Senin, 19 Desember 2011

Hati dan Pikiran yang Terbuka (1).

Masih Paijo sebagai tokoh utamanya. Jangan buru-buru kagum kalau dalam episode lalu saya telah dengan berbuih-buih mengisahkan kebaikan-kebaikannya. Itu kan baru dari satu sisi, sebab seperti sebuah pepatah mengatakan ‘There are always two sides of a coin’, demikian pulalah Paijo. Dan sisi yang lain ini benar-benar sulit didefinisikan, entah fanatisme buta, lugu atau o’on. Sudah saya jelaskan bahwa agama dan ke-Tuhananlah yang paling erat dan cepat mempertautkan kami. Sepanjang setahun lebih belajar di Indonesia, sayalah satu-satunya manusia beragama Kristen yang pernah dekat dengannya. Singkat cerita, pada awal-awal persahabatan kami saya curhat kepadanya tentang kedzoliman seorang perempuan yang jahatnya audzubilahiminzalik. Ia berkomentar, “I think she’s 85% crazy.” Saya tak ambil pusing dengan komentarnya, terus mengoceh. Di akhir kisah, ia menanyakan agama perempuan tersebut, sambil tak lupa berkata bahwa kemungkinan besar ia tidak punya agama sehingga kelakukannya seperti itu (padahal menurut pengalaman saya banyak sekali orang yang tidak memeluk agama tertentu, justru punya perilaku yang jauh lebih baik daripada mereka yang beragama). Saya jawab bahwa perempuan itu –ngakunya- dulu Islam  lalu pindah Kristen.
Sampai di titik ini Paijo benar-benar bagaikan disengat lebah.
“Now I really believe that she’s not 85% crazy, but 100%. I also really believe that’s because she converted from Islam to Christian,” demikian katanya dengan suara menggelegar.
Gantian saya yang melongo. “Hellllllooooo….. sadar nggak sih kalau lo ngomong begini di depan orang Kristen? Dibatin aja kenapa?” nyaris terlontar dari lidah saya, sedetik sebelum saya sadar bahwa ia hanyalah orang yang begitu lugu cenderung o’on. Dalam konteks ini sangat tak tepat kalau saya tersinggung, jadi yang saya lakukan hanyalah cekikikan dalam hati, sementara ia berkicau tentang ganjaran yang harus ditanggung oleh mereka yang menghianati agamanya.
Seberapa tidak sensitifkah si Paijo dalam skala 1-10 menurut anda? Well, tunggu, sebelum menilai anda harus membaca yang ini dulu.
Waktu baru sebulan tinggal di Indonesia, ia diajak makan di sebuah restoran oleh teman sesama Libya yang sudah lebih lama belajar di sini, dus sudah awam dengan berbagai keragaman di negeri ini. Mereka mengobrol dalam bahasa Arab, yang kemudian memancing perhatian beberapa gadis yang duduk berseberangan meja dengan mereka. Singkat kata, para gadis tersebut kemudian menerima tawaran teman Paijo untuk bergabung di meja mereka. Setelah ketahuan bahwa mereka dari Libya, negara yang tidak begitu populer terutama karena waktu kejadian ini belum terjadi masalah dengan Muamar Qadafi tersebut, para gadis tersebut kian tertarik. Mereka bertanya tentang budaya, tradisi, kehidupan sosial, dan sebagainya, dan tentu saja agama.
“Kalau begitu anda pasti muslim, ya?” tanya seorang gadis dengan bahasa Inggris belepotan.
“Absolutely,” jawab teman Paijo dengan bangga. Sampai di sini dalam hati Paijo bertanya-tanya, jika si gadis mengambil kesimpulan seperti itu, berarti ada kemungkinan dia bukan muslim, dong? Maka Paijo memberanikan diri bertanya si gadis beragama apa.
“Christian,” jawab si gadis tak kalah bangganya.
Paijo terlonjak bagaikan diseruduk banteng. “WHAAAT???!!! HOW COME????!!!” tanyanya dengan suara bagaikan Gundala Putra Petir. Si gadis melongo tak tahu harus berbuat apa mendapat reaksi seperti itu, sementara rekan Paijo spontan menyepak kakinya sambil mengumpat-umpat dalam bahasa Arab mengapa ia bisa bertingkah demikian tidak sopan. Paijo, bukannya malu, malah ngeyel tambah semangat. Terjemahannya kira-kira, “Ya wajarlah kalau aku kaget. Dia Kristen, bayangkan! Kenapa bukan Islam??!!!”
Saya tak sempat mendengar kisah kelanjutannya karena keburu terpingkal-pingkal, sampai dari kursi nyaris terjungkal. “Shame on you! I’d rather kill my self if I were you!” demikian seru saya berulang-ulang di tengah derai tawa sekaligus kesibukan menghapus air mata. Paijo tersipu-sipu, mengakui ketololannya yang tak ketulungan.
Demikianlah si Paijo yang demikian lugu dan sederhana, sehingga fakta bahwa ada orang yang dengan ikhlas memilih agama selain Islam bisa membuatnya lupa sopan santun dan sebagainya. Baginya Islam adalah alfa dan omega, permulaan dan akhir. Ia dari, oleh, dan untuk Islam. Saya tidak pernah menemukan orang yang lebih konservatif ketimbang dia sepanjang saya hidup di dunia yang fana. Islam adalah tanah dan langitnya. Islam adalah tempurungnya. Segalanya adalah Islam, dan Islam adalah segalanya. Walking Islam, menurut istilah saya.
Demikianlah si ‘Islam Berjalan’ ini menjalani hidupnya seakan tak ada apapun yang lebih berarti ketimbang Islam dan segala yang diajarkannya, sampai kemudian ia dekat dengan saya. Kami sama-sama penggemar berat Tuhan Allah, dan memandang bulan dengan pendaran sinarnya saja bisa membuat mulut kami berbusa-busa karena memuja-muji Allah dengan segenap kekaguman. Kami bisa mendadak menjadi dua mahluk yang sangat puitis dan romantis jika sudah sampai pada urusan pemujaan pada Tuhan. Kahlil Gibran dan May Ziadah bisa jadi akan menawari kami berkolaborasi membuat antologi puisi kalau berada di tengah kami.
Dari situ kami kemudian masuk kepada saling syiar tentang ajaran dan konsep-konsep yang kami pelajari dari agama masing–masing. Tentu saja banyak hal tentang Islam yang sudah saya dengar dan pahami jauh sebelumnya, mengingat saya hidup di tengah sahabat-sahabat dan masyarakat muslim, termasuk bapak saya sendiri. Namun segala hal tentang kekristenan yang keluar dari mulut saya adalah yang pertama kali ia dengar seumur hidupnya. Dan ia menerima semua itu dengan penuh semangat keingin tahuan dan tanpa ada hasrat sedikitpun untuk mempertentangkannya. Namun kegemarannya adalah mencari persamaan dalam kitabnya, yang mana membuat kami berakhir dengan kesimpulan, “Memang segala hal baik yang berasal dari Allah selalu bersifat universal.”
Satu-satunya hal yang ia ketahui tentang Kristen sebelum bertemu dengan saya adalah bahwa orang Kristen punya tiga Allah, yang mana membuat saya cekikikan dan berkomentar dalam hati, “Hmmm, classic.” Itupun ia katakan dengan entry point yang sangat cantik, yakni masuk dengan cara memuja-muja kebesaran Allah terlebih dahulu, dan berakhir dengan kalimat “Ia adalah esa, tak beranak, tak berbapak,” dan sebagainya. Saya dengarkan segala hal yang ia tahu dan pahami tersebut dengan segenap kesabaran dan ketekunan. Ketika ia selesai, saya, masih dengan kesabaran yang sama, menjelaskan tentang konsep ke-tritunggalan Allah versi, yang seringkali membingungkan bagi orang yang tak paham. Atau tak mau paham.
“Jadi, selama ini kalian hanya punya satu Allah?”
“Praising and serving more than one God will be very capek deh, don’t you think?” balas saya resiprokal.
Ia mengangkat kedua alisnya, lalu dengan takzim mengucapkan terima kasih karena telah memberinya pengertian yang baru, yang membuatnya tak lagi salah mengerti tentang orang lain.
Namun sesungguhnya rasa terima kasih itu tidak sepenuhnya layak saya miliki. Saya harus mengembalikan sebagian kepadanya. Ia seharusnya berterima kasih pula pada dirinya sendiri, yang telah membuka hati dan pikirannya, sehingga bisa menerima segala hal tentang orang lain dalam perspektif rasa hormat dan menghargai. Kalau si 100% Arab 100% Islam ini bisa begitu membuka hatinya, menurut anda bagaimana mustinya kita yang 100% Indonesia dan 100% terbiasa dengan keragaman? (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).






2 komentar:

  1. saya penasaran cuma satu sih, Paijo yang berasal dari Libya ini hanya nama samaran kan? hihihi

    BalasHapus
  2. Sungguh, kau membuat Paijo besar kepala. Bukan nama samaran sih, tapi nama 'baptis'. Orisinil dari Mbak Maya, supaya lebih membumi, hehe....

    BalasHapus