Senin, 23 Januari 2012

Anak-anak Sapi yang Cerdas dan Ceria


Para juru kampanye ASI eksklusif itu memang baik hati. Sayangnya, mereka tidak sadar bahwa kadang-kadang mereka bisa sadis. Saking bersemangatnya mereka mendesak para ibu masa kini yang sibuk berkarir dan mengejar segala sesuatu di luaran sana, atau para perempuan yang menganggap bahwa payudara kencang adalah satu-satunya komoditi perempuan hingga malas menyusui bayinya, para jurkam ASI ini dengan semangat mencibir yang membara menyebut bahwa anak-anak yang tak disusui ibunya adalah anak sapi. Kalau ingin tahu bagaimana perasaan seorang ibu yang anak-anaknya dikatai anak sapi, tanya saja saya. Tertusuk hingga lubuk hati yang paling dalam, begitulah rasanya. Ya, tak mungkin lebih lebay daripada ini.
Kalau para jurkam tersebut mengatakan bahwa perempuan yang tak menyusui bayinya adalah egois sebab semua perempuan pastilah bisa memberikan ASI asal dia mau, maka mereka pasti lupa bahwa Tuhan begitu kreatif hingga tak pernah menciptakan segala sesuatu seragam. Selalu ada penyimpangan. Salah satunya saya, yang hanya bisa gigit jari meski sudah jungkir balik mencoba berbagai cara dan ikhtiar baik secara tradisional maupun modern supaya anak-anak saya bisa merasakan ASI. Pijit, sedot, jamu, obat, segala macam terapi, semua sudah saya lakoni. Mungkin cuma daun pintu dan jendela yang tidak saya makan dalam salah satu upaya untuk menghasilkan ASI. Dulu saya curiga bahwa ukuran bisa jadi biang keroknya, sebab punya saya memang bisa dibilang ‘sederhana dan apa adanya’. Tapi nyatanya tidak juga. Ada beberapa kenalan saya yang bahkan bisa disebut ‘antara ada dan tiada’ , ternyata bisa memproduksi susu berlimpah ruah bagi anak-anak mereka.
Jadi setelah bulan ketiga segala usaha tersebut tak membuahkan hasil, baik anak pertama maupun kedua, sayapun berhenti karena kelelahan dan putus asa. Namun rupanya cobaan tak berhenti sampai di situ. Masih ada para dzolimin yang begitu tahu anak saya minum susu formula, dengan ringan dan riang gembira berkomentar, “Waaaahhhhh…. Anak sapi, ya?”. Tinggallah saya terpuruk dan merutuki siapapun yang menciptakan istilah ini.
Tapi saya percaya bahwa satu pintu tertutup hanyalah supaya kita bisa menemukan pintu lain yang lebih besar. Ditekan oleh perasaan gagal tersebut, saya menjejali anak saya dengan berbagai nutrisi yang saya pikir bisa menjadi substitusi ASI. Mendadak saya jadi ahli gizi amatir. Segala bacaan tentang gizi saya baca, hapalkan, dan aplikasikan dengan cermat. Buah dada yang tertutup adalah pintu bagi pengetahuan yang lain, terpujilah Tuhan. Buah dada yang hanya berguna bagi suami (itupun belum tentu, sebab siapa tahu dalam hati dia cekikikan geli dan mengasihani diri sendiri pada saat yang sama) dan tidak bagi anak-anak saya itulah yang menjadi jembatan perkenalan saya dengan tempe.
Berhubung anak pertama saya adalah bayi yang sangat rakus dan tak kenal kenyang, dokter sekaligus ahli gizinya menyarankan agar ia dibuatkan bubur tim saring ketika menginjak usia bulan ke empat menjelang lima. Sebagai percobaan, sedikit saja dulu untuk memberi kesempatan bagi pencernaannya beradaptasi, demikian katanya. Resepnya adalah: cuci bersih beras segenggam, sejumput sayuran lalu ditim tidak di atas api langsung bersama dengan cakar ayam kampung yang sudah dikeprak dan disayat-sayat. Sayur boleh diganti jenisnya tiap hari, asal bukan yang mengandung gas macam sawi atau kubis. Demikian pula dengan protein hewaninya. Tapi ada dua perkara yang tak boleh luput setiap kali memasak tim tersebut. Yang pertama adalah bawang putih, yang berfungsi sebagai antioksidan dan penguat daya tahan tubuh. Yang kedua, tentu saja, sahabat kita, tempe.
Saya percaya seratus persen apa katanya. Bagai kerbau dicocok hidung saya mematuhi perintahnya, sebab Prof. Dr. dr. Sudigbyo, SpA, dokter anak saya, mengambil PHD-nya di Inggris atau di mana saya lupa, dengan disertasi mengenai tempe bagi kecerdasan, daya tahan tubuh, pencegah serta pengobat diare, dan meraih nilai tertinggi, mengalahkan kandidat-kandidat lain yang berasal dari berbagai negara maju. Resep tersebut saya terapkan bagi kedua anak. Hasilnya? Saya boleh bangga. ‘Anak-anak sapi’ tersebut tumbuh begitu sehat. Segala penyakit ringan dan berat membenci mereka. Cerdas, sudah pasti. Dalam periode usia 0-5 tahun, semua anak saya terkena diare masing-masing tak pernah lebih dari 3 kali. Padahal yang namanya balita di mana-mana pasti bersahabat karib dengan diare, yang dalam derajat tertentu bisa mematikan ini. Tapi tidak anak-anak saya. Daya tahan tubuh mereka luar biasa. Putri saya bahkan kelincahannya melebihi ukuran. Siapapun yang pertama kali melihat aksinya dijamin terancam jantungan, karena hobinya adalah memanjat dan meloncat. Di usia kurang dari dua tahun ia sudah lihai melompat dari pantry setinggi satu meter. Di waktu itu pula ia sudah bisa memanjat rak setinggi 2 meter hingga sap tertinggi (saya menjaganya tanpa menyentuhnya sama sekali), dengan kehati-hatian dan teknik yang luar biasa. Itu semua membutuhkan keliatan tubuh dan kecerdasan otak yang tak main-main. Segala tembok dan pagar telah digagahinya. Saya menyebutnya ‘terlahir sebagai cliffhanger’. Kadang-kadang saya juga memanggilnya ‘Jolly Jumper’.
Lalu kena berapa perkara tempe dengan kecerdasan dan keliatan anak-anak sapi tersebut? Sebaiknya nanti di artikel berikutnya. Yang ini saya tutup saja dengan propaganda: Para ibu hamil dan atau menyusui, makanlah tempe sesering mungkin, suka atau tidak, sebab anda dan bayi anda membutuhkannya. Para orang tua dengan bayi yang masih makan bubur, sedapat mungkin jauhi bubur instan. Berikan tempe dalam adonan bubur anak-anak anda. Dan siapapun yang bertanggung jawab atas urusan memasak di rumah masing-masing, hidangkan tempe setiap hari, setiap waktu. Para pembaca yang tercinta, cintailah tempe seperti anda mencintai diri sendiri. Dan janganlah puas lalu berhenti sampai di sini. Percakapkan tempe di manapun anda berada, pada siapapun yang anda jumpa. Pada saudara dan handai taulan, teman-teman, tukang sayur atau tukang becak langganan, ketua RT, pada acara arisan atau pengajian, pada kumpulan PKK, saat istirahat kantor atau kuliah, saat mengobrol di ruang tunggu dokter, saat BBM-an, saat apapun dan di manapun. Pada siapapun (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


2 komentar:

  1. Jeung, saya jadi inget cerita teman saya yang keseeeeeeeel banged deh diocehin orang ketika mereka melihat anaknya ileran. Komen standard yang muncul "waaah...dulu ga keturutan apa nich sampe ileran begini...?". saking kesalnya, ia bahkan pernah mengecam dan menulis di Facebook, intinya jangan kira lo orang tua yang lebih baik sehingga bisa nguliahin gue soal besarin anak. Anak gue, gue besarkan dengan cara gue sendiri, dan gue ga melihat kalau cara kalian lebih baik tuh. nggak usah nguliahin orang lah. Intinya seperti itu, dia sebal sama mulut nyinyir orang2 yang "kepo" soal peri kehidupan orang lain. mungkin ini kesal yang mbak May rasakan ketika anaknya mbak May disebut sebut anak **** oleh orang-orang yang enteng lidah itu kali yah...mudah-mudahan otak mereka nggak enteng juga deh...hiyyy...amit amit.

    Mudah-mudahan, kita bisa jadi pribadi yang lebih baik dan tidak sembarangan menilai dan menghakimi orang lain. Kadang-kadang saya juga capek mbak, kalau kumpul keluarga, pasti ujung-ujungnya ditanya soal merit-lah. Ntar kalau udah merit, kapan punya anak lah. kalau udah anak, adeknya mana, mungkin begitu kali ya? yah, saya sih cuma megang prinsip semua itu ada waktunya. Kalau belum waktunya, ya memang belum dikasih kali sama yang di Atas, no matter how hard we try. ya udah deh, saya coba jadi orang yang berpasrah, namun tetap berusaha :)

    BalasHapus
  2. Akhirnya komentar Lomar datang juga!!! Berapa lama tanpa komen Lomie hidup saya rasanya hampa. Preeet..:-p. Eh, tapi ini komen atau curcol, ya? Hehe.... Saya juga jadi bertanya-tanya nih, jangan-jangan postingan saya yang ini berbau curcol, ya? Maksudnya sih membahas superioritas dan betapa pentingnya tempe dalam perikehidupan, eh, ternyata prolognya terlalu menyayat.
    Bicara soal curcol kita berdua, memang kita manusia punya kecenderungan menghakimi. Dihakimi bagi saya adalah nasi sayur + tempe, alias makanan sehari-hari. Tapi berhubung saya percaya pada pepatah yang mengatakan 'we can not satisfy everybody', jadi kebanyakan saya menebalkan kuping pada mereka yang berkomentar asal. Saya bukan penganut paham 'Jadikan kritik sebagai cambuk'. Ya kalau yang ngritik tau apa yang dia bicarakan, kalau enggak? Saya penganut paham 'lihat dan ambil segala sesuatu yang baik'. Dalam hal memberi nutrisi anak-anak saya, yang saya jadikan cambuk adalah fakta ASI adalah materi terpenting yang dibutuhkan oleh seorang bayi, yang tidak didapatkan oleh anak-anak saya. Komentar anak sapi sama sekali bukan cambuk, tapi seratus persen hal menjengkelkan yang selalu membuat saya nyolot dan ingin berseru "Kejaaaammmmmm......"
    Well, Lomar, lain kali anda dihakimi, tebalkanlah telinga dan katakan pada diri anda: orang yang benar-benar tahu diriku akan memberi masukan berharga dan membangun, dan bukannya bertingkah bagai hakim tanpa palu."

    Tuhan memberkati....

    BalasHapus