Selasa, 07 Februari 2012

Mengenang Patrice dan Alanis



Mungkin akan ada di antara pembaca yang menganggap saya drama queen. Atau bahkan mungkin ada yang berkomentar, “Yaks! Najiiiisss.” Tapi setidaknya ijinkan saya mengatakan betapa memukulnya peristiwa ini bagi saya, sehingga ingin rasanya saya berbaring selama seminggu dan tidak melakukan apa-apa. Saya baru saja kehilangan dua ekor anak anjing. Dua ekor dalam waktu semalam. Apa yang saya rasakan akan saya jabarkan dalam kesempatan berikutnya. Yang akan saya kisahkan sekarang adalah betapa luar biasa dan memesonanya Alanis dan Patrice, anak-anak anjing tersebut. Alanis berpostur kecil dan seumur hidup saya belum pernah melihat anak anjing yang begitu hobi melompat seperti dia. Hobinya melonjak-lonjak bukan masalah seandainya kuku-kukunya tidak setajam dan seruncing itu. Kegemaran melonjak melebihi takaran dan kuku-kuku runcing tajam juga bukan masalah seandainya ia tidak begitu memuja saya. Dan itulah inti masalahnya: ia begitu memuja saya seakan-akan saya adalah mahluk terindah dan terpenting di dunia. Setiap kali ia melihat tampang saya, ia akan melonjak-lonjak hebat di kaki-kaki saya seolah kami sudah seabad tak berjumpa. Dan ia belum juga berhenti bahkan setelah saya membelai-belainya dengan penuh konsentrasi. Dan kejadian itu bisa berlangsung belasan kali dalam sehari. Saat saya membuka pagar sepulang dari warung untuk membeli terasi, saat saya membuka pintu kamar mandi, saat ia bermain di luar dan mendapati saya membawa sapu hendak membersihkan halaman, saat saya bangkit dari duduk, apapun. Kapanpun. Maka kemulusan hanyalah masa lalu yang terasa amat jauh bagi sepasang kaki saya yang sehari-hari cuma dibungkus celana pendek jins belel.

Intinya: tidak ada apapun yang bisa membuatnya lebih girang selain keberadaan Mamak Maya.  Wajah Mamak Maya adalah sinar matahari yang mencerahkan harinya selama 24 jam, setiap detik, setiap waktu. Dan menunjukkan bakti serta cinta pada Mamak Maya adalah tujuan utama hidupnya.

Lain halnya dengan Patrice yang gendut dan cenderung lebih senang hidup dalam dunianya sendiri. Secara umum ia terlihat tidak mencintai saya sebesar Alanis mencintai saya. Tapi ternyata ia punya caranya sendiri. Begini, Alanis dan Patrice punya induk bernama Inoy, yang sangat penuntut dan pencemburu. Ia tidak mau saya membagi perhatian pada yang lain, bahkan sekalipun itu anak-anaknya sendiri. Dan di manapun saya berada atau duduk lebih dari 5 menit, maka mereka akan berbaring menanti, berserakan bagai sampah, dan mengerubuti saya seperti pasukan anjing gila tiap kali saya bergerak atau muncul dari pintu. Patrice dengan tubuh gendut yang bergoyang tenang, Alanis dengan kelincahan dan semangat memuja yang berlebihan, serta Inoy yang langsing liat dan sangat posesif. Tidak kurang dari 3 menit, Alanis dan Inoy akan bersitegang, ribut sendiri memperlihatkan sekaligus memperebutkan perhatian saya. Dan mereka sangat bersungguh-sungguh dalam hal itu. Lalu Patrice dengan cerdik dan lihai memanfaatkan kekosongan tersebut. Ia akan menyelinap diam-diam, menghambur dalam sunyi, dan mempertontonkan serta mendapat perhatian saya seratus persen.

Dengan karakter yang berbeda-beda, mereka sesungguhnya punya tujuan hidup sama: menyatakan cinta pada Mamak Maya. Dan mereka sangat militan mengenai hal itu.

Sungguh devosi yang luar biasa, yang belum pernah saya dapatkan dari siapapun sepanjang saya hidup hampir 40 tahun di dunia. Sungguh mengherankan bagaimana mereka bisa mencintai saya sebesar itu, bahkan jauh lebih besar dan dalam daripada cinta mereka pada induk mereka sendiri, tanpa sedetikpun pernah merasa bosan, tanpa sedikitpun berkurang keinginan mereka untuk menyenangkan hati saya. Dan cinta serta pengabdian dalam level setinggi itu mereka miliki dalam usia yang begitu belia.

Cinta dan devosi itu, di sela-sela air mata yang hampir setiap menit meleleh dalam hari-hari belakangan ini, membuat saya merenung. Pernahkah saya, sebagai anak manusia, mencintai dan menunjukkan bakti pada induk saya yang utama, ibu pertiwi, melebihi ibu kandung saya sendiri? Setelah merenung cukup lama, saya dapati jawabannya tidak. Dan saya merasa terpukul, malu pada diri sendiri. Sebab Alanis dan Patrice yang tidak mendapat karunia akal budi saja sanggup memberikan itu semua pada saya, melebihi yang mereka berikan pada induk mereka sendiri, sedangkan saya yang diciptakan sempurna sama sekali tak mampu melakukannya pada ibu pertiwi saya, Indonesia. Pada masa belia saya menghabiskan waktu dengan bermain. Beranjak remaja saya mulai menikmati pergaulan dan mencoba berbagai macam kenakalan yang membuat saya sering beradu mulut dengan ibu saya. Kemudian meningkat dewasa saya menghabiskan waktu dan tenaga untuk kesejahteraan hidup saya dan anak saya. Dari berbagai level kehidupan yang telah saya jalani, ibu pertiwi luput sama sekali dari benak dan perhatian saya. Semuanya saya dedikasikan bagi kesenangan dan kesejahteraan diri sendiri dan keluarga. Itu saja.

Tentu saja tidak terpikir dalam benak bahwa saya berhutang banyak pada ibu pertiwi saya. Saya berhutang pembentukan karakter, berhutang struktur tubuh yang kecil namun liat yang terbentuk dari iklim dan bahan-bahan makanan yang tersedia murah dan melimpah di negeri ini, berhutang sejarah, berhutang warisan filosofi dan pandangan-pandangan hidup, berhutang kedamaian dan kesejahteraan. Berhutang kebanggaan karena memiliki negara yang sangat majemuk, dalam segala hal, sehingga hampir semua teman-teman bangsa asing saya punya komentar yang sama: belum pernah aku lihat ada negara yang begitu luar biasa seperti Indonesia. Berhutang kepribadian yang ramah, terbuka, gemar menolong, dan pemaaf seperti yang secara kolektif dimiliki oleh rakyat bangsa ini, yang diturunkan dari abad ke abad meskipun tak pernah dirumuskan secara baku, berhutang rasa percaya diri karena bangsa ini tetap tegak utuh kendati diterjang berbagai masalah dan tantangan, dan entah hutang-hutang apalagi.

Hutang saya pada negeri ini tak terhitung. Tapi yang memenuhi benak saya dari tahun ke tahun tak lebih hanyalah bagaimana memberikan masa depan yang layak bagi anak-anak saya. Memang mulia, namun jika saya mau jujur mengakui, betapa sempitnya.

Kalau saja saya memiliki sedikit saja cinta dan devosi seperti yang Alanis dan Patrice punya, mungkin sejak dulu saya akan sudah melakukan sebuah tindakan sebagai wujud nyata dari cinta saya pada Indonesia. Mungkin bukan hal yang besar dan wah. Mungkin hanya sekedar memiliki 2 atau 3 anak asuh. Atau sekedar membuka perpustakaan kecil bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Menanam pohon sebanyak yang saya mampu. Seminim mungkin melakukan pelanggaran lalu lintas atau aturan apapun. Berusaha mengganti jam karet saya dengan jam normal. Sebanyak mungkin membeli barang-barang produksi dalam negeri. Tidak membeli buah-buahan atau produk-produk pertanian import. Mengunjungi panti jompo atau penjara secara berkala, meskipun saya tidak kenal siapa yang menghuni di dalamnya. Atau hal-hal baik apa saja, sekecil dan sesederhana apapun itu. Karena siapa tahu itu bisa menginspirasi orang-orang di sekitar saya, lalu inspirasi kecil itu meluas, dan kian banyak rakyat Indonesia yang melakukan hal-hal baik dengan semangat menjadikan Indonesia yang tertib, mandiri,  kaya, dan damai sejahtera dengan rakyat yang tenang dan kuat karena satu sama lain hidup saling memperhatikan, sehingga tidak ada lagi orang yang merasa memanggul beban berat sendirian dan hidup dalam stress berkepanjangan.

Kalau saja sejak dulu saya punya cinta dan bakti sebesar yang Alanis dan Patrice punya. Dan saya sangat bersyukur sempat memiliki mereka sekalipun tak lama, karena mahluk-mahluk kecil luar biasa itu memberi saya inspirasi dan keinginan untuk segera mewujudkannya. Merekalah guru natural saya tentang bagaimana berbakti dan mencinta. Semoga di luar sana ada banyak orang yang telah memiliki dan mewujudkan devosi itu jauh sebelum saya menyadarinya. Mewujudkan cinta dan bakti yang waktu demi waktu terus menggelora bagi ibu pertiwi kita, Indonesia. 

2 komentar:

  1. Nice thoughts, mbak :)

    saya belum pernah berpikir sejauh itu lho. hebat sekali Mbak May sudah ada rintisan jalan ke arah sana. Semoga efeknya bisa tertular ke orang lain ya mbak, semakin menyebar seperti virus sehingga Indonesia semakin kalem dan damai. amin.

    Tapi saya percaya mbak, cinta yang kita berikan ke sekeliling kita itu memang seperti virus. Mudah menular. setelah 1000 orang tertular, bukan perkara susah kalau ribuan orang lainnya ingin tertular. Dari yang namanya kesadaran karena disadarkan, hingga kesadaran dari dalam diri sendiri. Dari yang mulai menanam pohon karena malu hati, hingga menanam pohon karena kesadaran sendiri. Dari yang memiliki anak asuh karena malu hati, hingga memiliki anak asuh karena kesadaran sendiri. SUngguh indah ya mbak :)

    Semoga kedamaian dan kerelaan cepat bersandar di hati dan sanubarinya Mbak May. Yang kuat dan tabah ya mbak, Tuhan besertamu, beserta negeri ini juga, Indonesia :)

    BalasHapus
  2. Hal yang juga penting menurut saya adalah mempublikasikan kebaikan-kebaikan yang kita berikan dan atau lakukan untuk negeri kita (meskipun resikonya dianggap congkak dan sombong, sih). Tapi ibarat suluh, nyala kecil itu memang harus ditunjukkan supaya menjadi terang dan syukur-syukur menjalar pada yang lain hingga menjadi obor yang besar.
    Btw, quote Lomar 'menanam pohon karena malu hati hingga menanam pohon karena kesadaran sendiri' bagus banget, lho. Kapan-kapan saya 'pinjam', ya:). Terima kasih dukungan morilnya. Saya juga berharap pulih dari rasa duka yang menggerogoti semangat dan kemampuan berpikir ini. Saya rasa Indonesia butuh lebih banyak orang seperti Lomar, yang setia memberikan dukungan pada teman yang sedang membutuhkan. Perhatian dari seseorang akan membuat kita tidak merasa sendirian, dengan demikian kita menjadi kuat dan cepat bangkit. Dan pada akhirnya, inilah yang dibutuhkan Indonesia. Sungguh, Tuhan memberkatimu, Lomar.

    Dengan cinta,

    Yuanita Maya.

    BalasHapus