Bagian pertamalah yang membuat saya
murka. Saya doakan penciptanya diampuni oleh Yang Maha Esa, dan siapapun yang
menyanyikannya apalagi menganggapnya unyu diberi kepandaian lebih oleh Sang
Khalik Yang Penuh Kuasa. Tanpa basi-basi, berhubung sedang emosi, biarlah
selekas mungkin saya tuntaskan gelegak dada ini dengan menjelaskan dasar
Pancasila itu apa, dengan harapan siapapun yang menciptakan, pernah menyanyikan
dan atau merasa geli pada lagu tersebut bisa segera insyaf.
Begini, untuk memahaminya terlebih
dulu saya perlu menjelaskan suasana dan atau latar belakang terbentuknya
Pancasila. Saya jelaskan gambaran umumnya saja, karena kalau secara detil pasti
akan jadi capek deeeh…. Pada suatu
ketika Jepang tertekan akibat kekalahan demi kekalahan dalam PD II, lalu
mulai mendorong bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia. Maka dalam
keadaan darurat tersebut terbentuklah BPUPK beranggotakan 62 orang dari (ini
catatan yang sangat penting) berbagai penjuru tanah air, aliran, dan golongan.
Lalu kejadian yang satu menyusul kejadian yang lain, hingga pada akhirnya para
pemuda menjadi tak sabar, kemudian terjadi peristiwa ‘pencidukan’ Bung Karno
dan Bung Hatta di Rengasdengklok dan seterusnya, hingga kemudian pada 17
Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Di antara peristiwa-peristiwa
tersebut, anggota BPUPK bekerja keras membuat rumusan UUD dan dasar Negara. Patutlah dimahfumi bahwa
Pancasila bahkan lahir sebelum UUD negara ini. Jadi Pancasila bukanlah sesuatu
yang sifatnya main-main atau bisa dipermainkan dengan cara apapun juga.
Proses perumusannya sendiri
tak kalah heboh, karena terjadi pertentangan dan ketidak sepakatan terhadap
masing-masing idea yang disampaikan oleh beberapa anggota BPUPK. Singkat kata,
rumusan yang diajukan oleh Bung Karnolah yang kemudian disepakati paling sesuai
untuk dijadikan dasar negara Indonesia yang akan lahir, meskipun dalam perjalanannya
mengalami beberapa kali proses editing. Pertanyaannya, mengapa rumusan Bung
Karno dianggap paling sesuai? Demikianlah menurut pendapat saya (entah menurut
pendapat para ahli sejarah dan sebagainya):
1. * Sebab rumusan
Pancasila yang dibuat Bung Karno berdasarkan nilai-nilainya yang telah ada selama berbilang abad di wilayah Nusantara (terlebih setelah diedit oleh panitia-panitia
kecil berikutnya), mengandung kesadaran luar biasa akan kemajemukan Indonesia
yang terbentang luas dalam berbagai spektrum. Sampai di sini mari kita bandingkan dengan betapa sekian
puluh anggota BPUPK berasal dari beragam golongan dan wilayah yang berbeda di
Hindia Belanda.
2. * Kemajemukan
butuh suatu pengikat yang kuat. Dan bila pengikat tersebut dijadikan landasan
dalam perikehidupan dengan berbagai aspeknya, kemudian dihayati dan
dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, maka akan tercapailah tujuan bernegara
(yang kelak terumuskan dengan sempurna dalam UUD 1945).
Lalu mengapa kemajemukan menjadi
bagian paling vital dalam perumusan dasar negara ini? Jawaban saya bisa dibilang pinpinbo
alias pintar-pintar bodoh: ya karena hal yang paling menonjol dari untaian
zamrud khatulistiwa ini adalah kemajemukan, gitu loh. Dan ini uraiannya yang
sedikit lebih cerdas: karena kemajemukan sifatnya bagaikan pedang bermata dua,
yang akan menjadi mematikan bila masing-masing pihak, mewakili etnisnya, hukum
adatnya, agamanya, dan sebagainya, hanya memikirkan kepentingan golongannya
sendiri. Namun kemajemukan tersebut sebaliknya akan menjadi kekuatan yang
ngedab-ngedabi alias membuat jeri bila disinergikan dengan cerdas dan
bijaksana. Sederhananya, yang satu melengkapi yang lain. Dan ketika semua unsur
tersebut bersatu dengan menyisihkan kepentingan pribadi dan atau golongannya,
maka kualitas terbaik dari berbagai elemen bangsa tersebut akan menjadikan
negara kita, Indonesia, benar-benar maha dan raya.
Selanjutnya
–mungkin tidak banyak yang menyadari hal ini- setiap sila yang ada dalam
Pancasila ternyata secara mengagumkan mengandung unsur kesadaran yang total akan
kemajemukan tersebut. Sila pertama, bukankah jelas didasari pemahaman akan
beragam agama dan kepercayaan warisan nenek moyang yang telah jauh sebelumnya
eksis, bahkan sebelum penjajah tengik mendarat di Nusantara, dan betapa
keragaman tersebut akan menuai konflik jika tak diikat oleh simpul yang teguh?
Sila kedua, terutama jika kita
mencermati butir-butirnya, merupakan pengertian yang sempurna akan beragam
etnis dengan cara pandang, filosofi kehidupan, ukuran-ukuran norma dan
sebagainya yang nyata-nyata berbeda. Bayangkan apa yang akan terjadi, misalnya,
bila seorang Manado bergaul dengan Jawa tulen yang masih memegang teguh prinsip
bibit-bebet-bobot (seperti contohnya saya), bila dua-duanya tak paham
Pancasila? Itu baru contoh sederhana.
Sila ketiga sudah jelas, nggak perlu dibahas.
Kemudian sila ke empat. Bisakah anda bayangkan
betapa mudahnya bangsa kita –yang terdiri dari tak terhitung kepala dari latar
belakang berbeda- hancur jika tidak ada pengikat dan dasar kuat dalam
bermusyawarah? Bukannya mencapai mufakat, yang ada baku hujat. Lalu runtuhlah
Indonesia secepat kilat.
Terakhir, sila ke lima, mengandung
kesadaran mutlak akan arti penting kemajemukan dalam mencapai kejayaan bangsa,
seperti analogi pedang bermata dua yang saya rumuskan di atas. Belum terhitung
kerinduan untuk menjadi bangsa gaul yang disegani dalam tataran internasional
pada sila ke dua dan ketiga dalam butir-butirnya. Dipadukan dengan semboyan negara
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma
Mangrwa (semoga saya tidak salah menuliskannya), sempurnalah Pancasila.
Jadi sekarang, wahai siapapun yang menciptakan, menyanyikan atau menganggap
lucu parodi ‘Pancasila dasarnya apaaa…?’, sudah jelas kan, Pancasila dasarnya
apa? Sehingga menjadi jelas pula, bahwa siapapun yang berani melecehkan
Pancasila, dengan cara apapun juga, adalah oknum-oknum berkualitas gombal yang
berpikir, bertutur, dan bertindak tanpa dasar jelas. Singkatnya, mereka adalah
manusia-manusia yang tidak jelas dasarnya apa. Manusia-manusia yang menurut
pandangan pribadi saya, sama sekali tidak pantas menyebut diri sebagai orang
Indonesia. Semoga anda dan saya tak sama dengan mereka, dan layak menjadi orang
Indonesia yang sesungguhnya (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Indonesia sih terkenal banget koq mbak dengan kekreatifannya. Selain lagu itu, banyak lagu parodi yang diciptakan tapi kadang ya koq, ngenes ya, kayak nggak punya santun aja sampai hati menyiptakan parodian-parodian tersebut.
BalasHapusOh ya Mbak Maya, mungkin Mbak Maya bisa menjadi guru Sejarah? Gaya penceritaan Mbak May terus terang sangat mudah ditangkap dan membuat pembaca/pendengar semakin ingin mendalami sejarah. Ya, mungkin saja pencipta parodi tersebut suka bolos pada saat pelajaran sejarah, atau mungkin gurunya yang terkadang hanya gemar memberi catatan saja pada mata pelajaran sejarah. Tidak ada yang pernah tahu sich. Namun, ini bisa menjadi PR untuk para guru-guru di Indonesia bahwa metode pengajaran harus dilakukan dengan semenarik mungkin, kalau perlu keluar dari pakem-pakem namun tetap menyelesaikan materi yang ada. Siapa sih yang bisa inget kalau Perang Diponegoro terjadi tahun sekian, Yos Sudarso tenggelam di Laut Aru pada tahun sekian, Perjanjian Giyanti ditandatangani pada tanggal sekian. Akan jauh lebih menarik kalau pembahasan dilakukan dengan cerita, kalau perlu drama, sehingga anak-anak didik bisa menyelami makna kemerdekaan (contoh kasus) lebih mudah, karena hanya berdasar apa yang mereka lakukan dalam pementasan. Iya nggak sich?
oh, saya setuju sekali dengan hal yang paling menarik dari Indonesia : kemajemukannya. Sudah cukup deh masa-masa kepentingan golongan, etnis, agama, ras, dan aliran diutamakan. kita hanya memiliki satu identitas yang ditonjolkan : KeIndonesiaan. (entah mengapa, saya banyak baca dan jadi tahu kalau sesama orang Indonesia, misalnya satu dari Jayapura, satunya lagi dari Banda Aceh, satunya kristen satunya muslim, akan merasa sebagai saudara ketika mereka berdua terdampar di suatu negeri asing nan jauh disana. Padahal, di kehidupan nyata di Indonesia, mereka tidak pernah bertemu atau memiliki kesempatan untuk bertemu sama sekali). Akankah kita baru menjadi satu setelah muncul orang asing diantara kita, sekeliling kita, dan dimana-mana?
Wow, Lomie, paragraf terakhirmu menggigit sekali, terutama kalimat 'akankah kita baru menjadi satu setelah muncul orang asing di antara kita, sekeliling kita, dan di mana-mana?'. Mungkin bisa dihubungkan dengan pepatah Jawa: sedulur kui yen cedhak mambu t*i, ning yen adoh mambu wangi. Saudara itu kalau dekat bau t*i, namun kalau jauh bau wangi. Kalau dekat berantem terus, begitu jauh terasa rindu dan terkenang akan semua kebaikannya. Begitu juga dengan kita. Selama di tanah air kita abaikan dan pandang enteng semua nikmat dan berkat yang Tuhan telah berikan berlimpah ruah di negeri ini. In short, we take our motherland for granted. Setelah jauh, baru deh hati teriris-iris terkenang segala kenikmatan dan sukacita sewaktu di kampung. Well, we usually don't what we have until it's gone, right?
BalasHapusSekarang Lomie mengusulkan saya jadi guru sejarah, tempo hari jadi motivator. Besok-besok apa lagi, ya? Fotomodel majalah Trubus? Hehe... Saya sepakat bahwa guru-guru sejarah musti lebih kreatif dan mengajar dengan pendekatan penggalian serta pendalaman. Namun lebih dari itu, pemahaman akan sejarah semestinya sudah jadi tanggung jawab semua rakyat Indonesia. Dan kita yang sudah tercerahkan punya kewajiban moral untuk membagikannya kepada mereka yang belum, sebab bukankah memberi, apapun itu, termasuk ilmu, adalah kewajiban kita sebagai umat beragama yang mengaku percaya Tuhan? Dan bicara mengenai sejarah, sebuah bangsa akan menjadi lemah dan kian lemah pada saat ingatan kita akan sejarah mulai menguap. Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab hari ini dibangun dari hari lalu, untuk kemudian menjadi landasan hari esok.
Tuhan memberkati Lomar dan saya, Tuhan memberkati Indonesia.