Jumat, 17 Februari 2012

‘Pancasila Dasarnya Apaaaa…..?’? Maksudnya…????!!!!!



Dari judulnya saja sudah ketahuan bahwa saya sedang emosi.  Dan sebenarnya ini adalah amarah yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Semua berawal ketika saya mendengar seseorang (saya lupa siapa dan di mana, yang jelas kejadiannya sekitar 13 sampai 15 tahun lalu) menyanyikan sebuah lagu parodi. Di akhir lagu tersebut dia tertawa-tawa, seakan-akan lagu tersebut lucu dan menghibur, sedangkan bagi saya pribadi itu adalah lagu parodi paling rendah dan murahan yang pernah ada, dan tidak akan ada lagu lagi, baik parodi maupun tidak, yang bisa sedangkal itu yang mampu diciptakan oleh seorang anak manusia hingga kiamat tiba. Demikianlah lagu tersebut secara lengkap: ‘Pancasila dasarnya apaaaa? Rakyat adil makmurnya kapaaan? Pribadi bangsaku, tidak maju-maju, tidak maju-maju, tidak maju-majuuu….’

Bagian pertamalah yang membuat saya murka. Saya doakan penciptanya diampuni oleh Yang Maha Esa, dan siapapun yang menyanyikannya apalagi menganggapnya unyu diberi kepandaian lebih oleh Sang Khalik Yang Penuh Kuasa. Tanpa basi-basi, berhubung sedang emosi, biarlah selekas mungkin saya tuntaskan gelegak dada ini dengan menjelaskan dasar Pancasila itu apa, dengan harapan siapapun yang menciptakan, pernah menyanyikan dan atau merasa geli pada lagu tersebut bisa segera insyaf.

Begini, untuk memahaminya terlebih dulu saya perlu menjelaskan suasana dan atau latar belakang terbentuknya Pancasila. Saya jelaskan gambaran umumnya saja, karena kalau secara detil pasti akan jadi capek deeeh….  Pada suatu ketika Jepang tertekan akibat kekalahan demi kekalahan dalam PD II, lalu mulai mendorong bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia. Maka dalam keadaan darurat tersebut terbentuklah BPUPK beranggotakan 62 orang dari (ini catatan yang sangat penting) berbagai penjuru tanah air, aliran, dan golongan. Lalu kejadian yang satu menyusul kejadian yang lain, hingga pada akhirnya para pemuda menjadi tak sabar, kemudian terjadi peristiwa ‘pencidukan’ Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok dan seterusnya, hingga kemudian pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut, anggota BPUPK bekerja keras membuat rumusan UUD  dan dasar Negara. Patutlah dimahfumi bahwa Pancasila bahkan lahir sebelum UUD negara ini. Jadi Pancasila bukanlah sesuatu yang sifatnya main-main atau bisa dipermainkan dengan cara apapun juga.

Proses perumusannya sendiri tak kalah heboh, karena terjadi pertentangan dan ketidak sepakatan terhadap masing-masing idea yang disampaikan oleh beberapa anggota BPUPK. Singkat kata, rumusan yang diajukan oleh Bung Karnolah yang kemudian disepakati paling sesuai untuk dijadikan dasar negara Indonesia yang akan lahir, meskipun dalam perjalanannya mengalami beberapa kali proses editing. Pertanyaannya, mengapa rumusan Bung Karno dianggap paling sesuai? Demikianlah menurut pendapat saya (entah menurut pendapat para ahli sejarah dan sebagainya):
1.    *  Sebab rumusan Pancasila yang dibuat Bung Karno berdasarkan nilai-nilainya yang telah ada selama berbilang abad di wilayah Nusantara (terlebih setelah diedit oleh panitia-panitia kecil berikutnya), mengandung kesadaran luar biasa akan kemajemukan Indonesia yang terbentang luas dalam berbagai spektrum. Sampai di sini mari kita bandingkan dengan betapa sekian puluh anggota BPUPK berasal dari beragam golongan dan wilayah yang berbeda di Hindia Belanda.
2.    * Kemajemukan butuh suatu pengikat yang kuat. Dan bila pengikat tersebut dijadikan landasan dalam perikehidupan dengan berbagai aspeknya, kemudian dihayati dan dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, maka akan tercapailah tujuan bernegara (yang kelak terumuskan dengan sempurna dalam UUD 1945).

Lalu mengapa kemajemukan menjadi bagian paling vital dalam perumusan dasar negara ini? Jawaban saya bisa dibilang pinpinbo alias pintar-pintar bodoh: ya karena hal yang paling menonjol dari untaian zamrud khatulistiwa ini adalah kemajemukan, gitu loh. Dan ini uraiannya yang sedikit lebih cerdas: karena kemajemukan sifatnya bagaikan pedang bermata dua, yang akan menjadi mematikan bila masing-masing pihak, mewakili etnisnya, hukum adatnya, agamanya, dan sebagainya, hanya memikirkan kepentingan golongannya sendiri. Namun kemajemukan tersebut sebaliknya akan menjadi kekuatan yang ngedab-ngedabi alias membuat jeri bila disinergikan dengan cerdas dan bijaksana. Sederhananya, yang satu melengkapi yang lain. Dan ketika semua unsur tersebut bersatu dengan menyisihkan kepentingan pribadi dan atau golongannya, maka kualitas terbaik dari berbagai elemen bangsa tersebut akan menjadikan negara kita, Indonesia, benar-benar maha dan raya.

Selanjutnya –mungkin tidak banyak yang menyadari hal ini- setiap sila yang ada dalam Pancasila ternyata secara mengagumkan mengandung unsur kesadaran yang total akan kemajemukan tersebut. Sila pertama, bukankah jelas didasari pemahaman akan beragam agama dan kepercayaan warisan nenek moyang yang telah jauh sebelumnya eksis, bahkan sebelum penjajah tengik mendarat di Nusantara, dan betapa keragaman tersebut akan menuai konflik jika tak diikat oleh simpul yang teguh?

Sila kedua, terutama jika kita mencermati butir-butirnya, merupakan pengertian yang sempurna akan beragam etnis dengan cara pandang, filosofi kehidupan, ukuran-ukuran norma dan sebagainya yang nyata-nyata berbeda. Bayangkan apa yang akan terjadi, misalnya, bila seorang Manado bergaul dengan Jawa tulen yang masih memegang teguh prinsip bibit-bebet-bobot (seperti contohnya saya), bila dua-duanya tak paham Pancasila? Itu baru contoh sederhana.

Sila ketiga sudah jelas, nggak perlu dibahas.

Kemudian sila ke empat. Bisakah anda bayangkan betapa mudahnya bangsa kita –yang terdiri dari tak terhitung kepala dari latar belakang berbeda- hancur jika tidak ada pengikat dan dasar kuat dalam bermusyawarah? Bukannya mencapai mufakat, yang ada baku hujat. Lalu runtuhlah Indonesia secepat kilat.

Terakhir, sila ke lima, mengandung kesadaran mutlak akan arti penting kemajemukan dalam mencapai kejayaan bangsa, seperti analogi pedang bermata dua yang saya rumuskan di atas. Belum terhitung kerinduan untuk menjadi bangsa gaul yang disegani dalam tataran internasional pada sila ke dua dan ketiga dalam butir-butirnya. Dipadukan dengan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma  Mangrwa (semoga saya tidak salah menuliskannya), sempurnalah Pancasila. 

Jadi sekarang, wahai siapapun yang menciptakan, menyanyikan atau menganggap lucu parodi ‘Pancasila dasarnya apaaa…?’, sudah jelas kan, Pancasila dasarnya apa? Sehingga menjadi jelas pula, bahwa siapapun yang berani melecehkan Pancasila, dengan cara apapun juga, adalah oknum-oknum berkualitas gombal yang berpikir, bertutur, dan bertindak tanpa dasar jelas. Singkatnya, mereka adalah manusia-manusia yang tidak jelas dasarnya apa. Manusia-manusia yang menurut pandangan pribadi saya, sama sekali tidak pantas menyebut diri sebagai orang Indonesia. Semoga anda dan saya tak sama dengan mereka, dan layak menjadi orang Indonesia yang sesungguhnya (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


2 komentar:

  1. Indonesia sih terkenal banget koq mbak dengan kekreatifannya. Selain lagu itu, banyak lagu parodi yang diciptakan tapi kadang ya koq, ngenes ya, kayak nggak punya santun aja sampai hati menyiptakan parodian-parodian tersebut.

    Oh ya Mbak Maya, mungkin Mbak Maya bisa menjadi guru Sejarah? Gaya penceritaan Mbak May terus terang sangat mudah ditangkap dan membuat pembaca/pendengar semakin ingin mendalami sejarah. Ya, mungkin saja pencipta parodi tersebut suka bolos pada saat pelajaran sejarah, atau mungkin gurunya yang terkadang hanya gemar memberi catatan saja pada mata pelajaran sejarah. Tidak ada yang pernah tahu sich. Namun, ini bisa menjadi PR untuk para guru-guru di Indonesia bahwa metode pengajaran harus dilakukan dengan semenarik mungkin, kalau perlu keluar dari pakem-pakem namun tetap menyelesaikan materi yang ada. Siapa sih yang bisa inget kalau Perang Diponegoro terjadi tahun sekian, Yos Sudarso tenggelam di Laut Aru pada tahun sekian, Perjanjian Giyanti ditandatangani pada tanggal sekian. Akan jauh lebih menarik kalau pembahasan dilakukan dengan cerita, kalau perlu drama, sehingga anak-anak didik bisa menyelami makna kemerdekaan (contoh kasus) lebih mudah, karena hanya berdasar apa yang mereka lakukan dalam pementasan. Iya nggak sich?

    oh, saya setuju sekali dengan hal yang paling menarik dari Indonesia : kemajemukannya. Sudah cukup deh masa-masa kepentingan golongan, etnis, agama, ras, dan aliran diutamakan. kita hanya memiliki satu identitas yang ditonjolkan : KeIndonesiaan. (entah mengapa, saya banyak baca dan jadi tahu kalau sesama orang Indonesia, misalnya satu dari Jayapura, satunya lagi dari Banda Aceh, satunya kristen satunya muslim, akan merasa sebagai saudara ketika mereka berdua terdampar di suatu negeri asing nan jauh disana. Padahal, di kehidupan nyata di Indonesia, mereka tidak pernah bertemu atau memiliki kesempatan untuk bertemu sama sekali). Akankah kita baru menjadi satu setelah muncul orang asing diantara kita, sekeliling kita, dan dimana-mana?

    BalasHapus
  2. Wow, Lomie, paragraf terakhirmu menggigit sekali, terutama kalimat 'akankah kita baru menjadi satu setelah muncul orang asing di antara kita, sekeliling kita, dan di mana-mana?'. Mungkin bisa dihubungkan dengan pepatah Jawa: sedulur kui yen cedhak mambu t*i, ning yen adoh mambu wangi. Saudara itu kalau dekat bau t*i, namun kalau jauh bau wangi. Kalau dekat berantem terus, begitu jauh terasa rindu dan terkenang akan semua kebaikannya. Begitu juga dengan kita. Selama di tanah air kita abaikan dan pandang enteng semua nikmat dan berkat yang Tuhan telah berikan berlimpah ruah di negeri ini. In short, we take our motherland for granted. Setelah jauh, baru deh hati teriris-iris terkenang segala kenikmatan dan sukacita sewaktu di kampung. Well, we usually don't what we have until it's gone, right?
    Sekarang Lomie mengusulkan saya jadi guru sejarah, tempo hari jadi motivator. Besok-besok apa lagi, ya? Fotomodel majalah Trubus? Hehe... Saya sepakat bahwa guru-guru sejarah musti lebih kreatif dan mengajar dengan pendekatan penggalian serta pendalaman. Namun lebih dari itu, pemahaman akan sejarah semestinya sudah jadi tanggung jawab semua rakyat Indonesia. Dan kita yang sudah tercerahkan punya kewajiban moral untuk membagikannya kepada mereka yang belum, sebab bukankah memberi, apapun itu, termasuk ilmu, adalah kewajiban kita sebagai umat beragama yang mengaku percaya Tuhan? Dan bicara mengenai sejarah, sebuah bangsa akan menjadi lemah dan kian lemah pada saat ingatan kita akan sejarah mulai menguap. Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab hari ini dibangun dari hari lalu, untuk kemudian menjadi landasan hari esok.
    Tuhan memberkati Lomar dan saya, Tuhan memberkati Indonesia.

    BalasHapus