Kamis, 22 Desember 2011

Hati dan Pikiran yang Terbuka (2)

Lagi-lagi Paijo. Tampaknya Paijo benar-benar jadi hit dalam minggu-minggu terakhir ini. Masih tentang betapa konservatifnya ia sebelum menjadi dekat dengan saya. Dan itu bukan hanya menyangkut orang lain, namun juga tentang sesama muslim. Kisahnya begini. Suatu hari, entah dari mana awalnya, kami mengobrol tentang jilbab. Lalu ia sampai pada keheranannya tentang teman-teman gadisnya di Indonesia, terutama di kampus. “Hari ini mereka pakai jilbab. Esok hari mereka lepas jilbab. Esok harinya lagi mereka pakai lagi, kemudian lepas lagi, demikian seterusnya. Mengapa mereka perlakukan jilbab seperti itu? What kind of muslimah are they?”
“Wow, hold on! I believe that’s very a strong statement,” protes saya keras.
“What am I supposed to say?” tanyanya ngeyel, lalu semakin berapi-api dalam definisinya tentang muslimah yang baik dan sebagainya. Terus terang saya tidak begitu memperhatikan, karena sibuk memikirkan cara untuk menyampaikan antithesis dengan cara yang manis dan sederhana. Akhirnya saya mendapat hikmah illahi, untuk masuk dengan pertanyaan: bagaimana dengan gadis-gadis di negaramu? Apakah mereka tak pernah lepas jilbab?
“Of course! What do you expect?” gelegarnya bangga.
Saya, berkat urapan Roh Kudus, mendadak ingat sabda Yesus kristus, ‘Biarlah kamu cerdik seperti ular namun tulus bagaikan merpati’, berkata dengan nada kagum yang polos, “Wow, luar biasa! Bagaimana bisa?”
Dengan kebanggaan meluap-luap ia berkata sebab memang begitulah adanya. Sejak usia dini, gadis-gadis cilik di negaranya sudah dikenakan jilbab oleh emak mereka masing-masing. Hari demi hari mereka jalani seperti itu sementara mereka tumbuh besar, hingga hal itu akhirnya menjadi kebiasaan. Dan tak terbersit dalam benak mereka untuk melepas jilbab meski hanya sehari, karena tak ada seorangpun perempuan di penjuru Libya tak berkerudung.
“That reveals all answer,” kata saya masih dengan nada polos yang sama.
“Meaning….?”
“Maksudnya, tentu saja tak pernah terpikir oleh mereka untuk melepas jilbab, karena itu adalah kebiasaan. Belum lagi komentar sinis orang-orang di sekitar kalau mereka lepas jilbab, dan berbagai sanksi sosial lainnya. Lain dengan di sini. Memakai jilbab secara umum adalah pilihan. Dan jilbab tentu bukanlah urusan yang sederhana, karena bukan sekedar fashion atau pencitraan, tapi lebih ke dalam adalah komitmen dengan Tuhan. Membuat komitmen dengan pacar saja sulit, apalagi dengan Tuhan. Prosesnya tentu jauh lebih penuh tikungan dan tanjakan yang berbelit. Jadi sangat bisa dimengerti jika hari ini ia pakai jilbab kemudian esok melepasnya, demikian seterusnya. Sebab untuk mencapai tujuan ultimatium, apapun itu, akan selalu ada jatuh bangun. Tapi pada saatnya dia sudah mencapai titik tertinggi itu, kita bisa mengatakan bahwa ia sudah bisa mempertanggungjawabkan komitmennya pada Tuhan. Itu yang mungkin membedakan   pemakai jilbab di Indonesia dan di negaramu.”
Demikianlah pencerahan yang saya sampaikan dengan berdebar-debar cemas, siapa tahu ia ganti mencerca dengan kalimat macam, “Tahu apa kamu soal Islam?”. Atau komentar sinis yang ironik seperti, “Pendapat mengenai perkara menutup aurat yang paling wahid memang biasanya keluar dari mulut cewek yang ke mana-mana pakai celana pendek macam kamu.”
Saya kian gelisah, karena ia diam lama dengan tatapan yang sukar saya jelaskan artinya. Gawat, batin saya dalam hati, jangan-jangan dia minta putus, padahal nyambung aja enggak. Ternyata saya adalah seorang tukang suudzon sejati, karena secara tak dinyana ia justru menatap saya lekat-lekat, berkata, “Benar juga pendapatmu. Aku nggak seharusnya menghakimi orang lain dari luarnya aja. Apalagi sesama muslim. Betapa piciknya aku.”
Saya, setengah mati berusaha menyembunyikan cuping hidung yang melembung, kian bijak,”Ah, nggak separah itu, kok. Memang semua orang kan punya kecenderungan untuk menilai orang lain memakai ukurannya sendiri.”
Memang harus diakui kita cenderung mengukur kaki orang lain dengan sepatu kita. Itu juga menjawab pertanyaan mengapa selalu terjadi pergesekan bukan hanya pada agama yang berbeda, namun bahkan juga agama yang sama dengan aliran berbeda. Bahkan mazhab yang samapun tidak menjamin urusan jadi beres, karena tidak semua orang bisa menghadapi dan atau menanggapi perbedaan tafsir dengan bijaksana. Kalau semua orang bijaksana seperti yang dituntut oleh kitab suci panutannya masing-masing, maka tidak akan ada sesama muslim yang mengatai orang tuanya kafir hanya karena punya tafsir yang berbeda. Dalam derajat yang lebih buruk, meledakkan bom di sebuah masjid yang menurutnya berisi jemaah kafir. Atau tidak akan ada gereja ini atau itu dikatai ‘tidak ada urapan Roh Allah, karena jemaahnya tidak bisa berbahasa Roh’. Tidak akan ada pula sebagian Kristen yang disebut sebagai penyembah patung karena ritual doa mereka yang melibatkan patung dan lilin-lilin.
Tanpa kebijaksanaan spiritual yang cukup, yang ada memang kesombongan rohani. Ujung-ujungnya menghakimi. Lebih jauh lagi kekerasan terhadap siapapun yang berbeda tafsir. Akhirnya, selamat jalan sila ketiga persatuan Indonesia.
Memang butuh usaha untuk mencapai persatuan Indonesia. Dan ini bisa dimulai dari langkah sederhana, menerima dengan bijaksana segala perbedaan yang ada di sekitar kita. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar