Ini adalah bagian kedua dari parodi Garuda Pancasila yang
memancing amarah. Kata salah seorang teman dumay saya, ini malah nggak layak
disebut parodi karena sama sekali enggak ada lucu-lucunya. Benar juga.
Sutralah, saya mulai saja. Kalau ‘Pancasila dasarnya apaaa?’ membuat saya
murka, yang satu ini membuat saya geli campur iba. Karena dalam skala ekstrim
kalimat ini bisa dianalogikan dengan seorang bodoh yang malasnya minta ampun,
kemudian frustrasi dengan kebodohannya, lalu mulai berteriak-teriak pada semua
orang sebagai pelampiasan frutrasinya: "Kapan gue pinter???!!! Kapan gue
pinter??!!" Lalu orang-orang dengan iba membalas: "Tanya aja diri sendiri. Kok gue, sih?".
Yang sibuk teriak-teriak hingga lupa ngaca di atas tadi
disebut orang, karena cuma satu. Tapi jika
dalam skala besar, bersatu mendiami suatu wilayah serta diikat oleh
suatu rasa persamaan dan atau cita-cita serta tujuan, merekapun disebut rakyat.
Wow, tanpa sadar saya sudah menjelaskan unsur pertama dan kedua sebuah negara :). Rincinya: wilayah, rakyat, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain. Yang terakhir ini
sifatnya deklaratif, sih, meskipun dalam konteks global perkara diakui ini
sangat strategis dalam urusan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Jadi jelas
dari urutan tersebut, bahwa rakyat adalah unsur yang lebih penting ketimbang pemerintah..
Rakyat yang mendiami negara manapun pasti hidup di dalam apa
yang disebut sistem. Sistem pastinya digodog oleh pemerintah, yang berfungsi
sebagai penyelenggara negara. Kata penyelenggara ini sangat menarik, karena jika
dibaca secara letterlig, maka negara dijalankan oleh pemerintah. Pertanyaannya:
terus rakyat apa kabar? Pada ngapain? Ke mana aja? Begitu anak-anak gaul
bilang. Sekali lagi kalau dibaca secara letterlig, maka rakyatnya ya nggak
ngapa-ngapain, nggak ke mana-mana. Duduk manis, diam-diam, distir ke sana oke,
ke situ hore, diceburin sumur oye. Kasihan sekaleee….
Betapa malangnya rakyat seperti itu. Lalu kalau merasa gerah,
sebagai pion tanpa daya tanpa kemampuan pikir, rakyat akan beramai-ramai
menyalahkan pemerintah. Apes-apesnya sistem. Padahal kalau mau dipikir secara
dalam dan jujur, bisa apa sih sebetulnya sistem itu? Bukankah sistem hanyalah
benda mati, mahluk tak bernyawa yang dibikin apa aja iya? Contoh sederhana
adalah perilaku menyimpang oknum aparat di jalanan saat menilang. Nyemprit,
dompet dibuka, habis perkara. Praktek itu sudah berlaku sejak lama, lalu rakyat
berkeluh-kesah, dan ujung-ujungnya menyalahkan sistem. Tapi coba simak ini: 1.
Apakah aparat akan menyemprit jika pengguna jalan (baca: rakyat) TIDAK
MELANGGAR PERATURAN? 2. Apakah aparat
akan berperilaku menyimpang jika si pelanggar peraturan (baca: rakyat) TIDAK
BERUSAHA MENYOGOK? Adakah seseorang BISA DISUAP bila TIDAK ADA PENYUAP?
Pertanyaan sederhana inilah yang luput dilontarkan oleh jutaan rakyat Indonesia yang
dari tahun ke tahun hobinya mencari kambing hitam (sebagai perbandingan silakan
baca posting jadul saya yang berjudul ‘Virus dan Antinya’). Yang bertahun-tahun terbiasa hidup dalam cara
berpikir ambivalen dan bias ganda, tanpa seorangpun mengingatkan. Tapi mustikah
ada yang terlebih dulu mengingatkan baru kita sadar?
Contoh kedua: kasus kemiskinan. Dari Sabang sampai Merauke,
untuk perkara kemiskinan selalu saja pemerintah dijadikan bulan-bulanan (mohon
pembaca garis bawahi, saya SAMA SEKALI BUKAN PENGGEMAR PEMERINTAH. Saya adalah
penggemar Brian May dan Benyamin Sueb, jadi jelas kan bedanya? Poin saya di
sini adalah, betapa lemahnya kita secara mental dan spiritual bila setiap kali
ada masalah kita pecicilan mencari kambing hitam dan lupa introspeksi pada saat
yang sama). Jadi begini skenarionya: semua orang (orang-orang di media massa,
para aktivis FB dan Twitter, ibu rumah tangga, preman-preman pasar, dosen, para
pengamat sosial, kaum sosialita, para pemuka agama, para pengunjung coffee shop
yang setia, dan siapa saja) menyalahkan pemerintah, sambil pada saat yang
bersamaan lupa bahwa mereka (atau bahkan kita): menganggarkan ratusan ribu per
bulan untuk rokok, mencabut dengan entengnya sekian ratus ribu untuk sekali
nongkrong di coffee shop atau mall, menghamburkan jutaan rupiah demi potongan
rambut, wax, botox, jam tangan, tas, sepatu, berbagai barang bermerk, dan
sebagainya. Lalu seakan semua belum cukup, adu cepat ganti gadget setiap kali
keluar jenis yang lebih canggih. Sambil dengan bergirang hati melakukan itu
semua, tanpa beban lidah ini memaki-maki pihak lain –terutama pemerintah- atas
kemiskinan di Indonesia.
Kalau sudah kekurangan bahan, yang disalahkan adalah korupsi.
Korupsi memang menjijikkan, tapi harap dicatat bahwa itu bukan satu-satunya
faktor utama kemiskinan. Sekalipun memang iya, masih ada dua faktor utama yang
bisa mematahkan korupsi seganas dan sejahat apapun: sikap mental dan
kepedulian. Sebab fakta sudah banyak bicara, bahwa seburuk apapun sistem yang
memayungi seseorang, jika ia punya mental cukup untuk berjihad melawan
kemiskinan maka habislah semua perkara. Dan fakta sudah banyak pula bicara,
seseorang dengan sikap mental yang sangat lemah sekalipun akan lambat-laun
berubah jika orang-orang di sekelilingnya cukup peduli. Kepedulian tidak harus
selalu dalam bentuk materi. Kepedulian bisa lewat pencerahan batin, yang bisa
kita lakukan dengan menyisihkan sedikit waktu secara rutin untuk ‘mencuci otak’
insan-insan bermental lemah yang mudah dijadikan bulan-bulanan oleh virus jahat
bernama kemiskinan itu. Kepedulian dan sikap mental adalah kombinasi vaksin
yang tak mungkin dikalahkan oleh virus kemiskinan macam apapun.
Perkara kemiskinan adalah urusan semua elemen bangsa
Indonesia. Sungguh celaka kalau kita menganggap bahwa ini adalah urusan
pemerintah semata, karena bila demikian –dan memang inilah yang selama ini
terjadi- maka dengan mudahnya kita bisa berkelit dari tanggung jawab moral kita
sebagai manusia. Karena sebagai rakyat Indonesia yang sebagian besar mengakui
adanya Tuhan dan memeluk agama formal, kita semua pasti sudah fasih akan
masalah kepedulian pada sesama. Agama dan kitab apapun sudah pasti memuat materi
ini, jadi sungguh tidak masuk akal bila bangsa sebesar ini, dengan rumah ibadah
tersebar di tiap jengkal tanahnya, masih dibelit kemiskinan. Sungguh sebuah
kemunafikan yang tiada terperi bila saat kita gagal menerapkan ajaran dari
kitab masing-masing, kita kemudian sibuk mencari pihak lain untuk dijadikan
sasaran tudingan jari. Dan jika kita terus setia melakukan ini, maka keadilan
dan kemakmuran rakyat hanya akan jadi mimpi. Jadi, pertanyaan ‘rakyat adil
makmurnya kapan?’ pada akhirnya hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar