Kalau dalam artikel sebelumnya saya membahas
umat narsis dan lebay, sekarang gentian pemimpin umat yang galau. Kalimat
pemimpin umat yang galau di sini punya dua arti. Pertama, umatnya yang galau. Kedua,
pemimpinnya yang galau. Dalam artikel
ini pilihan saya jatuh pada yang kedua. Dan di sini saya khusus membahas
kapasitas ketua MUI yang dalam derajat tertentu bisa juga disebut pemimpin
umat. Mengenai perkara Gereja Yasmin, dalam sebuah talkshow di sebuah stasiun
televisi Ketua MUI menanggapi perkara pelarangan pendirian gereja tersebut
dengan kalimat yang bunyinya demikian kira-kira: “Bukan hanya orang Kristen
yang dilarang mendirikan gereja, tapi umat Islam di bagian timur Indonesia juga
diperlakukan demikian, dilarang mendirikan masjid.”
Atau begitulah kira-kira, saya tidak
hapal tepatnya. Suatu statement yang bukan hanya menyimpang dari akar masalah,
namun juga mengusung semangat bela diri yang sangat berlebihan dan berpotensi kian
mengobarkan bara masalah. Kemudian dengan penuh rasa percaya diri ia menyebut
berbagai daerah sebagai contoh, di antaranya Sulawesi Utara. Ketika seorang
sosiolog atau apalah yang jadi rekan narasumber dalam acara tersebut
mempertanyakan validitas statementnya tersebut karena sepanjang yang semua
orang tahu Minahasa adalah daerah dengan tingkat kerukunan beragama terbaik di
Indonesia, dengan ringan dan lucu sang Ketua berkata begini kira-kira: “Saya
dapat info dari sumber di daerah.” Sudah, begitu saja. Tanpa data atau apapun
juga. Tanpa rasa bersalah atau apa, dengan wajah yang sangat lempeng. Luar
biasa.
Sebuah statement yang benar-benar menyakiti
perasaan umat yang sudah bekerja dan berusaha keras untuk menciptakan negeri
yang damai sejahtera (baca posting saya yang lama: Negeri Minahasa, Surga Bagi
Kerukunan Antar Umat Beragama). Bukan hanya umat mayoritas yakni Kristen, namun
juga Muslim, dan umat lain yang sudah bekerja keras demi perdamaian di daerah
mereka. Salah seorang teman saya, orang Jawa, Islam, yang pernah tinggal 4
tahun di Manado, yang biasanya selalu membuat status serta komentar lucu
gila-gilaan, mendadak dengan emosi berkomentar begini, “Wkhfahflauiefnajfakjehruhnfkajfeu!!!!
(ekspresi kemarahan yang sebaiknya tidak saya terjemahkan). Hanya orang-orang
yang tak pernah merasakan hidup di sana sajalah yang bisa berkomentar blablabla
seenak udelnya bodong.” (Meskipun dalam hal ini saya bertanya-tanya dari mana
si teman itu tahu bahwa orang yang berkomentar asal tersebut udelnya bodong).
Namun yang jadi masalah bukanlah udel
yang bodong atau tidak, melainkan betapa tidak pantasnya seseorang dengan
kapasitas seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia di sebuah negara dengan seratus
sekian puluh juta umat Muslim, yang mana tidak semuanya bijaksana dan berjiwa
besar seperti yang direpresentasikan dengan jelas oleh kaum narsis ( lihat
posting berjudul ‘Umat Narsis dan Umat Lebay’), mengeluarkan statement semacam
itu. Saya tidak mau membahas perkara lainnya, saya hanya ingin membahas
statement itu saja. Dari pernyataan tersebut bisa ditangkap sedikitnya:
1. Sang ketua jelas
berusaha ingin mengaburkan masalah dengan melarikannya pada hal lain, tepat seperti
petuah tak bijak yang mengatakan ‘Kalau ingin menghilangkan bau pete, makanlah
jengkol’. Bau petenya memang hilang, tapi gantian bau jengkol yang eksis. Atau
malah bau ajaib perkawinan antara pete dan jengkol. Yang artinya, memunculkan
masalah baru. Dalam hal statement ketua MUI tersebut masalah yang bisa timbul
di antaranya adalah:
a.
Umat narsis jadi semakin besar kepala dan kian
gila-gilaan dalam menjalankan aksi mereka.
b.
Umat yang tidak narsispun bisa jadi terpengaruh,
walaupun tidak serta merta mendadak narsis dalam derajat kengerian yang sama
dengan para narsis kampiun yang sudah lama berkecimpung dalam dunia narsisme.
c.
Umat lebay jadi tambah tidak terima, karena selama ini mereka
merasa orang Kristenlah yang melulu jadi korban. Kemudian mereka jadi kian hiperbolik
dalam menyebarkan kampanye berat sebelah mereka.
d.
Umat di daerah-daerah ‘tertuduh’ dalam statement tersebut berpotensi merasa sakit hati.
Terutama daerah yang sudah terbukti melaksanakan dengan nyaris sempurna sila
pertama dan ketiga Pancasila, seperti Manado, misalnya. Dan melaksanakan dua
sila tersebut adalah perkara yang sama sekali tidak mudah, terlebih jika usaha
tersebut sudah dilakukan selama berbilang dekade atau bahkan mungkin abad,
diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Belum terhitung tantangan
dari luar, misalnya berita-berita di media yang mudah sekali diakses yang
kebanyakan distorsif, menjengkelkan, enggak penting banget, dan cenderung
dibuat untuk mengombang-ambingkan hati rakyat tersebut. Jadi patutlah kita
semua meneladani keberhasilan rakyat Minahasa atau manapun juga dalam
menegakkan cara hidup yang bijaksana tersebut. Kalau memang tak mampu,
setidaknya kita bisa tutup mulut, terutama jika kita adalah seorang tokoh,
terlebih pemimpin umat yang semestinya bisa menjadi panutan.
2.
Sang Ketua tidak memiliki kualitas sebagai seorang
pemimpin.
Bertolak dari kalimat ‘siapapun lebih baik tutup mulut jika
tak mampu melakukukan suatu hal yang baik, termasuk jika itu adalah seorang
pemimpin sekalipun’ di atas, adalah suatu kecelakaan yang fatal jika seorang
pemimpin umat hanya memilih tutup mulut. Sebab salah satu kualifikasi yang
dibutuhkan dari seorang pemimpin umat adalah kemampuan berkomunikasi yang baik.
Kemampuan ini termasuk (dan terutama) menenangkan hati umatnya yang sedang
galau. Seorang pemimpin umat tentu dituntut untuk punya hubungan pribadi yang
dengan Tuhan. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, maka akan semakin
berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan pulalah tutur katanya. Jika ia tak
punya kemampuan untuk itu, maka kita bisa mempertanyakan kualitasnya, apakah
sebagai pemimpin atau penguji? Dalam hal ini adalah penguji kesabaran dan
kualitas kita sebagai hamba, apakah lebih memilih untuk kembali kepada firman
Tuhan atau kepada orasi pemimpin yang bagaimanapun adalah manusia biasa, yang
ujung-ujungnya kultus individu. Seorang pemimpin yang tidak bijaksana bisa
tergelincir dari menjalankan peran sebagai seorang yang menuntun atau seorang
yang mencobai manusia-manusia lainnya. Kedekatan
dengan Tuhan akan memberi seseorang, siapapun itu, terutama seorang pemimpin,
karakteristik-karakteristik unggul macam ketenangan, kebijaksanaan, kedalaman
pikir, dan terutama hikmat marifat. Kebalikan dari itu adalah jiwa yang
grusa-grusu, yang dalam istilah populernya sekarang galau.
Hanya jiwa galaulah yang bisa mendorong seseorang melakukan
tindakan pecicilan yang berpotensi merugikan orang lain. Kegalauan pulalah yang
membuat seseorang kebingungan dan tak tahu apa yang harus ia katakan. Ada
banyak sekali hal negatif yang bisa dilakukan oleh seseorang yang galau, sebab
kegalauan adalah suatu kondisi di mana kita tak punya pijakan pasti. Seorang
pemimpin yang kuat dan tenang akan tahu tindakan dan atau kata-kata apa saja
yang harus ia tunjukkan untuk meredakan kegalauan umatnya. Namun seorang
pemimpin yang galau tidak akan bisa melakukan apapun kecuali melakukan tindakan
ugal-ugalan yang menginspirasi orang lain, terutama umatnya, untuk melakukan
hal buruk. Seorang pemimpin yang galau tidak bisa tidak hanya mampu
mengeluarkan statemen yang makin mengobarkan api. Lidah seorang pemimpin yang
galau ibarat bahan bakar yang siap menyulut api yang kecil menjadi kobaran
besar. Lidah pemimpin yang galau bukan hanya akan jadi harimau bagi dirinya
sendiri, namun juga bagi umatnya dan umat yang lain.
Saya tidak tahu dengan anda, tapi
saya pribadi tidak membutuhkan pemimpin yang galau. Ketimbang dipimpin oleh
seseorang yang tidak tahu apa yang dilakukan atau dikatakannya, bahkan
berpotensi menjerumuskan saya ke sumur masalah, lebih baik saya jadi kepala
sekolah untuk diri saya sendiri. Semoga bangsa Indonesia semakin bijak dalam
memilih pemimpinnya. Dan semoga siapapun yang punya kapasitas sebagai pemimpin
di bumi pertiwi ini, dalam derajat apapun, punya kemampuan sekaligus kerendahan
hati untuk menerapkan standart pemikiran, tutur kata, dan perilaku yang tinggi
pada dirinya sendiri, sehingga ia benar-benar patut mengemban amanah sebagai
pemimpin . Sungguh tak adil bila bangsa sebesar ini dipimpin oleh seseorang
yang galau, yang terombang-ambing dalam menentukan tindakan apa yang harus ia
lakukan untuk menghadapi sebuah masalah. Rakyat Indonesia punya hak untuk
mendapatkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Karena bangsa ini adalah bangsa
besar yang unik dan tiada dua, yang hanya patut dipimpin oleh mereka yang layak
menjadi perpanjangan tangan Tuhan di dunia.
Tuhan memberkati Indonesia!
*Rangkaian artikel ini akan ditutup
dengan posting hari Kamis yang berjudul ‘Umat yang Lempengdotcom’.