Senin, 27 Februari 2012

‘Rakyat Adil Makmurnya Kapaaan….?’? Tanyakanlah Dirimu Sendiri, Teman.



Saya ini termasuk orang yang aneh. Ketika suami saya menciptakan dan mengaransemen secara utuh lagu-lagu romantis sebagai pernyataan cintanya, saya justru cekikikan geli. Menurut saya adalah hal yang  tidak masuk akal bila sepasang insan menjelang paruh baya seperti kami cinta-cintaan gaya alay begitu. Padahal orang-orang di sekeliling saya –terutama teman-teman cewek anak sulung saya- ketika tahu justru berseru: “Ooooohhhh…. Co cwiiiiiiiiittttt,” sementara saya memutar bola mata. Hati saya justru berbunga-bunga tinggi ketika ia memberi kejutan berupa 5 keris petai waktu kami masih tinggal di Manado dan barang busuk itu demikian sulit dicari. Ketika kebanyakan orang menganggap B.J Habibie adalah jenius fenomenal di Indonesia, saya justru memilih Benyamin Sueb. Ketika yang lain mengatakan bahwa lirik puitis lagu Kla Project dan Ebiet G. Ade sebagai yang paling top, saya justru menobatkan ‘Bulan Sabit di Awan’ sebagai bukan hanya puitis namun juga sanggup membawa imajinasi saya melayang menembus ruang dan waktu. Dan sekarang, waktu orang-orang bukan hanya memandang Pancasila sebagai sesuatu yang sama sekali tidak relevan namun juga menjadikannya bahan olok-olokan, saya justru sibuk mempelajarinya dan dibikin kagum bukan buatan.

Iya, saya sedang terpesona pada Pancasila. Saya merenungi sejarah perumusannya dan menitikkan air mata, sebab pikiran saya mundur hingga masa ratusan tahun sebelumnya, saat bangsa kita jatuh bangun berdarah-darah dalam remasan tangan besi penjajah yang bergelimang darah para pendahulu kita. Klimaks adalah kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkan kemerdekaan yang akhirnya kita bisa raih. Dan saat berusaha menyelami suasana batin para anggota BPUPK saat membawa pulang pekerjaan rumah membuat rumusan Pancasila, lagi-lagi air mata saya mengalir. Mereka mengalami betapa beratnya perjuangan, dibuang dan dikucilkan, jauh dari keluarga, sakit hati karena melihat penderitaan rakyat di mana-mana, dan entah apa lagi sebab saya kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Jadi saya bisa membayangkan betapa besarnya harapan mereka akan masa depan negara Indonesia yang belum lagi terbentuk itu. Mungkin mereka memejamkan mata, mengkhayalkan kebesaran, ketentraman, kemakmuran dan kejayaan negeri ini terlebih dahulu, sebelum mereka memikirkan rumusan apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan semua itu.

Itu semua menjawab pertanyaan mengapa rumusan Pancasila dari butir pertama hingga yang terakhir bisa sedemikian memesona. Pesona paling utama dari Pancasila adalah kemampuannya untuk mencegah sekaligus mengatasi segala permasalahan bangsa luar biasa besar yang luar biasa majemuk ini.  Mari kita telaah bersama-sama (sebenarnya saya ingin menuliskan butir-butirnya secara lengkap, tapi saya terlalu baik hati untuk menyiksa mata siding pembaca, hehe…) rangkumannya.

Sila Pertama: butir-butirnya merangkum secara sempurna hubungan kita dengan Pencipta Alam semesta (sebelumnya diawali dengan iman percaya kita kepada-Nya, yang mana bukan perkara mudah mengingat ada banyak atheis berkeliaran di luar sana. Jadi sekali lagi, tidak menjadi atheis bukanlah hal yang gampang) dan panduan kita dalam berkarya sebagai manusia berlandaskan ajaran ajaran agama. Selebihnya adalah dasar bagaimana kita berinteraksi dengan mereka yang berbeda iman. Jika ini dilaksanakan dengan sempurna oleh segenap elemen bangsa, tidak akan perdebatan sengit berujung hujat antara umat yang berbeda, yang di Indonesia biasanya diwakili oleh umat Islam dan Muslim. Tidak akan ada bentrok antara dua kubu dari agama berbeda, tidak akan kericuhan yang disebabkan izin pendirian rumah ibadah, tidak akan pembunuhan berkedok agama, tidak akan ada FPI dengan aksi-aksi vandal mereka sebab bagaimanapun FPI tidak akan berulah seperti demikian jika tak ada kompleks maksiat dan sebagainya. Di sini saya percaya pepatah ada api ada asap, tidak akan ada kriminalisasi kelompok umat tertentu yang berseberangan tafsir dengan kelompok yang lain, dan sebagainya (cari sendiri, ya:)).

Sila kedua: butir-butirnya adalah dasar mengenai bagaimana selayaknya kita menjalin hubungan dengan yang lain berdasar prinsip keadilan dan keberadaban. Jika kita semua tahu makna dua kata tersebut, maka mungkinkah terjadi kericuhan pasca pilkada dari kubu yang tak terpilih? Mungkinkah terjadi bentrok berdarah antar warga yang saling memperebutkan tanah? Akankah ada kasus buruh yang merasa tereksploitasi dengan upah yang tidak sepadan? Akankah ada keluarga-keluarga yang berantakan? Akankah ada kasus KDRT? Akankah ada kemiskinan? Ada banyak lagi pertanyaan ‘akankah ada’, dan jawabannya ‘TIDAK’ jika kita semua melaksanakannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sila ketiga: rangkuman butir-butirnya adalah bagaimana seharusnya kita mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, mengembangkan rasa cinta tanah air dan semangat persatuan. Jika itu semua kita tanamkan dalam jiwa raga, akankah ada para ahli yang hengkang ke negara lain dengan alasan pemerintah tidak peduli? Adakah atlet yang berteriak-teriak mengeluh di media massa karena tidak mendapat bonus seperti yang ia harapkan atas prestasinya di event internasional? Akankah ada anak muda yang mengaransemen lagu Indonesia Raya dalam versi hip-hop rap seperti yang saya dengar 3 tahun lalu? Akankah ada tawuran antar pelajar, pendukung ormas satu dan yang lain, dan sebagainya? Akankah ada konflik-konflik horizontal? Masih banyak contoh lainnya. Dan jawabannya masih sama, TIDAK jika kita setia mengamalkan dasar-dasar negara kita.


Sila ke empat: inti dari sila ini adalah kedewasaan dalam mengolah pikiran dan mengutarakan pendapat dalam kerangka relasi antar sesama, dan lebih jauh adalah kemaslahatan masyarakat oleh para wakilnya. Ini juga merupakan bumper yang kuat yang jika dilaksanakan maka kita semua akan terhindar dari konflik horizontal macam apapun, yang biasanya berawal dari komunikasi yang salah. Kesalahan komunikasi biasanya diawali dari ketidak pahaman kita akan arti diskusi dan musyawarah. Saat tidak paham otomatis kita akan membuka mulut dengan pendekatan pemaksaan pendapat dan keinginan untuk menang. Digabungkan dengan pihak lain yang sama rendah kualitasnya, ujungnya adalah baku maki, baku hujat, dan akhirnya bentrokan fisik. Lebih ke atas, jika para wakil rakyat memahami benar nilai dari butir ke Sembilan sila ke empat, tidak akan ada keputusan-keputusan berbasis ‘mata ijoisme’ seperti kursi yang mahalnya ngujubilah setan, penundaan membahas UU anti korupsi, tuntutan minta laptop, mesin cuci, dan hal-hal bodoh lainnya yang kerap dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang ngakunya terhormat itu.

Sila ke lima: jika gabungan dari butir-butir dalam sila ini dilaksanakan oleh segenap elemen bangsa, maka tidak akan ada kasus busung lapar, anak jalanan, jual anak dan badan karena faktor ekonomi, kampung yang disesaki keluarga-keluarga pengidap retardasi mental karena faktor gizi, dan sebagainya. Tidak akan ada anekdot tentang pegawai negeri yang berusaha bunuh diri loncat dari gedung tinggi. Tidak akan segerombolan orang yang menempati tanah yang bukan hak mereka, memenuh sesaki bantaran rel dan sepanjang aliran sungai. Tidak akan ada pula kasus penggusuran yang biasanya dikemas secara lebay dalam liputan dan berita distorsif berat sebelah oleh media massa. Tidak akan ada pula mereka yang memperkosa hak pengguna jalan seenak jidat dengan membuka warung-warung kaki lima dengan alasan ‘kami rakyat kecil butuh makan’ dan jargon-jargon kemiskinan lebay lainnya. Tidak akan ada pula anggota masyarakat yang bunuh diri karena tekanan mental dan atau ekonomi. Tidak akan ada pengangguran yang kemudian mata gelap jadi maling atau copet. Perekonomian dalam negeri akan semakin kuat karena kita lebih suka membeli produk buatan lokal. Kesenjangan sosial akan bisa ditekan hingga derajat paling minim karena satu sama lain punya semangat untuk peduli, memperhatikan dan tidak merampas hak orang lain, dan sebagainya.

Rentetan kalimat di atas itulah yang membuat saya terpesona pada Pancasila. Kalau tidak percaya, silakan anda cari butir-butir Pancasila dan anda pelajari sepuasnya. Jika sudah, maka saya percaya seratus persen anda akan sepakat dengan saya: rakyat hanya akan adil dan makmur jika segenap elemen bangsa, terutama rakyat sebagai elemen yang paling besar, menerapkan dengan penuh suka cita setiap butir yang tercantum dalam Pancasila. Namun selama kita mengabaikan, menjauhi, apalagi mencemoohnya, maka parodi ‘Rakyat adil makmurnya kapaaannn…?’ akan terus berkumandang sampai saat Tuhan meluluh-lantakkan bumi ini kala kiamat tiba. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


2 komentar:

  1. kebetulan banget nich Mbak May....saya lagi berada di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Beberapa hari lalu, saya berada di kota dimana rumusan Pancasila dibuat, yakni Kota Ende, Kota yang bersejarah untuk rakyat Indonesia karena di bawah Pohon Sukun bercabang lima itulah Presiden pertama kita, Soekarno merumuskan 5 butir sila Pancasila. Magisnya kota ini mungkin bisa disejajarkan dengan Yogyakarta bagi Jawa.

    pelajaran PMP yang dahulu kita terima sebenernya memang sudah merangkum secara tepat akan apa yang kita harus lakukan terhadap diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat dan negara. Sederhana saja, yakin akan adanya Tuhan (terserah mau Tuhannya apa saja keq, Marapu, Parmalim, Aluk Todolo, Adu Zatua, Dewa Zeta, Kaharingan, dll), menghargai setiap manusia sederajat (dengan adil dan beradab), persatuan Indonesia di atas segala-galanya (bukan golongan, apalagi cuma partai), Satu keputusan bulat yang dimusyawarahkan terlebih dahulu (biar semua kepentingan dan kekurangan terakomodasi, tentu saja dengan menomorsatukan persatuan Indonesia), dan keadilan untuk semua orang (kuenya satu, baginya berlima, kalau orangnya ada lima, dst). Nilai-nilai ini an simpel banget! anak-anak SD saja jawab pertanyaan ini kalau saat ulangan bisa benar koq. mereka bisa saja mendapat nilai 100. Tapi mengapa kita yang sudah dewasa ini malah dapat jeblok kalau ulangan seperti ini diadakan? apalagi sekarang nge-trendnya adalah sesuatu yang jelek. semakin jelek dan semakin nyaman suatu habit, semakin populerlah kebiasaan tersebut. Heran. Satu orang coba melanggar aturan dengan memberikan uang suap yang penting urusannya selesai. Orang yang lain melihat pun akan beranggapan serupa. Tidak masalah, toh tidak merugikan banyak orang, bahkan uang suapnya bisa berguna untuk orang yang diberikan suap. ck ck ck. Kacamata mereka harusnya lebih diperbesar dech.

    Ada satu percakapan yang terjadi antara saya dengan para ranger di Pulau Komodo kemarin. Dari percakapan ringan darimana mau kemana (kemana kemana kemanaaaaa.....) hingga ngobrolin politik dan situasi kebangsaan di Indonesia. Satu hal bodoh yang saya cermati dan terus menerus didengungkan adalah "Kita dulu harusnya dijajah Inggris, bukan Belanda, agar bisa maju seperti SIngapura. Belanda mewariskan kita budaya korupsi. Coba dahulu kita dijajah Inggris". Wah, kesempatan ini tidak saya sia-siakan, langsung saja saya samber dan ctakkkk!!!! saya sikat!

    "Pak, memangnya di Belanda sekarang ada korupsi? enak aja tuh ngomong korupsi warisan Belanda. Emang Angelina SOndakh pernah ngerasain dijajah Belanda?"

    "Belanda sekarang negeri yang maju dan korupsi, kalaupun ada tidak berada pada level yang mengkhawatirkan seperti disini"


    "Kita bisa berhenti korupsi, detik ini, masalahnya kita bukannya tidak bisa, tapi TIDAK MAU!"

    "Ngapain berhenti korupsi??? enak sich...duit ga jelas darimana. peduli syaitan sama perut dan urusan orang, yang penting saya dan ekluarga hidup makmur dan bahagia. perkara KPK mau cari saya, bilang aja sakit"

    "Intinya, kita bukannya tidak bisa, tapi tidak mau berhenti korupsi"

    "Angie yang berusia muda, tidak pernah dijajah Belanda, dan tentunya tidak pernah mengenal budaya warisan VOC tersebut, melihat teman-temannya atau terjeblos dalam lingkaran setan gelap yang namanya korupsi. Mungkin sekarang jargonnya menjadi Korupsi atau mati. kalau lurus-lurus aja, siap-siapa aja kayak Munir atau Bibit Chandra"

    mereka sudah tahu bahwa jalan menuju ke arah sana dipermudah di lembaga, tapi ketahanan mentalnya yang tidak siap.

    ya, sebagai orang awam yang tidak berkecimpung dalam bidang tersebut, sederhana yang bisa kita lakukan hanyalah bertindak benar dan berperilaku benar, untuk memberikan pengajaran kepada anak anak kita di rumah sana. Indonesia belum buta koq. masih banyak orang-orang yang ingin membawa hawa segar dan ingin melihat Indonesia kembali baik seperti dahulu kala. Mulai dari diri sendiri,. Top banget untuk Yuanita Maya!

    BalasHapus
  2. Jadi benarlah kecurigaan saya, bahwa Lomar Dasika memang bekerja pada perusahaan embahnya (bagi pembaca lain yang ingin tahu latar belakangnya, silakan berkunjung ke blog Indahnesia).

    Eh, jadi butir-butir Pancasila sudah dipikirkan perumusannya jauh sebelum adegan pembentukan BPUPKI itu, ya? Bung Karno memang luar biasaaaa....

    Sebetulnya tidak salah sekaligus tidak benar 100% jika kita bilang nggak mungkin mental korupsi kita dapat dari penjajah, orang Angie dkk nggak ngalamin dijajah sama mereka. Karena yang namanya sikap mental itu gampang menular, apalagi yang jelek-jelek dan enak macam korupsi. Setelah menular dan diserap, maka diturunkan dengan sempurna pada generasi-generasi berikutnya yang meneladaninya dengan lugu atau pura-pura bodoh, wong enak. Namun sebaliknya, sekuat apapun penularan mental buruk mengurat akar, pasti bisa kita putuskan jika kita memang sungguh-sungguh berusaha. Tentu saja jika segenap elemen bangsa bergandeng tangan dan nggak munafik. Contoh kemunafikan yang paling sederhana: polisi dimaki-maki tukang korup dan makan suap, padahal mau makan suap dari mana kalau nggak ada yang nyuap? Hal-hal semacam itulah.
    Dan budaya suap juga bukan perkara yang mudah, karena itu menyangkut budaya 'munjungi' orang Indonesia. Munjungi yakni memberi atau mengirim, misalnya makanan, baju, dll. Kalau sekarang ya mungkin apel Malang atau Washington:).Dari kebiasaan punjungan tersebut hubungan jadi erat (yang mana memang merupakan ciri khas sistem kekerabatan orang Indonesia). Nah, kalau sudah dekat begitu kalau dimintai tolong ya jadi sungkan untuk menolak. Dilematis, ya?

    Tapi ujung-ujungnya saya sepakat dengan Lomar, bahwa langkah sederhana yang bisa kita lakukan adalah berperilaku baik dan benar, kemudian kita tularkan pada anak-anak dan orang-orang di sekitar kita. Dan jangan sok malu-malu kucing kalau berbuat kebaikan, toh niatnya untuk memberi teladan (kalau saya mungkin niatnya nyombong, hehe....).

    Top banget juga buat Lomar yang cinta dan memberi yang terbaik untuk Indonesia!

    BalasHapus