Senin, 20 Februari 2012

‘”Rakyat Adil Makmurnya Kapaaaannn….?”’, Tanyakanlah Dirimu Sendiri, Teman (bagian pertama).

Bagian kedua dari empat tulisan

Ini adalah bagian kedua dari parodi Garuda Pancasila yang memancing amarah. Kata salah seorang teman dumay saya, ini malah nggak layak disebut parodi karena sama sekali enggak ada lucu-lucunya. Benar juga. Sutralah, saya mulai saja. Kalau ‘Pancasila dasarnya apaaa?’ membuat saya murka, yang satu ini membuat saya geli campur iba. Karena dalam skala ekstrim kalimat ini bisa dianalogikan dengan seorang bodoh yang malasnya minta ampun, kemudian frustrasi dengan kebodohannya, lalu mulai berteriak-teriak pada semua orang sebagai pelampiasan frutrasinya: "Kapan gue pinter???!!! Kapan gue pinter??!!" Lalu orang-orang dengan iba membalas: "Tanya aja diri  sendiri. Kok gue, sih?".

Yang sibuk teriak-teriak hingga lupa ngaca di atas tadi disebut orang, karena cuma satu. Tapi jika  dalam skala besar, bersatu mendiami suatu wilayah serta diikat oleh suatu rasa persamaan dan atau cita-cita serta tujuan, merekapun disebut rakyat. Wow, tanpa sadar saya sudah menjelaskan unsur pertama dan kedua sebuah negara :). Rincinya: wilayah, rakyat, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain. Yang terakhir ini sifatnya deklaratif, sih, meskipun dalam konteks global perkara diakui ini sangat strategis dalam urusan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Jadi jelas dari urutan tersebut, bahwa rakyat adalah unsur yang lebih penting ketimbang pemerintah..

Rakyat yang mendiami negara manapun pasti hidup di dalam apa yang disebut sistem. Sistem pastinya digodog oleh pemerintah, yang berfungsi sebagai penyelenggara negara. Kata penyelenggara ini sangat menarik, karena jika dibaca secara letterlig, maka negara dijalankan oleh pemerintah. Pertanyaannya: terus rakyat apa kabar? Pada ngapain? Ke mana aja? Begitu anak-anak gaul bilang. Sekali lagi kalau dibaca secara letterlig, maka rakyatnya ya nggak ngapa-ngapain, nggak ke mana-mana. Duduk manis, diam-diam, distir ke sana oke, ke situ hore, diceburin sumur oye. Kasihan sekaleee….

Betapa malangnya rakyat seperti itu. Lalu kalau merasa gerah, sebagai pion tanpa daya tanpa kemampuan pikir, rakyat akan beramai-ramai menyalahkan pemerintah. Apes-apesnya sistem. Padahal kalau mau dipikir secara dalam dan jujur, bisa apa sih sebetulnya sistem itu? Bukankah sistem hanyalah benda mati, mahluk tak bernyawa yang dibikin apa aja iya? Contoh sederhana adalah perilaku menyimpang oknum aparat di jalanan saat menilang. Nyemprit, dompet dibuka, habis perkara. Praktek itu sudah berlaku sejak lama, lalu rakyat berkeluh-kesah, dan ujung-ujungnya menyalahkan sistem. Tapi coba simak ini: 1. Apakah aparat akan menyemprit jika pengguna jalan (baca: rakyat) TIDAK MELANGGAR PERATURAN?  2. Apakah aparat akan berperilaku menyimpang jika si pelanggar peraturan (baca: rakyat) TIDAK BERUSAHA MENYOGOK? Adakah seseorang BISA DISUAP bila TIDAK ADA PENYUAP? Pertanyaan sederhana inilah yang luput dilontarkan oleh jutaan rakyat Indonesia yang dari tahun ke tahun hobinya mencari kambing hitam (sebagai perbandingan silakan baca posting jadul saya yang berjudul ‘Virus dan Antinya’).  Yang bertahun-tahun terbiasa hidup dalam cara berpikir ambivalen dan bias ganda, tanpa seorangpun mengingatkan. Tapi mustikah ada yang terlebih dulu mengingatkan baru kita sadar?

Contoh kedua: kasus kemiskinan. Dari Sabang sampai Merauke, untuk perkara kemiskinan selalu saja pemerintah dijadikan bulan-bulanan (mohon pembaca garis bawahi, saya SAMA SEKALI BUKAN PENGGEMAR PEMERINTAH. Saya adalah penggemar Brian May dan Benyamin Sueb, jadi jelas kan bedanya? Poin saya di sini adalah, betapa lemahnya kita secara mental dan spiritual bila setiap kali ada masalah kita pecicilan mencari kambing hitam dan lupa introspeksi pada saat yang sama). Jadi begini skenarionya: semua orang (orang-orang di media massa, para aktivis FB dan Twitter, ibu rumah tangga, preman-preman pasar, dosen, para pengamat sosial, kaum sosialita, para pemuka agama, para pengunjung coffee shop yang setia, dan siapa saja) menyalahkan pemerintah, sambil pada saat yang bersamaan lupa bahwa mereka (atau bahkan kita): menganggarkan ratusan ribu per bulan untuk rokok, mencabut dengan entengnya sekian ratus ribu untuk sekali nongkrong di coffee shop atau mall, menghamburkan jutaan rupiah demi potongan rambut, wax, botox, jam tangan, tas, sepatu, berbagai barang bermerk, dan sebagainya. Lalu seakan semua belum cukup, adu cepat ganti gadget setiap kali keluar jenis yang lebih canggih. Sambil dengan bergirang hati melakukan itu semua, tanpa beban lidah ini memaki-maki pihak lain –terutama pemerintah- atas kemiskinan di Indonesia.

Kalau sudah kekurangan bahan, yang disalahkan adalah korupsi. Korupsi memang menjijikkan, tapi harap dicatat bahwa itu bukan satu-satunya faktor utama kemiskinan. Sekalipun memang iya, masih ada dua faktor utama yang bisa mematahkan korupsi seganas dan sejahat apapun: sikap mental dan kepedulian. Sebab fakta sudah banyak bicara, bahwa seburuk apapun sistem yang memayungi seseorang, jika ia punya mental cukup untuk berjihad melawan kemiskinan maka habislah semua perkara. Dan fakta sudah banyak pula bicara, seseorang dengan sikap mental yang sangat lemah sekalipun akan lambat-laun berubah jika orang-orang di sekelilingnya cukup peduli. Kepedulian tidak harus selalu dalam bentuk materi. Kepedulian bisa lewat pencerahan batin, yang bisa kita lakukan dengan menyisihkan sedikit waktu secara rutin untuk ‘mencuci otak’ insan-insan bermental lemah yang mudah dijadikan bulan-bulanan oleh virus jahat bernama kemiskinan itu. Kepedulian dan sikap mental adalah kombinasi vaksin yang tak mungkin dikalahkan oleh virus kemiskinan macam apapun.

Perkara kemiskinan adalah urusan semua elemen bangsa Indonesia. Sungguh celaka kalau kita menganggap bahwa ini adalah urusan pemerintah semata, karena bila demikian –dan memang inilah yang selama ini terjadi- maka dengan mudahnya kita bisa berkelit dari tanggung jawab moral kita sebagai manusia. Karena sebagai rakyat Indonesia yang sebagian besar mengakui adanya Tuhan dan memeluk agama formal, kita semua pasti sudah fasih akan masalah kepedulian pada sesama. Agama dan kitab apapun sudah pasti memuat materi ini, jadi sungguh tidak masuk akal bila bangsa sebesar ini, dengan rumah ibadah tersebar di tiap jengkal tanahnya, masih dibelit kemiskinan. Sungguh sebuah kemunafikan yang tiada terperi bila saat kita gagal menerapkan ajaran dari kitab masing-masing, kita kemudian sibuk mencari pihak lain untuk dijadikan sasaran tudingan jari. Dan jika kita terus setia melakukan ini, maka keadilan dan kemakmuran rakyat hanya akan jadi mimpi. Jadi, pertanyaan ‘rakyat adil makmurnya kapan?’ pada akhirnya hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar