Maafkan saya, pembaca, saya sama
sekali tidak bermaksud berdusta. Sebelumnya saya terlanjur berkoar bahwa
posting hari ini berjudul ‘Umat yang Lempengdotcom’. Namun sebelum tulisan
tersebut saya rilis, saya terlanjur mendapat gagasan baru yang akhirnya saya
putuskan untuk saya tuangkan (halah) dalam artikel ini. Masih mengenai pemimpin
umat yang galau, namun dalam skup yang lebih luas.
Saya pernah membaca quote seorang
tokoh yang sayangnya saya lupa, mungkin Robert Kiyosaki atau siapa (koreksi
kalau saya salah), demikian: pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa
menggali dan memunculkan potensi yang terbaik dari mereka yang dipimpinnya.
Saya jadi teringat salah satu tokoh favorit saya almarhum, Romo Mangunwijaya.
Duluuu… sekali ketika diwawancarai sebuah majalah anak-anak tentang sekolah
anak-anak kampung Code yang beliau bina, Romo berkata begini: “Anak-anak di
sekolah ini kami bimbing untuk mengeluarkan dan mengasah potensi terbaik
mereka. Karena sebetulnya tidak ada seorang anakpun yang bodoh. Mungkin saja
dia tidak bisa matematika atau nilainya jelek di sekolah. Tapi siapa tahu dia
jago layangan?”. Terpujilah Tuhan yang menciptakan seseorang dengan jiwa begitu
besar yang tidak membatasi nilai seseorang dengan bidang-bidang tertentu macam Romo yang satu ini. Dan terutama mau berjerih
lelah menggali hal terbaik dari jiwa-jiwa yang dipimpinnya.
Dalam kesempatan lain saya membaca
Romo Mangun adalah orang seorang yang galak dan tidak sabaran. Seperti yang
kita tahu beliau mencurahkan dedikasi, tenaga, pikiran, dan waktu tak terhinga
demi menata sebuah kampung kumuh di tepi sungai Code dalam berbagai aspek,
hingga kemudian meraih penghargaan Aga Khan. Nah, beliau paling tidak suka
melihat anak-anak kampung berkeliaran di jalan tanpa busana lengkap, apalagi
buang air sembarangan. Hukum tersebut ia sosialiasikan sebagai kebenaran
mutlak. Suatu sore, tertangkaplah oleh matanya seorang anak yang bukan hanya
bermain tanpa celana namun juga b*rak sembarangan. Si anakpun ia gebuki dengan
tongkat kesayangannya, dan orang tua si anak kemudian menghabiskan banyak
enerji untuk meminta maaf sekaligus meredakan kemarahan si Romo.
Antara kesabaran dan kelembutan Romo
dalam menggali potensi anak-anak yang dipimpinnya, serta kegalakan dan kegemarannya mengayunkan tongkat untuk
menegakkan disiplin adalah kontras yang tak akan mampu dilakukan oleh siapapun
yang tidak punya karisma. Terlebih kemudian orang tua si anak yang bok*ngnya
kena sabetan tersebut malah minta-minta maaf dan bukannya melaporkan Romo pada
pihak yang berwenang dengan alasan penganiayaan. Romo Mangun adalah juara
mengawinkan kelembutan dan ketegasan. Ia adalah pemimpin yang layak disebut
pemimpin, sebab ia tahu betul apa yang harus ia lakukan demi kemaslahatan umat.
Ia adalah sosok pemimpin yang kuat, punya pijakan yang teguh, dan jauhlah
darinya kondisi yang disebut ‘galau’. Waktu beliau meninggal, tak terhitung
massa menyemut menanti mobil jenasahnya tiba, tak peduli dari agama apa. Seseorang
dengan kualitas sekaliber Romo Mangun adalah jenis orang yang mampu membuat
batas-batas menjadi runtuh. Dan ketika ia pergi, jutaan manusia berduka.
Bagaimana dengan para pemimpin umat
sekarang? Saya tidak tahu dengan kualitas para pemimpin yang tidak diekspose
oleh media (tahu sendiri kan seberapa condong sebelahnya media massa), namun
sejauh yang sering muncul di berita, kebanyakan dari mereka adalah
pemimpin-pemimpin yang galau. Mari kita bicara soal kondisi sosial Indonesia
yang tengah banyak mengalami guncangan ini. Situasi ini banyak menyebabkan
rakyat jadi gelisah, didera tekanan, dan depresi. Tentu masih segar dalam
ingatan kita berita tentang ibu yang mencekik bayinya, membakar diri dan
anak-anaknya karena tekanan ekonomi dan rumah tangga, kasus-kasus bunuh diri
yang kabarnya meningkat, ekspresi kemarahan kolektif yang membabi-buta seperti
dalam banyak sekali kasus tawuran, kerusuhan karena urusan rebutan tanah, dan
sebagainya. Orang-orang malang ini kebanyakan berbuat begitu karena tidak tahu
apa yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah. Kalaupun mereka
sudah berusaha, rasanya jalan keluar begitu jauh sementara jiwa kian tertekan.
Akhirnya munculah ekspresi-ekspresi keputus-asaan suisidal dan anarkisme
tersebut. Padahal sebenarnya tekanan apapun bisa dengan mudah diatasi oleh jiwa
yang tenang dan terkendali. Dan sejauh pengalaman saya sebagai orang yang
percaya pada Tuhan, jalan terampuh untuk mencapai kondisi itu adalah kembali
pada Tuhan. Dan sepanjang yang saya
ketahui, bangsa ini adalah bangsa yang percaya pada Tuhan. Kalaupun tidak, ada
filosofi-filosofi kehidupan yang diramu oleh nenek moyang kita dan diturunkan
hingga ke generasi yang sekarang.
Itu idealnya. Tapi fakta di lapangan
jauhlah panggang dari api. Entah apa saja yang membuat para pemimpin umat
tersebut sibuk, yang jelas mereka meninggalkan umatnya gelisah, kebingungan,
galau, tertekan, dan pada akhirnya menjadi pribadi yang represif. Kalau mereka
telah mencapai ideal sebagai pemimpin umat tersebut dengan baik, tentu mereka
akan memberikan porsi perhatian yang lebih pada pelayanan umat yang berbasis
pada kesehatan jiwa dengan cinta kasih dan kuasa Tuhan sebagai dasarnya, yang
pastilah bisa membesarkan dan menyemangati jiwa. Dan kemungkinan besar rakyat
Indonesia tidak akan serusuh belakangan tahun ini. Sebab tindakan rusuh
pastilah berasal dari jiwa yang keruh. Dan tak ada satu jiwa, milik siapapun
itu, yang takkan akan jernih bila ia dekat dengan Penciptanya, yang paling tahu
isi hati umat-Nya yang paling dalam. Jiwa siapa yang tak akan tenang teduh bila
ia berada dalam hadirat Tuhan? Sayangnya para pemimpin umat gagal melakukan
itu. Jargon Kristennya begini: bagaikan domba-domba yang tersesat dan bahkan
terhilang, sementara sang gembala sibuk sendiri dengan banyak urusan.
Domba-domba yang tersesat itupun
kemudian bertemperasan tak tentu arah, terbenam makin ke bawah pada belitan
masalah, persis seperti lumpur pengisap yang menenggelamkan mereka dalam dan
makin dalam. Semestinya mereka tak perlu bernasib semalang itu, jika para
pemimpin umat mau memikirkan formula-formula peneduhan jiwa dengan basis kitab
masing-masing, untuk kemudian menjadikan formula tersebut sebagai program yang
terstruktur dalam rangka penyelamatan jiwa-jiwa jemaah yang gelisah. Tetapi
mereka telah gagal. Dan untuk menutupi kegagalan tersebut mereka kemudian
menggalang kekuatan bersama, untuk berikutnya dengan tangkas dan sistematis
menudingkan jari pada pihak lain. Masih ingat ketika sekumpulan orang yang
mengaku pemimpin umat membentuk suatu forum kebohongan yang mencatat
dusta-dusta pemerintah? (patut digarisbawahi bahwa saya bukan penggemar
pemerintah. Saya tidak menganggap pemerintah bersih dari noda dan nista. Garis
besar saya adalah betapa kerdilnya jika kita gagal melakukan sesuatu dan atau
melakukan kesalahan, kemudian kita mencari-cari kekurangan orang lain untuk
menutupi borok kita sendiri).
Beberapa dari grup pembentuk forum
kebohongan tersebut adalah orang-orang yang kepada mereka saya menaruh simpati.
Namun saat mengetahui perilaku tersebut sontak saya kecewa, dan spontan berkomentar,
“Siapa mendustai siapa? Dan siapa yang sebenarnya berusaha kalian dustai?”.
Pada galibnya mereka sedang berusaha mendustai diri sendiri. Sayangnya banyak
orang terkelabui dan kemudian menganggap tindakan mereka benar. Terlebih karena
kemudian media massa –kenapa saya tidak terkejut, ya?- membesar-besarkan
perkara tersebut dengan -seperti biasa- narasi yang sangat lebay, distorsif,
dan tentu saja menyimpang dari akar masalah yang sebenarnya. Sayang sekali
banyak orang yang kemudian percaya pada ‘langkah kritis’ palsu tersebut. Tetapi
masih ada seorang Yuanita Maya yang berani ‘berteriak’ tentang perkara ini, dan
saya percaya di luar sana, masih banyak sekali orang yang punya pikiran sama
dengan saya. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, itulah peribahasa
yang tepat untuk tindakan pembentukan forum kebohongan oleh gabungan para
pemimpin umat lintas agama tersebut.
Betapa kegalauan ternyata tengah
happening di antara pemimpin umat, sehingga tugas penting menggali potensi yang
terbaik dari umat dengan basis ajaran dari Kitab Suci masing-masing mereka
abaikan atau malah bisa jadi sama sekali tak terpikirkan. Tugas tersebut justru
diambil alih oleh Mario Teguh, yang militansinya juga teguh dalam mendorong seseorang
untuk menggali kekuatan dari dalam diri sendiri, melihat segala sesuatu dari
sisi yang terbaik, dan sebagainya, sehingga orang tersebut bisa menjadi pribadi
yang super (sampai di sini saya terpikir untuk meminta fee pada Oom Mario
Teguh). Sayang Mario Teguh punya pangsa pasar yang jelas, yakni masyarakat
kelas menengah yang setidaknya diwakili oleh pemirsa acaranya di sebuah
televisi swasta. Sedangkan massa akar rumput, yang paling rentan menjadi bahan
bulan-bulanan masalah, tertinggal di belakang sana, tertatih-tatih berusaha
menarik diri dari lumpur masalah yang menghisap mereka, sementara para pemimpin
mereka entah bikin apa di luaran sana.
Betapa indahnya jika di Indonesia ada
banyak pemimpin umat yang berjiwa lembut dan teguh seperti Romo Mangun. Sosok
sederhana pandai luar biasa yang jauh dari galau, yang tahu betul apa yang
harus dilakukannya. Yang tahu benar mengangkat hal-hal terbaik dari umatnya ke
permukaan, hingga demikian sang umat menjadi pribadi teguh yang tak terpengaruh
oleh situasi apapun. Yang tidak mementingkan popularitas dan urusan pribadinya
sama sekali. Yang terlalu sibuk berkarya bagi kepentingan umat, sehingga tak
punya waktu untuk mencari-cari kesalahan apalagi menudingkan jarinya pada orang
lain. Diberkatilah Romo Mangun. Diberkatilah pemimpin-pemimpin umat yang punya
kualitas semacam itu, yang berkarya dalam diam, yang tidak menghabiskan waktu
untuk mengundang wartawan agar beramai-ramai meliput kegiatan mereka.
Dicurahkanlah kiranya hujan berkat Tuhan untuk Indonesia Raya!
*Artikel yang (menurut saya)
berhubungan dengan tulisan ini adalah posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’, ‘Diam-diam
Jadi Kaya’, dan ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’. Dan semoga posting
berikutnya yakni ‘Umat yang Lempengdotcom’ tidak terganggu oleh gagasan yang
melesat tiba-tiba di benak saya. Piiiisssss…….
tiba tiba saya teringat seorang ibu petinggi negeri ini yang berpose sambil menanam sebatang pohon muda dan difoto disana-sini lalu foto tersebut menjadi semacam berita. hihihihi
BalasHapusya, saya kali ini nggak bisa berkomentar banyak deh mbak May. semuanya sudah terdetailkan baik dalam postingan mbak May. Apalagi tahun ini Jakarta mau pilkada dan 2014 yang masih lama tersebut saja gaungnya sudah terasa sampai kesini. Semua orang sudah kasak kusuk soal siapa yang memimpin, siapa calon, siapa yang dijagokan , siapa yang kiranya akan meramaikan bursa, hingga tindakan yang menurut saya murahan seperti pemasangan spanduk untuk menarik etnis/Agama tertentu berupa ucapan selamat hari raya lalu di bawahnya ada pesan yang cukup jelas : Indonesia Butuh Pemimpin Yang Baru. Untung saja saya nggak anarki. kalau anarki, mungkin saya sudah bakar itu spanduk, trus saya ditangkap dan saya nggak bisa komen di situsnya Mbak May *kecuali kalau di penjara nanti mereka menyediakan internetan super cepat dan akses kesana kemari sich...hihihihi*
pemimpin baru bener-bener dekat sama rakyatnya ketika mau ada pemilihan. Masih terasa segar di ingatan saya ketika Situ Gintung di CIputat jebol dan memakan korban jiwa, secara instan tiba-tiba saja banyak posko kemanusiaan berdiri di tempat tersebut plus bendera, umbul-umbul, embel-embel, dan imbil-imbil sekalian yang menunjukkan bahwa mereka bukanlah Rakyat Indonesia, namun dari golongan partai tertentu. Entah apa kabarnya nasib pengungsi SItu Gintung kalau kejadian naas itu terjadi sesudah pemilu. Saya rasa cukup jelas, bantuan yang mengalir tidak akan sederas ketika bencana terjadi sebelum pemilu. Capek? ya, saya capek mbak.
Apalagi hari gini, orang-orang yang kita kira bersih atau apapun entahlah permainan mereka di atas sana. Walupun tidak terlalu mengejutkan, Angelina SOndakh sudah berstatus terdakwa sekarang *nah, Mbak May gak usah beli koran ya mbak...sudah saya bantu nich...mbak cukup bayar biaya langganan saja ke saya hihihi*. Terlepas dari apakah Angie itu terlibat, Angie itu bersih, Adjie Massaid dibunuh, atau Angie berpacaran dengan politikus siapapun pula itu, sudah muncul perasaan apatis dalam diri saya yang menolak menelan berita tersebut lebih jauh. Saya sudah tidak tahu lagi mana yang bisa saya percayai.
Indonesia butuh pemimpin baru, ya itu memang tidak bisa dipungkiri. Setuju sekali kalau ada orang seperti ROmo Mangunwijaya yang bisa mengawinkan antara kelembutan dengan ketegasan. Indonesia butuh karakter seperti itu yang sekaligus tidak tebang pilih, namun menghukum siapa saja yang bersalah. Rasa-rasanya, kalau semua orang berbuat benar, mengurusi diri masing-masing dan tidak merugikan orang lain. Sudah saatnya negeri ini diberi nama Utopia ya mbak? hari hari ini, saya merasa bahwa orang Indonesia semakin tidak peduli lagi, bahkan tidak peduli apakah mereka berbuat salah atau tidak. lah wong sang penegak hukumnya saja juga berbuat salah. Kenapa takut? mungkin begitu pikirannya. Orang-orangnya memang sudah rusak. tapi bukan alasan untuk tidak memperbaiki diri kalau kita memang punya seorang pemimpin yang berkharismatik, punya kekuatan untuk berbuat benar dan tidak berstandard ganda. Akankah hari itu tiba?