Dan orang-orang Kristen di sana selalu membangga-banggakan betapa muslim di tanah Minahasa begitu baik hati, tidak seperti muslim di Jawa yang keji dan haus darah. Ganti mereka yang terperanjat waktu saya berkata bahwa orang-orang Kristen juga bisa beribadah dengan tenang di Pulau Jawa. “Torang tau dong muslim bakar itu gereja samua (setahu kami orang-orang muslim membakar semua gereja).” Begitu sederhananya mereka sampai-sampai percaya bahwa SEMUA muslim membakar SEMUA gereja. Ketika saya berkata bahwa itu hanya segelintir, benar-benar segelintir, ganti mereka yang tidak percaya, bahkan ada beberapa yang ternganga. Begitu polosnya mereka sampai-sampai menganggap apapun yang dikatakan media massa adalah kebenaran mutlak. Begitu lugunya mereka sampai-sampai percaya bahwa media massa seratus persen bisa dipercaya.
Mungkin benar bahwa apa yang mereka tangkap dari media itu fakta, sejelas fakta bahwa beberapa gereja memang dibakar. Tapi mereka tidak tahu bahwa ada ribuan fakta indah mengenai kerukunan beragama, seperti misalnya seumur hidup saya tidak pernah pergi beribadah dengan dihadang front pembela ini atau itu. Tidak juga saudara-saudara saya, tidak pula teman-teman saya. Media massa alergi memberitakan kesatuan antar umat lain agama yang saya dan sekian banyak orang lain di Indonesia rasakan, dalam berbagai bentuk . Sama alerginya dengan menggembar-gemborkan desa-desa di pulau Jawa yang maju berkat home industri atau hal-hal lain. Sebab tentu saja hal-hal baik itu sama sekali tidak seksi. Jauh lebih menguntungkan jika menayangkan berita tentang PKL yang dibongkar satpol PP, di mana si pedagang menangis dan menjerit-jerit histeris, dengan latar narasi yang berat sebelah. Menayangkan feature tentang problematika satpol PP sendiri baik secara politis, fisik, maupun psikologis jelas tidak bombastis. Atau betapa para pedagang kaki lima tersebut juga telah merampas hak pengguna jalan yang lain. Atau betapa sebenarnya banyak dari mereka yang lebih dari mampu untuk menyewa kios permanen hingga tak perlu lagi mencederai para pembayar pajak yang lain, yang berhak menikmati kota yang bersih dan rapih. Bahwa banyak dari para pedagang tersebut yang selalu memakai tameng kemiskinan untuk melegalisir ketidak pedulian mereka akan hak orang lain. Segala sesuatu yang jauh dari unsur sensasi adalah syarat utama kalau mau iklan sepi.
Sinis? Hmmm, mungkin juga. Karena nyatanya banyak juga program menarik dan terutama mendidik yang sekarang bermunculan di televisi. Misalnya acara kuliner, petualangan ini itu, jalan-jalan ke sini-situ, program-program tentang budaya yang dikemas secara menarik, dan sebagainya. Dengan rendah hati dan kagum saya mengakui itu semua. Tapi itu tidak mengaburkan fakta bahwa media massa, terutama televisi yang jauh lebih menarik untuk disimak ketimbang koran karena mengandung gambar hidup, seringkali lebay.
Saya berikan saja dua contoh, karena jari saya dijamin akan kram kalau saya tuliskan semuanya. Suatu hari saya melihat sebuah sekmen dalam acara berita di sebuah televisi swasta yang khusus menyorot orang-orang terpinggirkan (terpinggirkan oleh siapa juga saya tidak tahu, karena tidak dijelaskan di situ). Tersebutlah sekelompok kaum etnis tertentu yang tinggal di lingkungan benteng di perbatasan Jakarta selama ratusan tahun, dari generasi ke generasi. Singkat kata, mereka hidup dicekam kemiskinan selama ratusan tahun, dari generasi ke generasi pula. Kamera dengan cermat menggambarkan sudut-sudut yang masing-masingnya jelas memancarkan kemiskinan. Narasinya dikemas secara puitis, yang jika didengarkan oleh yang sedang galau pasti akan memancing air mata.
Setelah gambar dan narasi yang memilukan tersebut, narator mengecam pemerintah ini dan itu, blablabla dan blublublu. Sebagai akibatnya, sebagian orang akan menelan mentah-mentah semua narasi yang agitatif tersebut, lalu memaki-maki pemerintah dengan penuh semangat, lupa pada fakta bahwa jika sekelompok orang beranak-cucu dan selamanya miskin, tak peduli seberapa banyak pemerintahan berganti, berarti mereka sendirilah yang memilih menjadi miskin. Lupa juga pada fakta bahwa ada banyak orang yang memilih melawan kemiskinan dan berhasil dalam hanya dalam beberapa tahun, karena mereka memang bersungguh-sungguh dalam jihad tersebut. Sayang logika semacam ini sama sekali tidak seksi bagi media yang punya kepentingan laba. Jadi apapun akan mereka lakukan untuk menutupi fakta yang menjadi penyeimbang. Obyektifitas yang mustinya jadi kredo jurnalistik memang seringkali dipencudangi jika sudah berurusan dengan laba.
Contoh kedua, kembali liputan tentang kemiskinan, yang ujung-ujungnya –mudah ditebak- mencerca pemerintah dari timur sampai barat. Kamera menyorot sebuah keluarga melarat yang tengah berkumpul untuk makan siang. Ayah, ibu, serta empat anak mereka duduk bersila. Di hadapan mereka terhidang sebakul nasi, sepinggan sayur bayam, secobek sambal terasi, dan sepiring tempe. Jenis lauk yang tentu jauh lebih saya pilih ketimbang burger atau fried chicken a la bule, sebab lidah saya memang sangat Indonesia. Dalam adegan makan tersebut narator berkumandang, dan jelas-jelas mengatakan, “Dengan makanan yang jauh dari nilai gizi tersebut, bagaimana kita bisa berharap generasi penerus kita akan  maju?”.
Saya, setelah sempat tercekat selama sekitar 5 detik, langsung berseru, “Dengan tim liputan dan redaksi jauh dari cerdas tersebut, bagaimana kita bisa berharap media massa tidak hanya akan jadi sampah semata?”
Anak sulung saya, partner setia dalam nonton berita, berkata kalem, “Biar aja mereka ngomong apa aja, Mam, namanya juga orang cari makan.”
Ini poin pertama kemarahan saya: makanan utama dan lauk pauk yang disantap oleh keluarga tersebut sudah mencukupi kebutuhan gizi, meskipun belum sempurna. Bisa jadi semua tim redaksi dalam acara tersebut tidak lulus SD, karena saya ingat betul hapalan kandungan vitamin  dan tetek bengek yang terkandung dalam berbagai bahan makanan adalah muatan pelajaran IPA kelas V. Atau bisa jadi semua anggota tim redaksi tersebut membolos pelajaran bab kandungan gizi, lalu membayar teman mereka untuk mengerjakan ulangan, jadi mereka tetap bisa naik kelas. Dan setelah sukses menempuh pendidikan yang lebih tinggi, pasti mereka begitu kuper sehingga ketinggalan berita bahwa tempe telah dinobatkan oleh WHO (kalau tidak salah. Kalau salah ya berarti badan PBB yang lain) sebagai MAKANAN PADAT TERBAIK NOMOR SATU DI DUNIA.  Dan yang pasti stasiun televisi yang namanya saya rahasiakan tersebut pasti punya sistem rekrutmen yang begitu kacau-balau, sehingga segerombolan orang yang tidak menguasai materi pelajaran IPA kelas V SD bisa terpilih sebagai tim redaksi. Parahnya, orang-orang payah tersebut mendadak jadi ahli dalam urusan memelintir fakta dan menghujat-hujat pihak lain dengan tameng tempe dan bayam, yang ironisnya justru jadi senjata makan tuan bagi mereka.
Dan ini poin kedua kemarahan saya: seperti anak saya bilang, mereka –tim redaksi acara tersebut- juga cari makan, jadi biarin aja mereka ngomong apa. Tapi di sinilah letak permasalahannya. Bisakah seseorang menghalalkan segala cara, termasuk memelintir fakta, untuk menghasilkan berita yang ‘kritis’, terlebih jika acara tersebut ditonton oleh jutaan orang? Apakah kita bisa mengasumsikan bahwa jutaan penonton tersebut sependapat dengan saya? Bagaimana jika mereka terpengaruh oleh narasi penuh cercaan yang berlandaskan distorsi tersebut?  Jumlah manusia yang gemar menghujat bisa bertambah. Sendi-sendi kekuatan bangsapun jadi goyah. Dan yang tidak kurang menakutkan, mereka bisa mengalihkan pilihan dari tempe dan bayam yang ‘jauh dari nilai gizi’ tersebut ke makanan lain yang bisa jadi malah memicu kolesterol, darah tinggi, dan lain-lain. Terciptalah generasi yang bakal mati muda gara-gara sekelompok orang sinis berpengetahuan minus yang mengaku-ngaku sebagai tim kreatif sebuah acara televisi.
Distorsi media massa sudah melewati batas. Terlebih karena secara hipokrit mereka dengan bangga melabeli diri sebagai pihak yang berdiri di depan rakyat, membela kepentingan massa kalangan bawah, dan sebagainya. Dengan distorsi gila-gilaan yang nyaris sudah tak kenal malu tersebut, wajar jika saya bertanya-tanya, rakyat dan massa kalangan mana yang mereka bela? Rakyat atau korporasi, yang dari segi ejaan saja sudah total berbeda? Massa kalangan bawah atau massa pemegang saham? Karena sejauh ini tidak ada satu konsorsium rakyat jelatapun yang punya bisnis media.
Saya tidak tahu dengan anda, tapi saya pribadi sudah sejak lama tidak sudi dijadikan bahan bulan-bulanan media massa dengan berita-berita mereka yang dikemas begitu cantik dan meyakinkan, seakan mereka memang benar-benar berpihak pada rakyat, karena sudah jelas pada siapa mereka berpihak. Semakin bombastis dan ‘kritis’ berita mereka, semakin besar pula kemungkinan kebohongan mereka. Sudah sejak lama saya berhati-hati menonton acara televisi, terlebih yang dikendalikan oleh mereka yang punya jabatan tinggi di partai politik. Apalagi yang sedang sibuk mencalonkan diri jadi presiden.
Dikibuli distorsi? Basi! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).



Senin, 09 Januari 2012

Berbagi dan Berpesta, jo, Kasiaaaannnn....


Di sana resesi di sini resepsi, begitulah kalimat favorit orang-orang Manado saat menggelar pesta. Yang  artinya kalimat ini sering sekali diucapkan, karena mereka sangat hobi berpesta. Pemilik kantin di sekolah-sekolah agak sulit untuk meraup keuntungan maksimal, karena kalender pendidikan di sana pendek, mengingat banyaknya hari libur yang digelar. Libur natal dan tahun baru paling cepat biasanya sebulan. Pesta natal digelar di rumah-rumah mulai awal November hingga 31 Januari. Apalagi yang namanya pesta pengucapan syukur untuk keperluan panen besar. Bisa makan waktu sampai 4 bulan. Heboh! Belum lagi kebiasaan mereka menggelar open house untuk pesta apapun, mulai dari pesta rakyat, keagamaan, atau pesta pribadi macam ulang tahun, acara baptis, dan sebagainya. Acara makan-makan yang di Jawa umumnya makan waktu sekitar 3-4 jam pasti bakal jadi bahan tertawaan mereka. Sebab dari pengalaman saya, pintu mulai dibuka untuk para tamu sekitar jam 10 pagi dan baru ditutup sekitar jam 2-3 malam. Tak perlu takut kehabisan makanan, sebab orang Manado sangat militan dalam menggelar pesta. Semakin banyak hidangan digelar semakin tinggi gengsi  tuan rumah terangkat. Mau tinggal di sana dari pagi sampai subuh? Terserah. Mau makan sampai 20 kali selama di pesta? Tidak ada yang ambil pusing. Mau makan dulu, dansa-dansi, terus makan lagi, demikian seterusnya sampai pagi? Jangan minder, banyak temannya. Yang punya niat mulia merampingkan badan lebih baik lekas-lekas hengkang dan cari tiket ke Jawa. Penampilan saya waktu tinggal di sana agak-agak mengingatkan siapapun pada bola. Dituduh hamil lagi adalah hal yang biasa dan tak lagi mencabik perasaan saya. Tinggal di Manado dan tetap ramping bisa dibilang a whole life achievement, dan saya sama sekali tidak mengada-ada. Kehidupan di sana benar-benar seakan dipayungi awan pesta dan keriaan semata. Semua orang saling kunjung dengan sukaria. Benar-benar sebuah negeri utopia.
Pertanyaannya: dengan semangat menggelar pesta yang demikian membara, apakah berarti semua orang Minahasa kaya raya? Jawabnya: tidak juga. Banyak juga yang ekonominya biasa-biasa saja. Tapi ada satu perkara: cari orang miskin di Manado luar biasa sulitnya.
Begini, saya bukan ahli ekonomi, bukan sosiolog, antropolog atau apalah. Saya juga tidak tahu urusan perimbangan pendapatan asli daerah dan tetek bengeknya. Saya ini cuma perempuan biasa, yang di luar profesi sebagai penulis dan ibu rumah tangga, tidak jelas kapasitasnya sebagai apa. Tapi bagaimanapun tidak jelasnya saya, tetap saja saya punya hati dan mata. Dan inilah hasil pengamatan saya selama tinggal di Manado: orang-orang ini begitu murah hati, begitu gampang iba. Saking rapuhnya hati mereka, mereka selalu mengucap ‘kasihan’ untuk segala hal. Waktu mendengar berita sedih, mereka bilang, “O do doe kasiaaannnnn…” dengan ekspresi penuh simpati. Sebaliknya, ketika mendengar berita gembira merekapun berseru, “Oh kasiaaannnn…” dengan wajah ceria dan berseri-seri. Dalam suka maupun duka, kapanpun hati terharu , mereka selalu berucap, “Kasiaaannnn….”. Sebab di balik suara mereka yang menggeledek bagai guntur dan karakter yang temperamental, hati mereka sangat lembut dan begitu mudah tersentuh. Mereka jatuh kasihan secepat mereka menyikat makanan yang terhidang di meja-meja pesta.
 Sedang di Manado dan butuh naik-turun angkutan umum  seharian penuh sementara tak ada uang sepeserpun di kantong? Jangan sungkan untuk berkata terus-terang dengan nada baik-baik pada si sopir, niscaya ia akan membukakan pintu angkot dan berkata, ”Mari, jo, kasiaaan..”
Keadaan begitu mendesak, perut lapar dua hari tak terisi namun tak ada uang dan beras sebutirpun? Jika anda kuat mental, datangilah warung terdekat sambil membawa piring kosong dan dengan nada baik-baik berkata pada pemilik warung, “Tante, boleh tolong akang nasi sayur satu piring dang?”. Si tante dengan wajah terharu akan berkata, “Boleh, no, kasiaaan…”. Dan anda akan mendapatkan bukan hanya nasi sayur, melainkan lengkap dengan protein hewani yang anda butuhkan.
Selain berpesta, memberi memang adalah hobi utama orang Manado. Mereka memberi tanpa berpikir panjang. Mereka membuka hati tanpa mempertimbangkan untung rugi. Mereka membagi apa saja yang mereka punya tanpa melihat siapa yang memintanya. Itu mungkin sebabnya orang Manado tidak pernah punya istilah ‘paroan’ kalau ingin membagi sesuatu. Karena dalam kata ‘diparuh’ ada batasan. Mereka menggunakan kata ‘berbagi’, sebab berbagi bisa jadi lebih dari separuh. Saya sangat senang jika mendengar ada orang Manado berkata, “Berbagi, jo.” Selain berpesta, berbagi adalah spirit yang paling kentara dalam kehidupan orang Minahasa. Semua orang hidup dalam semangat saling tolong yang sangat besar. Benar-benar damai dan sejahtera. Sekali lagi, inilah negeri utopia. Hanya saja ini nyata. Saya teringat Karl Marx dan diam-diam meniupkan ciuman iba padanya di manapun ia kini berada.
Cukup lama saya terpesona dengan kesenangan mereka untuk memberi tersebut.  Perilaku mereka sedikit banyak mengobati kerinduan (waktu itu) pada sanak famili saya di Jawa, sebab saya memang tumbuh dewasa di lingkungan keluarga besar yang sangat gemar memberi dan berbagi. Setelah pulih dari kesima tersebut, sayapun bertanya pada siapapun yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri mengapa mereka membagi sesuatu dengan begitu mudahnya pada orang lain. Dan ternyata inilah dasar utama dari perilaku memberi atau berbagi mereka: orang yang datang untuk meminta tolong berarti sudah membuang malu. Dan orang yang sudah susah-payah menebalkan muka membuang malu tak perlu diberi rasa malu tambahan berupa penolakan. Itulah sesuatu yang oleh Rasul Paulus, rasul besarnya orang Kristen disebut: bertolong-tolonganlah dalam segala perkara. Dan saya percaya rasul atau nabi-nabi dalam agama lain juga punya pesan yang indah serta kuat semacam ini. Yang jadi perkara hanyalah apakah umatnya mau melaksanakannya atau tidak.
Dan memang butuh kepolosan serta keluguan seperti orang-orang Minahasalah untuk bisa dengan mudah melakukan pesan rasul atau nabi. Begitu mudahnya mereka merasa kasihan, maka tidak heran Tuhan juga mudah merasa kasihan pada mereka. Begitu gampangnya mereka berbagi rejeki, maka tak heran pula rejeki selalu diturunkan dari surga bagi mereka tiada henti. Saya ingat nasehat seseorang (sayangnya saya lupa siapa, kalau enggak salah sih emak saya yang memang terkenal sangat murah hati meskipun tidak pernah tinggal di Minahasa): rejeki itu ibarat bak mandi yang jika airnya tak pernah diambil, maka kita juga tidak akan membuka kran air. Tapi jika air di bak tersebut terus-menerus diambil, maka kran akan terus-menerus dibuka pula. Dan bicara soal rejeki surgawi, Tuhan adalah Allah pemurah yang tidak pernah memberi setengah-setengah. Hemat adalah kata yang kemungkinan besar tidak disukai Allah. Jika kita menutup kran saat bak sudah penuh, saya percaya Allah tidak. Ia akan membuka kran rejeki kita sampai berlimpah-ruah, jika Ia tahu persis kita membagi air  di bak rejeki kita pada sesama tanpa putus.
Itulah konklusi sederhana saya mengapa sulit sekali bagi kita menemukan orang miskin di Minahasa. Rejeki mudah sekali mereka dapat, semudah mereka membagi rejeki pada orang lain. Dan rejeki tak perlu mereka dapatkan dengan cara membanting tulang tanpa ukuran, selain fakta bahwa mereka gemar sekali mengisi hidup dengan bercanda dan mengobrol riang-ria. Selain orang miskin, wajah butek yang seakan memanggul banyak beban adalah hal kedua yang paling sulit kita jumpai di Manado. Saya belum pernah melihat orang Minahasa bekerja keras bagaikan kuda. Yang ada adalah mereka bekerja secukupnya, lalu mengobrol, bercanda, dan berpesta sebisa-bisanya. Nyatanya selalu saja ada cara bagi mereka untuk menikmati hidup yang sedemikian nikmatnya, tanpa perlu tertekan oleh beban hidup yang menggila. Penyebabnya, demikianlah kecurigaan saya, adalah karena hati mereka begitu pemurah. Selebar mereka membuka tangan bagi sesama, sedemikian lebar, bahkan lebih lebar lagilah Allah membuka pintu rejeki bagi mereka.
Kalau saja manusia-manusia seantero Indonesia juga seperti saudara-saudara kita di Minahasa sana, bisa jadi kemiskinan di Indonesia tinggal nama. Kalau saja kita berpikir ulang untuk menghamburkan uang demi gadget terbaru, barang-barang bermerek, nongkrong di coffe shop atau tempat-tempat fansi lain yang sekali duduk saja butuh uang ratusan ribu, dan hal-hal semacam itu lainnya, bisa jadi kemiskinan benar-benar tinggal kenangan lama. Kalau saja setiap insan dari kelas menengah dan mapan di Indonesia yang jumlahnya sekian puluh juta bisa semurah hati dan selebar tangan orang Minahasa, pasti tak akan ada lagi siapapun dari kita yang bikin status di FB –lewat gadget seharga jutaan rupiah: ‘Kemiskinan di mana-mana padahal negeri ini kaya-raya. Salah siapa?’. Tidak akan lagi ada yang berkata: “Soal kemiskinan, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang”. Atau hujatan-hujatan pada pihak lain, seakan kita yang mengaku percaya Tuhan dan bukan bagian dari pemerintahan sama sekali tidak ada urusan dengan kemiskinan. Tidak akan ada lagi orang-orang sok pintar dan akademisi gadungan yang mengatas namakan kemiskinan untuk mencari nama, yang bisanya cuma menjadi pembicara seminar atau di duduk depan kamera memberi komentar. Yang kemampuan terhebatnya adalah mengakhiri semua hasil pengamatan hebat mereka dengan konklusi yang sangat hebat: ‘Ini semua adalah salah pemerintah’, lalu pulang sambil mengantongi honor yang mereka dapat dari menjual kemiskinan.
Kalau saja semua orang Indonesia mau menduplikasi perilaku dan hati orang Manado yang begitu mudah jatuh kasihan, maka bukan hanya kemiskinan, namun kemunafikan juga akan lari secepat kita membuka tangan bagi yang membutuhkan.