Senin, 30 Januari 2012

Pemimpin Umat yang Galau


Kalau dalam artikel sebelumnya saya membahas umat narsis dan lebay, sekarang gentian pemimpin umat yang galau. Kalimat pemimpin umat yang galau di sini punya dua arti. Pertama, umatnya yang galau. Kedua, pemimpinnya yang galau.  Dalam artikel ini pilihan saya jatuh pada yang kedua. Dan di sini saya khusus membahas kapasitas ketua MUI yang dalam derajat tertentu bisa juga disebut pemimpin umat. Mengenai perkara Gereja Yasmin, dalam sebuah talkshow di sebuah stasiun televisi Ketua MUI menanggapi perkara pelarangan pendirian gereja tersebut dengan kalimat yang bunyinya demikian kira-kira: “Bukan hanya orang Kristen yang dilarang mendirikan gereja, tapi umat Islam di bagian timur Indonesia juga diperlakukan demikian, dilarang mendirikan masjid.”
Atau begitulah kira-kira, saya tidak hapal tepatnya. Suatu statement yang bukan hanya menyimpang dari akar masalah, namun juga mengusung semangat bela diri yang sangat berlebihan dan berpotensi kian mengobarkan bara masalah. Kemudian dengan penuh rasa percaya diri ia menyebut berbagai daerah sebagai contoh, di antaranya Sulawesi Utara. Ketika seorang sosiolog atau apalah yang jadi rekan narasumber dalam acara tersebut mempertanyakan validitas statementnya tersebut karena sepanjang yang semua orang tahu Minahasa adalah daerah dengan tingkat kerukunan beragama terbaik di Indonesia, dengan ringan dan lucu sang Ketua berkata begini kira-kira: “Saya dapat info dari sumber di daerah.” Sudah, begitu saja. Tanpa data atau apapun juga. Tanpa rasa bersalah atau apa, dengan wajah yang sangat lempeng. Luar biasa.

Sebuah statement yang benar-benar menyakiti perasaan umat yang sudah bekerja dan berusaha keras untuk menciptakan negeri yang damai sejahtera (baca posting saya yang lama: Negeri Minahasa, Surga Bagi Kerukunan Antar Umat Beragama). Bukan hanya umat mayoritas yakni Kristen, namun juga Muslim, dan umat lain yang sudah bekerja keras demi perdamaian di daerah mereka. Salah seorang teman saya, orang Jawa, Islam, yang pernah tinggal 4 tahun di Manado, yang biasanya selalu membuat status serta komentar lucu gila-gilaan, mendadak dengan emosi berkomentar begini, “Wkhfahflauiefnajfakjehruhnfkajfeu!!!! (ekspresi kemarahan yang sebaiknya tidak saya terjemahkan). Hanya orang-orang yang tak pernah merasakan hidup di sana sajalah yang bisa berkomentar blablabla seenak udelnya bodong.” (Meskipun dalam hal ini saya bertanya-tanya dari mana si teman itu tahu bahwa orang yang berkomentar asal tersebut udelnya bodong).

Namun yang jadi masalah bukanlah udel yang bodong atau tidak, melainkan betapa tidak pantasnya seseorang dengan kapasitas seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia di sebuah negara dengan seratus sekian puluh juta umat Muslim, yang mana tidak semuanya bijaksana dan berjiwa besar seperti yang direpresentasikan dengan jelas oleh kaum narsis ( lihat posting berjudul ‘Umat Narsis dan Umat Lebay’), mengeluarkan statement semacam itu. Saya tidak mau membahas perkara lainnya, saya hanya ingin membahas statement itu saja. Dari pernyataan tersebut bisa ditangkap sedikitnya:
1.      Sang ketua jelas berusaha ingin mengaburkan masalah dengan melarikannya pada hal lain, tepat seperti petuah tak bijak yang mengatakan ‘Kalau ingin menghilangkan bau pete, makanlah jengkol’. Bau petenya memang hilang, tapi gantian bau jengkol yang eksis. Atau malah bau ajaib perkawinan antara pete dan jengkol. Yang artinya, memunculkan masalah baru. Dalam hal statement ketua MUI tersebut masalah yang bisa timbul di antaranya adalah:
a.      Umat narsis jadi semakin besar kepala dan kian gila-gilaan dalam menjalankan aksi mereka.
b.      Umat yang tidak narsispun bisa jadi terpengaruh, walaupun tidak serta merta mendadak narsis dalam derajat kengerian yang sama dengan para narsis kampiun yang sudah lama berkecimpung dalam dunia narsisme.
c.       Umat lebay jadi  tambah tidak terima, karena selama ini mereka merasa orang Kristenlah yang melulu jadi korban. Kemudian mereka jadi kian hiperbolik dalam menyebarkan kampanye berat sebelah mereka.
d.      Umat di daerah-daerah ‘tertuduh’ dalam statement  tersebut berpotensi merasa sakit hati. Terutama daerah yang sudah terbukti melaksanakan dengan nyaris sempurna sila pertama dan ketiga Pancasila, seperti Manado, misalnya. Dan melaksanakan dua sila tersebut adalah perkara yang sama sekali tidak mudah, terlebih jika usaha tersebut sudah dilakukan selama berbilang dekade atau bahkan mungkin abad, diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Belum terhitung tantangan dari luar, misalnya berita-berita di media yang mudah sekali diakses yang kebanyakan distorsif, menjengkelkan, enggak penting banget, dan cenderung dibuat untuk mengombang-ambingkan hati rakyat tersebut. Jadi patutlah kita semua meneladani keberhasilan rakyat Minahasa atau manapun juga dalam menegakkan cara hidup yang bijaksana tersebut. Kalau memang tak mampu, setidaknya kita bisa tutup mulut, terutama jika kita adalah seorang tokoh, terlebih pemimpin umat yang semestinya bisa menjadi panutan.

2.      Sang Ketua tidak memiliki kualitas sebagai seorang pemimpin.
                                                                                                                        
Bertolak dari kalimat ‘siapapun lebih baik tutup mulut jika tak mampu melakukukan suatu hal yang baik, termasuk jika itu adalah seorang pemimpin sekalipun’ di atas, adalah suatu kecelakaan yang fatal jika seorang pemimpin umat hanya memilih tutup mulut. Sebab salah satu kualifikasi yang dibutuhkan dari seorang pemimpin umat adalah kemampuan berkomunikasi yang baik. Kemampuan ini termasuk (dan terutama) menenangkan hati umatnya yang sedang galau. Seorang pemimpin umat tentu dituntut untuk punya hubungan pribadi yang dengan Tuhan. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, maka akan semakin berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan pulalah tutur katanya. Jika ia tak punya kemampuan untuk itu, maka kita bisa mempertanyakan kualitasnya, apakah sebagai pemimpin atau penguji? Dalam hal ini adalah penguji kesabaran dan kualitas kita sebagai hamba, apakah lebih memilih untuk kembali kepada firman Tuhan atau kepada orasi pemimpin yang bagaimanapun adalah manusia biasa, yang ujung-ujungnya kultus individu. Seorang pemimpin yang tidak bijaksana bisa tergelincir dari menjalankan peran sebagai seorang yang menuntun atau seorang yang mencobai manusia-manusia lainnya.  Kedekatan dengan Tuhan akan memberi seseorang, siapapun itu, terutama seorang pemimpin, karakteristik-karakteristik unggul macam ketenangan, kebijaksanaan, kedalaman pikir, dan terutama hikmat marifat. Kebalikan dari itu adalah jiwa yang grusa-grusu, yang dalam istilah populernya sekarang galau.

Hanya jiwa galaulah yang bisa mendorong seseorang melakukan tindakan pecicilan yang berpotensi merugikan orang lain. Kegalauan pulalah yang membuat seseorang kebingungan dan tak tahu apa yang harus ia katakan. Ada banyak sekali hal negatif yang bisa dilakukan oleh seseorang yang galau, sebab kegalauan adalah suatu kondisi di mana kita tak punya pijakan pasti. Seorang pemimpin yang kuat dan tenang akan tahu tindakan dan atau kata-kata apa saja yang harus ia tunjukkan untuk meredakan kegalauan umatnya. Namun seorang pemimpin yang galau tidak akan bisa melakukan apapun kecuali melakukan tindakan ugal-ugalan yang menginspirasi orang lain, terutama umatnya, untuk melakukan hal buruk. Seorang pemimpin yang galau tidak bisa tidak hanya mampu mengeluarkan statemen yang makin mengobarkan api. Lidah seorang pemimpin yang galau ibarat bahan bakar yang siap menyulut api yang kecil menjadi kobaran besar. Lidah pemimpin yang galau bukan hanya akan jadi harimau bagi dirinya sendiri, namun juga bagi umatnya dan umat yang lain.
               
           Saya tidak tahu dengan anda, tapi saya pribadi tidak membutuhkan pemimpin yang galau. Ketimbang dipimpin oleh seseorang yang tidak tahu apa yang dilakukan atau dikatakannya, bahkan berpotensi menjerumuskan saya ke sumur masalah, lebih baik saya jadi kepala sekolah untuk diri saya sendiri. Semoga bangsa Indonesia semakin bijak dalam memilih pemimpinnya. Dan semoga siapapun yang punya kapasitas sebagai pemimpin di bumi pertiwi ini, dalam derajat apapun, punya kemampuan sekaligus kerendahan hati untuk menerapkan standart pemikiran, tutur kata, dan perilaku yang tinggi pada dirinya sendiri, sehingga ia benar-benar patut mengemban amanah sebagai pemimpin . Sungguh tak adil bila bangsa sebesar ini dipimpin oleh seseorang yang galau, yang terombang-ambing dalam menentukan tindakan apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi sebuah masalah. Rakyat Indonesia punya hak untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Karena bangsa ini adalah bangsa besar yang unik dan tiada dua, yang hanya patut dipimpin oleh mereka yang layak menjadi perpanjangan tangan Tuhan di dunia.
                Tuhan memberkati Indonesia!

*Rangkaian artikel ini akan ditutup dengan posting hari Kamis yang berjudul ‘Umat yang Lempengdotcom’.

4 komentar:

  1. tiba tiba saya jadi inget si ketua DPR yang mengomentari tsunami Mentawai dengan bunyi kurang lebih "makanya, jangan tinggal di pesisir/tepi pantai". #Lhaaaaaaaa

    yap, kita sama sekali nggak butuh pemimpin yang "mbribeni" *saya suka sama istilah ini! hehehe* Ucapan ketua DPR *namanya saja malas saya sebutkan, kalau ngelihat tampangnya, pengen saya tempeleng trus nanya, "lo sekolah gak sich?"* tersebut memang menunjukkan....mmm...kapasitas otaknya kali yach? yang jelas, semoga rakyat Mentawai kala itu yang sudah kesusahan, rumahnya porak poranda, nggak semakin jatuh lagi *gubrag* dalam kenestapaan karena statement nggak jelas dari lidah yang saya ragukan, pernah sekolah atau ngga, padahal ketua Dewan yang terhormat.

    Ya, rakyat Indonesia sudah saatnya dan sudah hausss sekali untuk memiliki pemimpin yang berkharisma dan berkualitas luar biasa. Masak iya dari sekian ratus juta orang Indonesia, nggak ada satupun yang memenuhi syarat? masak iya dari semua orang yang duduk di pemerintahan sana isi otaknya cuma duit duit dan duit doank? saya yakin, sebagian besar dari Bangsa kita ini sudah capek, persoalan koq kagak selesai-selesai. Duh, saya takut deh kalau rakyat sudah marah. People Power bisa sangat mengerikan. Mendingan yang di atas sana tobat deh kalau perlu menyerahkan jabatan kalau merasa memang nggak mampu.

    soal televisi, ya, memang apa mau dikata, dua stasiun berita terbesar negeri ini sudah jelas-jelas terlihat sangat disetir arahnya. Konyol sih buat saya, koq bisa kasus Kasminah yang konon katanya mencuri piring tersebut berlarut-larut dan sampai dibuatkan dialog khusus mengenai hal tsb? Kenapa sih, nggak fokus sama penyelesaian Cek Pelawat dan Wisma Atlit yang jelas-jelas ada kekuatan mafia di dalamnya? Media punya kemampuan untuk menyetir opini masyarakat, dan media sadar sekali akan hal tersebut. Akan tetapi, yang dibahas justru malahan pencurian sendal jepit lah, piring lah, buah kakao lah, pisang lah. Kalau negeri ini negeri yang adem ayem mungkin wajar kalau beritanya seputar hal-hal "remeh temeh" tersebut. Namun, ada persoalan besar yang harus diselesaikan di negeri ini. Penembakan misterius di Bireun, Timika dan Mulia, serta kisruh penyerobotan lahan di Bima, Pulau Padang dan Mesuji serta OKI, bukanlah ini semua PR yang lebih layak untuk diselesaikan secepatnya agar rakyat tidak menjadi korban? Hingga saat ini, korban jahir mulut Pulau Padang masih bertahan di depan pintu gerbang MPR/DPR sementara di dalamnya mereka saling tuding siapa yang telah memberikan ijin untuk mebeli kursi seharga Rp. 24 juta. *padahal kursinya sudah sampai dan sudah diduduki juga* Hahaha,.,...kelihatan banged kalau saya lalapannya koran. wekekekekek

    penutup komentar ini tampaknya hanyalah : Semoga orang-orang jahat ini berhenti menggerogoti Indonesia dan muncul orang-orang dengan visi yang benar untuk menyejahterakan bangsa ini. benar, saya takut sama People Power.

    BalasHapus
  2. maaf ya Mbak May, komen saya ngelindur dan melenceng nih kayaknya. benang merahnya cuma pemimpin yang galau aja.

    BalasHapus
  3. Memang sih, komentarnya nggak nyambung, hehe... Tapi jangan khawatir, biarpun nggak nyambung tapi seru karena saya jadi dapat banyak info tanpa perlu nonton berita yang ngeselin. Lagi-lagi soal media massa. Sebetulnya ada banyak pemimpin baik skala nasional, daerah, maupun kampung, yang layak untuk dijadikan suri tauladan. Tapi biasanya yang model begituan enggak narsis. Dan bagi media sendiri, yang model begituan jelas tidak menarik untuk dijadikan headline. Kan nggak sensasional. Trus yang mau nonton siapa? Kalau nggak ada yang nonton dapat duit dari mana? Itu sebabnya kita dari kalangan yang ngakunya terpelajar, berpendidikan dan sebagainya harus giat melakukan pressing terhadap media massa. Supaya mereka lama-lama jadi risih dan lambat laun insyaf.
    Yakinlah, Lomie, komen Lomie yang satu ini memberi saya gagasan untuk artikel berikutnya entah kapan. Trima kasih wahai sahabat.....

    BalasHapus
  4. Kalau people power kayaknya belum, deh. Capek kali mau bikin yang begituan. Tapi siapa tau aja ada kemungkinan terjadi, mari kita cegah dengan sedapat mungkin memberi tekanan pada media untuk membuat berita yang berimbang dan bisa dipertanggungjawabkan, yang bisa menggiring publik ke arah yang benar, dan bukannya tambah bikin ruwet. Sudah pemimpinnya galau, umatnya kebingungan nggak tau mau bikin apa, eh, dikompor-komporin. Celaka.

    BalasHapus