Mungkin akan ada di antara pembaca
yang menganggap saya drama queen. Atau bahkan mungkin ada yang berkomentar, “Yaks!
Najiiiisss.” Tapi setidaknya ijinkan saya mengatakan betapa memukulnya
peristiwa ini bagi saya, sehingga ingin rasanya saya berbaring selama seminggu
dan tidak melakukan apa-apa. Saya baru saja kehilangan dua ekor anak anjing. Dua
ekor dalam waktu semalam. Apa yang saya rasakan akan saya jabarkan dalam
kesempatan berikutnya. Yang akan saya kisahkan sekarang adalah betapa luar
biasa dan memesonanya Alanis dan Patrice, anak-anak anjing tersebut. Alanis berpostur
kecil dan seumur hidup saya belum pernah melihat anak anjing yang begitu hobi
melompat seperti dia. Hobinya melonjak-lonjak bukan masalah seandainya
kuku-kukunya tidak setajam dan seruncing itu. Kegemaran melonjak melebihi
takaran dan kuku-kuku runcing tajam juga bukan masalah seandainya ia tidak
begitu memuja saya. Dan itulah inti masalahnya: ia begitu memuja saya
seakan-akan saya adalah mahluk terindah dan terpenting di dunia. Setiap kali ia
melihat tampang saya, ia akan melonjak-lonjak hebat di kaki-kaki saya seolah
kami sudah seabad tak berjumpa. Dan ia belum juga berhenti bahkan setelah saya
membelai-belainya dengan penuh konsentrasi. Dan kejadian itu bisa berlangsung
belasan kali dalam sehari. Saat saya membuka pagar sepulang dari warung untuk
membeli terasi, saat saya membuka pintu kamar mandi, saat ia bermain di luar
dan mendapati saya membawa sapu hendak membersihkan halaman, saat saya bangkit
dari duduk, apapun. Kapanpun. Maka kemulusan hanyalah masa lalu yang terasa
amat jauh bagi sepasang kaki saya yang sehari-hari cuma dibungkus celana pendek
jins belel.
Intinya: tidak ada apapun yang bisa
membuatnya lebih girang selain keberadaan Mamak Maya. Wajah Mamak Maya adalah sinar matahari yang
mencerahkan harinya selama 24 jam, setiap detik, setiap waktu. Dan menunjukkan
bakti serta cinta pada Mamak Maya adalah tujuan utama hidupnya.
Lain halnya dengan Patrice yang gendut
dan cenderung lebih senang hidup dalam dunianya sendiri. Secara umum ia
terlihat tidak mencintai saya sebesar Alanis mencintai saya. Tapi ternyata ia
punya caranya sendiri. Begini, Alanis dan Patrice punya induk bernama Inoy,
yang sangat penuntut dan pencemburu. Ia tidak mau saya membagi perhatian pada
yang lain, bahkan sekalipun itu anak-anaknya sendiri. Dan di manapun saya
berada atau duduk lebih dari 5 menit, maka mereka akan berbaring menanti,
berserakan bagai sampah, dan mengerubuti saya seperti pasukan anjing gila tiap
kali saya bergerak atau muncul dari pintu. Patrice dengan tubuh gendut yang
bergoyang tenang, Alanis dengan kelincahan dan semangat memuja yang berlebihan,
serta Inoy yang langsing liat dan sangat posesif. Tidak kurang dari 3 menit,
Alanis dan Inoy akan bersitegang, ribut sendiri memperlihatkan sekaligus memperebutkan
perhatian saya. Dan mereka sangat bersungguh-sungguh dalam hal itu. Lalu Patrice
dengan cerdik dan lihai memanfaatkan kekosongan tersebut. Ia akan menyelinap
diam-diam, menghambur dalam sunyi, dan mempertontonkan serta mendapat perhatian
saya seratus persen.
Dengan karakter yang berbeda-beda,
mereka sesungguhnya punya tujuan hidup sama: menyatakan cinta pada Mamak Maya. Dan
mereka sangat militan mengenai hal itu.
Sungguh devosi yang luar biasa, yang
belum pernah saya dapatkan dari siapapun sepanjang saya hidup hampir 40 tahun
di dunia. Sungguh mengherankan bagaimana mereka bisa mencintai saya sebesar
itu, bahkan jauh lebih besar dan dalam daripada cinta mereka pada induk mereka
sendiri, tanpa sedetikpun pernah merasa bosan, tanpa sedikitpun berkurang
keinginan mereka untuk menyenangkan hati saya. Dan cinta serta pengabdian dalam
level setinggi itu mereka miliki dalam usia yang begitu belia.
Cinta dan devosi itu, di sela-sela
air mata yang hampir setiap menit meleleh dalam hari-hari belakangan ini,
membuat saya merenung. Pernahkah saya, sebagai anak manusia, mencintai dan
menunjukkan bakti pada induk saya yang utama, ibu pertiwi, melebihi ibu kandung
saya sendiri? Setelah merenung cukup lama, saya dapati jawabannya tidak. Dan saya
merasa terpukul, malu pada diri sendiri. Sebab Alanis dan Patrice yang tidak
mendapat karunia akal budi saja sanggup memberikan itu semua pada saya, melebihi
yang mereka berikan pada induk mereka sendiri, sedangkan saya yang diciptakan sempurna
sama sekali tak mampu melakukannya pada ibu pertiwi saya, Indonesia. Pada masa
belia saya menghabiskan waktu dengan bermain. Beranjak remaja saya mulai
menikmati pergaulan dan mencoba berbagai macam kenakalan yang membuat saya
sering beradu mulut dengan ibu saya. Kemudian meningkat dewasa saya
menghabiskan waktu dan tenaga untuk kesejahteraan hidup saya dan anak saya. Dari
berbagai level kehidupan yang telah saya jalani, ibu pertiwi luput sama sekali
dari benak dan perhatian saya. Semuanya saya dedikasikan bagi kesenangan dan
kesejahteraan diri sendiri dan keluarga. Itu saja.
Tentu saja tidak terpikir dalam benak
bahwa saya berhutang banyak pada ibu pertiwi saya. Saya berhutang pembentukan
karakter, berhutang struktur tubuh yang kecil namun liat yang terbentuk dari iklim
dan bahan-bahan makanan yang tersedia murah dan melimpah di negeri ini,
berhutang sejarah, berhutang warisan filosofi dan pandangan-pandangan hidup,
berhutang kedamaian dan kesejahteraan. Berhutang kebanggaan karena memiliki
negara yang sangat majemuk, dalam segala hal, sehingga hampir semua teman-teman
bangsa asing saya punya komentar yang sama: belum pernah aku lihat ada negara
yang begitu luar biasa seperti Indonesia. Berhutang kepribadian yang ramah,
terbuka, gemar menolong, dan pemaaf seperti yang secara kolektif dimiliki oleh
rakyat bangsa ini, yang diturunkan dari abad ke abad meskipun tak pernah
dirumuskan secara baku, berhutang rasa percaya diri karena bangsa ini tetap
tegak utuh kendati diterjang berbagai masalah dan tantangan, dan entah
hutang-hutang apalagi.
Hutang saya pada negeri ini tak
terhitung. Tapi yang memenuhi benak saya dari tahun ke tahun tak lebih hanyalah
bagaimana memberikan masa depan yang layak bagi anak-anak saya. Memang mulia,
namun jika saya mau jujur mengakui, betapa sempitnya.
Kalau saja saya memiliki sedikit saja
cinta dan devosi seperti yang Alanis dan Patrice punya, mungkin sejak dulu saya
akan sudah melakukan sebuah tindakan sebagai wujud nyata dari cinta saya pada
Indonesia. Mungkin bukan hal yang besar dan wah. Mungkin hanya sekedar memiliki
2 atau 3 anak asuh. Atau sekedar membuka perpustakaan kecil bagi anak-anak dari
keluarga tidak mampu. Menanam pohon sebanyak yang saya mampu. Seminim mungkin
melakukan pelanggaran lalu lintas atau aturan apapun. Berusaha mengganti jam
karet saya dengan jam normal. Sebanyak mungkin membeli barang-barang produksi
dalam negeri. Tidak membeli buah-buahan atau produk-produk pertanian import. Mengunjungi
panti jompo atau penjara secara berkala, meskipun saya tidak kenal siapa yang
menghuni di dalamnya. Atau hal-hal baik apa saja, sekecil dan sesederhana
apapun itu. Karena siapa tahu itu bisa menginspirasi orang-orang di sekitar
saya, lalu inspirasi kecil itu meluas, dan kian banyak rakyat Indonesia yang
melakukan hal-hal baik dengan semangat menjadikan Indonesia yang tertib,
mandiri, kaya, dan damai sejahtera
dengan rakyat yang tenang dan kuat karena satu sama lain hidup saling
memperhatikan, sehingga tidak ada lagi orang yang merasa memanggul beban berat
sendirian dan hidup dalam stress berkepanjangan.
Kalau saja sejak dulu saya punya
cinta dan bakti sebesar yang Alanis dan Patrice punya. Dan saya sangat
bersyukur sempat memiliki mereka sekalipun tak lama, karena mahluk-mahluk kecil
luar biasa itu memberi saya inspirasi dan keinginan untuk segera mewujudkannya.
Merekalah guru natural saya tentang bagaimana berbakti dan mencinta. Semoga di
luar sana ada banyak orang yang telah memiliki dan mewujudkan devosi itu jauh
sebelum saya menyadarinya. Mewujudkan cinta dan bakti yang waktu demi waktu
terus menggelora bagi ibu pertiwi kita, Indonesia.
Nice thoughts, mbak :)
BalasHapussaya belum pernah berpikir sejauh itu lho. hebat sekali Mbak May sudah ada rintisan jalan ke arah sana. Semoga efeknya bisa tertular ke orang lain ya mbak, semakin menyebar seperti virus sehingga Indonesia semakin kalem dan damai. amin.
Tapi saya percaya mbak, cinta yang kita berikan ke sekeliling kita itu memang seperti virus. Mudah menular. setelah 1000 orang tertular, bukan perkara susah kalau ribuan orang lainnya ingin tertular. Dari yang namanya kesadaran karena disadarkan, hingga kesadaran dari dalam diri sendiri. Dari yang mulai menanam pohon karena malu hati, hingga menanam pohon karena kesadaran sendiri. Dari yang memiliki anak asuh karena malu hati, hingga memiliki anak asuh karena kesadaran sendiri. SUngguh indah ya mbak :)
Semoga kedamaian dan kerelaan cepat bersandar di hati dan sanubarinya Mbak May. Yang kuat dan tabah ya mbak, Tuhan besertamu, beserta negeri ini juga, Indonesia :)
Hal yang juga penting menurut saya adalah mempublikasikan kebaikan-kebaikan yang kita berikan dan atau lakukan untuk negeri kita (meskipun resikonya dianggap congkak dan sombong, sih). Tapi ibarat suluh, nyala kecil itu memang harus ditunjukkan supaya menjadi terang dan syukur-syukur menjalar pada yang lain hingga menjadi obor yang besar.
BalasHapusBtw, quote Lomar 'menanam pohon karena malu hati hingga menanam pohon karena kesadaran sendiri' bagus banget, lho. Kapan-kapan saya 'pinjam', ya:). Terima kasih dukungan morilnya. Saya juga berharap pulih dari rasa duka yang menggerogoti semangat dan kemampuan berpikir ini. Saya rasa Indonesia butuh lebih banyak orang seperti Lomar, yang setia memberikan dukungan pada teman yang sedang membutuhkan. Perhatian dari seseorang akan membuat kita tidak merasa sendirian, dengan demikian kita menjadi kuat dan cepat bangkit. Dan pada akhirnya, inilah yang dibutuhkan Indonesia. Sungguh, Tuhan memberkatimu, Lomar.
Dengan cinta,
Yuanita Maya.