Kamis, 02 Februari 2012

Pemimpin Umat yang Galau the Sequel


Maafkan saya, pembaca, saya sama sekali tidak bermaksud berdusta. Sebelumnya saya terlanjur berkoar bahwa posting hari ini berjudul ‘Umat yang Lempengdotcom’. Namun sebelum tulisan tersebut saya rilis, saya terlanjur mendapat gagasan baru yang akhirnya saya putuskan untuk saya tuangkan (halah) dalam artikel ini. Masih mengenai pemimpin umat yang galau, namun dalam skup yang lebih luas.

Saya pernah membaca quote seorang tokoh yang sayangnya saya lupa, mungkin Robert Kiyosaki atau siapa (koreksi kalau saya salah), demikian: pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa menggali dan memunculkan potensi yang terbaik dari mereka yang dipimpinnya. Saya jadi teringat salah satu tokoh favorit saya almarhum, Romo Mangunwijaya. Duluuu… sekali ketika diwawancarai sebuah majalah anak-anak tentang sekolah anak-anak kampung Code yang beliau bina, Romo berkata begini: “Anak-anak di sekolah ini kami bimbing untuk mengeluarkan dan mengasah potensi terbaik mereka. Karena sebetulnya tidak ada seorang anakpun yang bodoh. Mungkin saja dia tidak bisa matematika atau nilainya jelek di sekolah. Tapi siapa tahu dia jago layangan?”. Terpujilah Tuhan yang menciptakan seseorang dengan jiwa begitu besar yang tidak membatasi nilai seseorang dengan bidang-bidang tertentu macam  Romo yang satu ini. Dan terutama mau berjerih lelah menggali hal terbaik dari jiwa-jiwa yang dipimpinnya.

Dalam kesempatan lain saya membaca Romo Mangun adalah orang seorang yang galak dan tidak sabaran. Seperti yang kita tahu beliau mencurahkan dedikasi, tenaga, pikiran, dan waktu tak terhinga demi menata sebuah kampung kumuh di tepi sungai Code dalam berbagai aspek, hingga kemudian meraih penghargaan Aga Khan. Nah, beliau paling tidak suka melihat anak-anak kampung berkeliaran di jalan tanpa busana lengkap, apalagi buang air sembarangan. Hukum tersebut ia sosialiasikan sebagai kebenaran mutlak. Suatu sore, tertangkaplah oleh matanya seorang anak yang bukan hanya bermain tanpa celana namun juga b*rak sembarangan. Si anakpun ia gebuki dengan tongkat kesayangannya, dan orang tua si anak kemudian menghabiskan banyak enerji untuk meminta maaf sekaligus meredakan kemarahan si Romo.

Antara kesabaran dan kelembutan Romo dalam menggali potensi anak-anak yang dipimpinnya, serta kegalakan dan  kegemarannya mengayunkan tongkat untuk menegakkan disiplin adalah kontras yang tak akan mampu dilakukan oleh siapapun yang tidak punya karisma. Terlebih kemudian orang tua si anak yang bok*ngnya kena sabetan tersebut malah minta-minta maaf dan bukannya melaporkan Romo pada pihak yang berwenang dengan alasan penganiayaan. Romo Mangun adalah juara mengawinkan kelembutan dan ketegasan. Ia adalah pemimpin yang layak disebut pemimpin, sebab ia tahu betul apa yang harus ia lakukan demi kemaslahatan umat. Ia adalah sosok pemimpin yang kuat, punya pijakan yang teguh, dan jauhlah darinya kondisi yang disebut ‘galau’. Waktu beliau meninggal, tak terhitung massa menyemut menanti mobil jenasahnya tiba, tak peduli dari agama apa. Seseorang dengan kualitas sekaliber Romo Mangun adalah jenis orang yang mampu membuat batas-batas menjadi runtuh. Dan ketika ia pergi, jutaan manusia berduka.

Bagaimana dengan para pemimpin umat sekarang? Saya tidak tahu dengan kualitas para pemimpin yang tidak diekspose oleh media (tahu sendiri kan seberapa condong sebelahnya media massa), namun sejauh yang sering muncul di berita, kebanyakan dari mereka adalah pemimpin-pemimpin yang galau. Mari kita bicara soal kondisi sosial Indonesia yang tengah banyak mengalami guncangan ini. Situasi ini banyak menyebabkan rakyat jadi gelisah, didera tekanan, dan depresi. Tentu masih segar dalam ingatan kita berita tentang ibu yang mencekik bayinya, membakar diri dan anak-anaknya karena tekanan ekonomi dan rumah tangga, kasus-kasus bunuh diri yang kabarnya meningkat, ekspresi kemarahan kolektif yang membabi-buta seperti dalam banyak sekali kasus tawuran, kerusuhan karena urusan rebutan tanah, dan sebagainya. Orang-orang malang ini kebanyakan berbuat begitu karena tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah. Kalaupun mereka sudah berusaha, rasanya jalan keluar begitu jauh sementara jiwa kian tertekan. Akhirnya munculah ekspresi-ekspresi keputus-asaan suisidal dan anarkisme tersebut. Padahal sebenarnya tekanan apapun bisa dengan mudah diatasi oleh jiwa yang tenang dan terkendali. Dan sejauh pengalaman saya sebagai orang yang percaya pada Tuhan, jalan terampuh untuk mencapai kondisi itu adalah kembali pada Tuhan.  Dan sepanjang yang saya ketahui, bangsa ini adalah bangsa yang percaya pada Tuhan. Kalaupun tidak, ada filosofi-filosofi kehidupan yang diramu oleh nenek moyang kita dan diturunkan hingga ke generasi yang sekarang.

Itu idealnya. Tapi fakta di lapangan jauhlah panggang dari api. Entah apa saja yang membuat para pemimpin umat tersebut sibuk, yang jelas mereka meninggalkan umatnya gelisah, kebingungan, galau, tertekan, dan pada akhirnya menjadi pribadi yang represif. Kalau mereka telah mencapai ideal sebagai pemimpin umat tersebut dengan baik, tentu mereka akan memberikan porsi perhatian yang lebih pada pelayanan umat yang berbasis pada kesehatan jiwa dengan cinta kasih dan kuasa Tuhan sebagai dasarnya, yang pastilah bisa membesarkan dan menyemangati jiwa. Dan kemungkinan besar rakyat Indonesia tidak akan serusuh belakangan tahun ini. Sebab tindakan rusuh pastilah berasal dari jiwa yang keruh. Dan tak ada satu jiwa, milik siapapun itu, yang takkan akan jernih bila ia dekat dengan Penciptanya, yang paling tahu isi hati umat-Nya yang paling dalam. Jiwa siapa yang tak akan tenang teduh bila ia berada dalam hadirat Tuhan? Sayangnya para pemimpin umat gagal melakukan itu. Jargon Kristennya begini: bagaikan domba-domba yang tersesat dan bahkan terhilang, sementara sang gembala sibuk sendiri dengan banyak urusan.

Domba-domba yang tersesat itupun kemudian bertemperasan tak tentu arah, terbenam makin ke bawah pada belitan masalah, persis seperti lumpur pengisap yang menenggelamkan mereka dalam dan makin dalam. Semestinya mereka tak perlu bernasib semalang itu, jika para pemimpin umat mau memikirkan formula-formula peneduhan jiwa dengan basis kitab masing-masing, untuk kemudian menjadikan formula tersebut sebagai program yang terstruktur dalam rangka penyelamatan jiwa-jiwa jemaah yang gelisah. Tetapi mereka telah gagal. Dan untuk menutupi kegagalan tersebut mereka kemudian menggalang kekuatan bersama, untuk berikutnya dengan tangkas dan sistematis menudingkan jari pada pihak lain. Masih ingat ketika sekumpulan orang yang mengaku pemimpin umat membentuk suatu forum kebohongan yang mencatat dusta-dusta pemerintah? (patut digarisbawahi bahwa saya bukan penggemar pemerintah. Saya tidak menganggap pemerintah bersih dari noda dan nista. Garis besar saya adalah betapa kerdilnya jika kita gagal melakukan sesuatu dan atau melakukan kesalahan, kemudian kita mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi borok kita sendiri).

Beberapa dari grup pembentuk forum kebohongan tersebut adalah orang-orang yang kepada mereka saya menaruh simpati. Namun saat mengetahui perilaku tersebut sontak saya kecewa, dan spontan berkomentar, “Siapa mendustai siapa? Dan siapa yang sebenarnya berusaha kalian dustai?”. Pada galibnya mereka sedang berusaha mendustai diri sendiri. Sayangnya banyak orang terkelabui dan kemudian menganggap tindakan mereka benar. Terlebih karena kemudian media massa –kenapa saya tidak terkejut, ya?- membesar-besarkan perkara tersebut dengan -seperti biasa- narasi yang sangat lebay, distorsif, dan tentu saja menyimpang dari akar masalah yang sebenarnya. Sayang sekali banyak orang yang kemudian percaya pada ‘langkah kritis’ palsu tersebut. Tetapi masih ada seorang Yuanita Maya yang berani ‘berteriak’ tentang perkara ini, dan saya percaya di luar sana, masih banyak sekali orang yang punya pikiran sama dengan saya. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, itulah peribahasa yang tepat untuk tindakan pembentukan forum kebohongan oleh gabungan para pemimpin umat lintas agama tersebut.

Betapa kegalauan ternyata tengah happening di antara pemimpin umat, sehingga tugas penting menggali potensi yang terbaik dari umat dengan basis ajaran dari Kitab Suci masing-masing mereka abaikan atau malah bisa jadi sama sekali tak terpikirkan. Tugas tersebut justru diambil alih oleh Mario Teguh, yang militansinya juga teguh dalam mendorong seseorang untuk menggali kekuatan dari dalam diri sendiri, melihat segala sesuatu dari sisi yang terbaik, dan sebagainya, sehingga orang tersebut bisa menjadi pribadi yang super (sampai di sini saya terpikir untuk meminta fee pada Oom Mario Teguh). Sayang Mario Teguh punya pangsa pasar yang jelas, yakni masyarakat kelas menengah yang setidaknya diwakili oleh pemirsa acaranya di sebuah televisi swasta. Sedangkan massa akar rumput, yang paling rentan menjadi bahan bulan-bulanan masalah, tertinggal di belakang sana, tertatih-tatih berusaha menarik diri dari lumpur masalah yang menghisap mereka, sementara para pemimpin mereka entah bikin apa di luaran sana.

Betapa indahnya jika di Indonesia ada banyak pemimpin umat yang berjiwa lembut dan teguh seperti Romo Mangun. Sosok sederhana pandai luar biasa yang jauh dari galau, yang tahu betul apa yang harus dilakukannya. Yang tahu benar mengangkat hal-hal terbaik dari umatnya ke permukaan, hingga demikian sang umat menjadi pribadi teguh yang tak terpengaruh oleh situasi apapun. Yang tidak mementingkan popularitas dan urusan pribadinya sama sekali. Yang terlalu sibuk berkarya bagi kepentingan umat, sehingga tak punya waktu untuk mencari-cari kesalahan apalagi menudingkan jarinya pada orang lain. Diberkatilah Romo Mangun. Diberkatilah pemimpin-pemimpin umat yang punya kualitas semacam itu, yang berkarya dalam diam, yang tidak menghabiskan waktu untuk mengundang wartawan agar beramai-ramai meliput kegiatan mereka. Dicurahkanlah kiranya hujan berkat Tuhan untuk Indonesia Raya!

*Artikel yang (menurut saya) berhubungan dengan tulisan ini adalah posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’, ‘Diam-diam Jadi Kaya’, dan ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’. Dan semoga posting berikutnya yakni ‘Umat yang Lempengdotcom’ tidak terganggu oleh gagasan yang melesat tiba-tiba di benak saya. Piiiisssss…….


1 komentar:

  1. tiba tiba saya teringat seorang ibu petinggi negeri ini yang berpose sambil menanam sebatang pohon muda dan difoto disana-sini lalu foto tersebut menjadi semacam berita. hihihihi

    ya, saya kali ini nggak bisa berkomentar banyak deh mbak May. semuanya sudah terdetailkan baik dalam postingan mbak May. Apalagi tahun ini Jakarta mau pilkada dan 2014 yang masih lama tersebut saja gaungnya sudah terasa sampai kesini. Semua orang sudah kasak kusuk soal siapa yang memimpin, siapa calon, siapa yang dijagokan , siapa yang kiranya akan meramaikan bursa, hingga tindakan yang menurut saya murahan seperti pemasangan spanduk untuk menarik etnis/Agama tertentu berupa ucapan selamat hari raya lalu di bawahnya ada pesan yang cukup jelas : Indonesia Butuh Pemimpin Yang Baru. Untung saja saya nggak anarki. kalau anarki, mungkin saya sudah bakar itu spanduk, trus saya ditangkap dan saya nggak bisa komen di situsnya Mbak May *kecuali kalau di penjara nanti mereka menyediakan internetan super cepat dan akses kesana kemari sich...hihihihi*

    pemimpin baru bener-bener dekat sama rakyatnya ketika mau ada pemilihan. Masih terasa segar di ingatan saya ketika Situ Gintung di CIputat jebol dan memakan korban jiwa, secara instan tiba-tiba saja banyak posko kemanusiaan berdiri di tempat tersebut plus bendera, umbul-umbul, embel-embel, dan imbil-imbil sekalian yang menunjukkan bahwa mereka bukanlah Rakyat Indonesia, namun dari golongan partai tertentu. Entah apa kabarnya nasib pengungsi SItu Gintung kalau kejadian naas itu terjadi sesudah pemilu. Saya rasa cukup jelas, bantuan yang mengalir tidak akan sederas ketika bencana terjadi sebelum pemilu. Capek? ya, saya capek mbak.

    Apalagi hari gini, orang-orang yang kita kira bersih atau apapun entahlah permainan mereka di atas sana. Walupun tidak terlalu mengejutkan, Angelina SOndakh sudah berstatus terdakwa sekarang *nah, Mbak May gak usah beli koran ya mbak...sudah saya bantu nich...mbak cukup bayar biaya langganan saja ke saya hihihi*. Terlepas dari apakah Angie itu terlibat, Angie itu bersih, Adjie Massaid dibunuh, atau Angie berpacaran dengan politikus siapapun pula itu, sudah muncul perasaan apatis dalam diri saya yang menolak menelan berita tersebut lebih jauh. Saya sudah tidak tahu lagi mana yang bisa saya percayai.

    Indonesia butuh pemimpin baru, ya itu memang tidak bisa dipungkiri. Setuju sekali kalau ada orang seperti ROmo Mangunwijaya yang bisa mengawinkan antara kelembutan dengan ketegasan. Indonesia butuh karakter seperti itu yang sekaligus tidak tebang pilih, namun menghukum siapa saja yang bersalah. Rasa-rasanya, kalau semua orang berbuat benar, mengurusi diri masing-masing dan tidak merugikan orang lain. Sudah saatnya negeri ini diberi nama Utopia ya mbak? hari hari ini, saya merasa bahwa orang Indonesia semakin tidak peduli lagi, bahkan tidak peduli apakah mereka berbuat salah atau tidak. lah wong sang penegak hukumnya saja juga berbuat salah. Kenapa takut? mungkin begitu pikirannya. Orang-orangnya memang sudah rusak. tapi bukan alasan untuk tidak memperbaiki diri kalau kita memang punya seorang pemimpin yang berkharismatik, punya kekuatan untuk berbuat benar dan tidak berstandard ganda. Akankah hari itu tiba?

    BalasHapus