Kalau untuk urusan ketinggalan
berita, saya memang juaranya. Sebab seperti yang dibilang oleh suami, saya ini
punya kebiasaan bengong. Dasarnya? Ya tidak jelas, wong namanya saja bengong:). Yang dipikirkan
ketika bengong apa? Lhah, namanya juga bengong, kalapun mikir ya pasti tidak
ingat yang dipikirkan apa:).
Ditambah lagi saya ini orangnya malas. Betul, apalagi kalau sudah PW alias
Posisi Wuenak. Kalau sudah dapat buku baru, buru-buru saya rampungkan semua
urusan rumah tangga secara serampangan, lalu membenamkan diri dalam bacaan tak
peduli hujan atau angin. Pula tak beranjak ketika suara adzan terdengar sayup
memanggil (ya iyalah, orang saya bukan Muslim:)).
Bahkan kalau sedang berada di depan tivipun (yang mana jarang terjadi, karena
saya nggak suka nonton tivi kecuali untuk acara The Dog Wisperer dan Sponge Bob,
apalagi sekarang Sponge Bob ganti jam tayang pagi-pagi pas saya lagi
repot-repotnya), ganti channel saja saya malas! Kadang-kadang memang saya niat
cari berita. Tapi di antara kesempatan yang jarang tersebut, saya sering mendapati
diri sendiri seakan tekun melihat berita, namun ternyata di tengah jalan saya
merasakan, kok suara pembaca berita terdengar sayup-sayup, ya? Daaaan...…yap,
benarlah, saya mendadak bengong lagi:).
Jadi itulah faktor-faktor kenapa saya sama sekali tak bisa membanggakan diri
dalam hal up date berita atau apalah.
Maka wajarlah kalau kemudian saya
mengalami miskomunikasi akibat dampak penyakit bengong tersebut. Ceritanya ada
sebuah percakapan antara saya dengan seseorang di dumay di mana kami membahas
Foke. Diskusinya biasa-biasa saja hingga saya becanda asal-asalan, begini,
“Hey, bung, anda layak dapat jari tengah, eh, maksudku ibu jari.” Begitu saja.
Eh, tanpa saya nyana si teman sedang sensi, dan parahnya, tanpa teman saya
nyana, saya sedang lemot:).
Jadilah sebuah kombinasi yang kisruh. Lalu si teman memberikan link-link
tentang Foke tengah mengacungkan jari tengah dan link lain betapa acungan jari
tengah adalah sangat kasar bagi ukuran orang bule. Anda pikir saya langsung
ngeh? Beluuummmm…Kan sudah dibilang saya sedang lemot:). Plus selalu ketinggalan
berita, jadi makan waktu lama bagi saya untuk mencerna itu semua (hedeh…jadi
gue memang capek deh:)).
Tetapi singkat kata kesensian si teman dan kelemotan saya terjembatani oleh
bantuan teman lain yang sedang tak sensi pula lemot, dan ujung-ujungnya kami
becanda soal jari tengah.
Di antara itu semua saya berpikir
begini: Foke dengan lugu mengacungkan jari tengahnya di depan publik maka
masyarakatpun bereaksi dengan hebohnya. Tanpa sama sekali bermaksud membela
Foke –buat apa, kenal saja tidak, apalagi jadi tim suksesnya:)- saya berpendapat
bahwa, kenapa kita harus ribut kalau Foke mengacungkan jari tengah atau
jari-jari lain yang ia punya? Sesukanyalah mau berbuat apa, itu kan
jari-jarinya sendiri, karena sejauh yang saya tahu orang Indonesia tidak pernah
punya masalah dengan acungan jari manapun. Kenapa pula kita yang harus
kebakaran jenggot hanya karena orang barat menganggap acungan jari tengah
sebagai bentuk makian atau apalah yang kasar dan tidak sopan? Itu kan urusan
mereka dengan segala budaya dan nilai moral yang mereka punya. Sedangkan mereka
sama sekali tidak ambil pusing dengan standart kesopanan dan tetek bengek yang
kita punya, kenapa pula kita musti tunduk dan dibikin panas oleh nilai-nilai
mereka yang sama sekali tidak ada urusannya dengan orang Indonesia? Kecuali
kita tengah berhadapan dengan mereka, nah, baru kita boleh berhati-hati dengan
jari tengah kita. Intinya, di mana langit dijunjung di situ bumi diinjak.
Sedangkan yang kita injak bumi kita sendiri, kok malah langit orang lain yang
kita junjung-junjung.
Tapi sebenarnya Foke tidak
sendirian di dunia ini, paling tidak masih ada Ibu Tutuk, tante saya Bunda
Maria itu (baca posting ‘Ya Mesthiiii….!!! Agamamu!!!!’). Karena dua cucunya
sudah remaja maka ia pun belajar terma-terma anak muda supaya tidak dibilang
jadul. Suatu hari ia bertanya pada anak perempuannya, Divi, demikian: “Div,
fu*ck you itu apa, sih? Kalau what the hell?”. Divi berusaha menjelaskan sebaik
mungkin tanpa menyinggung-nyinggung makna kata ‘f*ck’ secara literer itu apa,
demikian: “F*ck you itu makian, Bu. Kita
pakai kalau ada orang yang bikin marah atau jengkel sampai ke ubun-ubun. Blablabla.
Kalau what the hell itu begini-begini-begini.” Bu Tutuk puas dan Divi menyangka
kisah berhenti sampai di sini. Ternyata beberapa waktu berikut, Bu Tutuk curhat
pada anak perempuan semata wayang tersebut begini: “Div, kamu tau nggak Bu itu,
yang rumahnya di sana, yang punya usaha anu. Dia ini begini-begini-begitu-begitu,”
demikian Bu Tutuk berkobar-kobar dan mengakhiri kisah dengan, “Pokoknya Bu itu
benar-benar f*ck you! Nggak ada orang yang lebih what the hell daripada dia!”.
Divi melongo sehebat-hebatnya, berseru, “Ya ampun, Ibuuuuu….bukan seperti
itu!”, lalu berusaha menjelaskan sekali lagi penempatan dua frasa tersebut
dengan sabar dan perlahan. Tapi Bu Tutuk malah ngomel-ngomel, “Lho, kamu kan
dulu ngajarin begitu! Sekarang malah Ibu yang disalah-salahkan,” dan sebagainya.
Semua itu diakhiri dengan kesimpulan Bu Tutuk yang sangat sepihak: Divi sengaja
mempermainkan orang tua.
Saya cekikikan tak henti-henti
mendengar kisah ajaib di atas. Bayangkan, komunikasi yang baik antar anak dan
orang tua bisa berakhir demikian kisruh lantaran si ortu terlalu jadul. Jadi
begini asumsi saya: bisa jadi Foke tak pernah mendengar info apapun tentang
jari tengah dari anak atau cucunya. Bisa jadi pula Foke pernah mendengarnya,
tapi tidak sepenuhnya paham lantaran terlalu jadul seperti Bu Tutuk tadi. Tapi
lepas dari semuanya, bayangkan jika kita begitu khawatir dengan dampak umpatan orang
bule terhadap moral generasi tua, lalu kita kumpulkan semua simbah-simbah
(paling tidak yang sempat mengalami jaman PKI) dalam sebuah seminar dengan tema
‘Bagaimana Menempatkan Kata ‘F*CK YOU’ dan Jari Tengah Secara Elegan’. Lalu
pada saat ice breaking, Kakek dan Nenek para peserta seminar tersebut berlatih
dengan saling mengacungkan jari tengah satu sama lain, persis Mr. Bean ketika
pertama kali menjejakkan kaki di Amerika. Hehehe…
Di lain pihak, saya bisa
membayangkan kericuhan yang terjadi sebagai dampak dari jari tengah Foke yang
teracung tersebut. Lha wong foto jari tengahnya yang teracung itu saja dilingkari
bahkan sampai dibuatkan link segala, ya pasti besarlah dampaknya. Dan saya
terheran-heran dibuatnya. Benar-benar heran, bahkan sampai sekarang. Heran,
mengapa beberapa dari kita sampai mau-maunya dibikin ribut hanya karena
standart orang lain, seakan kita tidak punya standart sendiri. Saya jadi ingat
Kapten Haddock yang pemarah di komik Tintin. Suatu hari ia berpetualang ke
Tibet dan jadi naik pitam bukan kepalang ketika sekelompok anak Tibet
meleletkan lidah kepadanya. Herge menggambarkan adegan baku lelet lidah dan
muka Kapten yang kian merah dari kotak ke kotak dengan sangat lucu, sampai saya
terus terpingkal-pingkal meski sudah beberapa kali membaca dan mengamati
gambarnya dengan cermat. Kapten pemabuk tukang ngamuk yang memikat ini
tersinggung bukan main, padahal itulah cara orang-orang Tibet menguluk salam.
Pasalnya ia membawa perspektif bulenya tentang leletan lidah terhadap orang tak
dikenal yang dianggap menghina, di Negara Tibet yang menjadikan leletan lidah sebagai
ekspresi hormat. Di sini dengan sangat cerdas Herge menggambarkan kesombongan
budaya barat yang menganggap standartnya musti diamini dan imani oleh kelompok
manusia lain, padahal ia berada di tanah dan rumah kelompok manusia lain
tersebut (meskipun itu kesimpulan saya sendiri, sih:)).
Dengan cara sebaliknya, kehebohan
soal acungan jari tengah Foke menunjukkan betapa rendah dirinya kita sebagai
bangsa. Apa-apa yang diyakini orang barat kita –sebagian lho, ya- anggap
sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun sejak sebelum jaman Majapahit orang
Indonesia sama sekali tidak menganggapnya penting. Kalau marah dan ingin
dianggap keren dalam waktu yang bersamaan, kita memaki, “F*CK!” atau “Son of a
b*tch!”. Jadi ingat teman adik saya. Suatu hari ia dan teman-temannya berantem
dengan anak-anak dari SMA lain yang favorit di kota Semarang. Baku hantam
berlangsung seru tanpa melibatkan senjata tajam. Kemudian salah satu anak SMA
favorit tersebut melayangkan tinju pada teman adik saya sambil memaki dengan
lantang, “SON OF A B*TCH!!!!”. Teman adik saya, terkapar oleh bogem mentah,
berseru tak terima dengan sama lantangnya, “ANJ*NG!!! BERANI KAMU BILANG AKU
SANDAL JEPIT???!!!”. Saya tidak tak tahu apakah baku hantam terhenti gara-gara
adegan ini dan membuat para peserta terpingkal-pingkal, lalu malah jadi
bersahabat setelah puas tertawa. Tapi yang jelas saya bukan hanya
terbahak-bahak, melainkan juga kagum oleh orisinalitas tiada dua ini. Dengan
pengetahuannya yang nol besar mengenai makian a la bule, teman adik tersebut
benar-benar melawan arus, di mana ada banyak anak muda atau orang dewasa yang
sama sekali tak fasih bahasa Inggris tapi menguasai betul makian orang-orang
barat nun jauh di sana dan mengucapkannya dengan ekspresi sok kul yang sangat
bangga. Saya beberapa kali melihat orang yang bertingkah seperti itu dan
mengelus dada dibuatnya. Sama-sama memaki, sama-sama melakukan tindakan tak
terpuji, kenapa juga tidak mengambil kata makian dari bahasa ibu sendiri, yang
esensinya jauh lebih kena di hati? Walaupun dengan cara yang salah, tetap saja
itu namanya percaya diri.
Dan bagi saya secara pribadi,
memaki dalam bahasa ibu jauh lebih agung ketimbang dibuat resah oleh cara orang
barat –atau manapun juga- mengacungkan jari dan sebagainya. Menjadi diri
sendiri memang bukan perkara yang gampang. Menjadi Indonesia jauh lebih sulit
lagi, apalagi sekarang bauran komunikasi dan informasi kian tak terbendung.
Tetapi Tuhan telah menciptakan kita menjadi orang Indonesia, maka mau tak mau,
suka tak suka, kita harus menjadi Indonesia. Kalau tak mau, kalau tak suka, ya
lebih baik pindah Negara dan kewarganegaraan saja, dengan catatan kalau ada
yang mau menerima. Sebab menjadi Indonesia adalah salah satu tiang utama bagi
Negara ini untuk menjadi kuat. Dan menjadi Indonesia yang kuat dan tangguh
musti diawali dari rasa percaya diri yang berangkat dari nilai-nilai kita
sendiri. Ini adalah variabel yang sama pentingnya dengan mengikis
primordialisme dan membuang jauh perspektif budaya induk ketika berhadapan
dengan saudara sesama bangsa Indonesia dari lain wilayah dan budaya, serta
penguatan akar budaya dan tradisi pada anak-anak kita (baca dua posting saya
sebelumnya, “Orang mana ngana, Yuanita?” dan ‘Negeri Seribu Bahasa’).
Tiga kesatuan tunggal ini (menurut rumusan yang saya buat sendiri. Sebenarnya ada empat, tapi yang
terakhir baru akan saya jelaskan di posting berikut supaya anda penasaran dan
balik lagi ke sini, hihihi…) adalah tiang terbesar dalam penguatan rasa
nasionalisme. Dan tiang apakah yang lebih kokoh bagi kekuatan bangsa ini selain
nasionalisme? Nasionalisme membuat kita tak akan goyah digempur oleh rongrongan
apapun baik dari luar maupun dari dalam. Nasionalisme pula yang mendorong kita
untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan Negara.
Saya rindu melihat Indonesia yang
kuat dan jaya. Semoga anda sekalian juga. Kalau ya, marilah kita menjadi
Indonesia. Marilah kita bertutur, bersopan santun, memuji (atau memaki kalau
timingnya pas:)),
bereaksi, memahami, memaknai, dan segalanya, dengan kacamata Indonesia. Dengan
cara Indonesia. Ke-Indonesiaan anda dan sayalah yang menjayakan Indonesia.
Tuhan memberkati anda dan saya, Tuhan memberkati kekuatan Indonesia! (Yuanita
Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
ah, siapalah saya yang bisa dan berhak menghakimi orang lain? hehehe
BalasHapusmemang sich, dalam khazanah kebudayaan kita, simbol jari tengah diacungkan itu nggak ada, yang ada malah jempol yang dikempit diantara telunjuk dan jari tengah. namun, bukan berarti jari tengah itu tidak memiliki makna tersendiri di negara ini. semenjak lama, terutama dengan masuknya budaya barat mulai dari film-film dan bukunya, masyarakat kita sudah cukup paham mengenai makna jari tengah tersebut. penetrasi kebudayaan ini membuat kita mengerti apa arti jari tengah tersebut. sesuatu yang kurang ajar lah yah....kalau sudah begini, rasanya bukan hak kita untuk menghakimi bahwa kebiasaan jari tengah tersebut tidak bercirikan budaya asli kita. well, menurut saya sih kita tetap harus nasionalis namun juga harus realistis. mungkin kisah Kapten Herge itu sama dengan Mbak May yang tersungging karena diminta goyang saat disuguhkan teh manis. hihihi....
di lain kala, saya sedang reuni dengan teman teman saya dan pada saat berfoto, saya membuat gerakan V tanda victory namun saya letakkan di sekitar mulut. dua dari teman saya yang totalnya 5 orang tersebut, berkomentar bahwa tanda tersebut tidak pantas karena mengisyaratkan alat kelamin wanita dalam kebudayaan barat. namun, saya dan 2 orang teman saya yg lain tidak tahu mengenai arti simbol tersebut. terlepas dari 2 orang tsb memang banyak bergaul dengan orang bule, dan saya dan dua temen sisanya ini yang kuper, saya berpendapat, ah cuek saja. toh, dua orang tahu, dua orang tidak tahu. bukan masalah besar rasanya. rasanya, kalau saya pikir2, nggak tau menjadi lebih baik, daripada tahu. masak iya harus terus menerus mengikuti semua bentuk kebudayaan di dunia agar bersikap hati hati dan selalu senonoh? trus...saya nggak boleh meleletkan lidah, walaupun berada di Nepal, karena saya beraliran barat, misalnya? saya harus bilang wow gitu? hihihi...
saya sih setuju setuju saja dengan konsep nasionalisme, berkaitan dengan hal-hal pujian, makian, dsb itu. beberapa tahun yang lalu saya bahkan nggak tahu kalau istilah janc*k yang kalau dibaca oleh orang Jawa Timuran bisa menjadi Jiiiaannnnnnccc******kkkkkkk saking kuesellllnya hehehehe. saya menyebutnya dengan santai dan temen saya yang asal Jawa Timur menegur saya hahahaha. yah, ini mungkin berkah (dan sekaligus bencana kalau nggak disikapi dan dikelola dengan arif) karena negeri ini punya beragam suku dan bahasa serta dialek. atau Urang Bandung, atau Bogor yang notabene nggak jauh dari Jakarta, makiannya bisa berupa "Bleg* Sia". saya yang nggak tahu, bisa saja menyebutkan kata kasar ini dengan santai, trus tiba-tiba saya digampar oleh Urang Sunda...hahaha....
setuju mbak May, setuju sekali soal menjunjung langit dimana bumi dipijak. lebih penting lagi untuk mencari tahu segala sesuatunya termasuk kemungkinan terjelek soal bahasa makian. hehehe. tapi balik lagi, terkadang, ketidaktahuan justru membuat posisi kita lebih diuntungkan. iya ngga kira kira?
Kok malah jadi diskusi soal makian? Hihihi... Siapa bilang ketidak tahuan membuat posisi kita lebih diuntungkan? Paling tidak buat Kinasih, putri saya. Suatu hari ia bermain game di tengah-tengah Papak, Mamak Tua dan Papak Tuanya yang ia panggil Mami Papi (saya sendiri saat itu entah di mana, jadi cuma dengar cerita). Singkat kata, Kinasih kalah bermain game, dan ia enteng berkata, "P*ndo,ley" dengan nyaris tanpa ekspresi. Kontan Papak dan Mami Papinya syok berat kemudian berseru-seru pada saat bersamaan "Hih, so tau mamake ngana,e! Sapa da se ajar pa ngana! Besae' sekali itu mulu! Papi mo rako pa ngana! Mami mo kuti pa tu mulu! Papak mo ajar pa ngana!" dsb (Sudah bisa memaki kamu, ya! Siapa yang ngajarin? Jelek sekali mulutnya! Papi pukul kamu! Mami sentil mulutmu! Papa hajar kamu!, dll). Kinasih kaget bukan kepalang dan menangis sekeras-kerasnya. Ternyata memang dia sama sekali tak tahu maksud itu semua apa, yang dia tangkap hanyalah itu sebuah ekspresi kekesalan. Entah dia dapat dari mana, hahaha.... Lebih lucu, waktu Maminya Kinasih crita dia bilang, "Kasih tau Kinasih jangan bicara kasar itu 'perempuan punya' ya". Saya bingung, "Lho, p*endo itu perempuan 'punya'? Selama ini kita pikir laki-laki 'punya'". Hihihi... emak dan anak sama nggak nyambungnya.
HapusPssstt... semua makian yang disensor tadi tulis lengkapnya, dong, hihihi....
"Oberigado" kata saudara saudara kita yang tinggal di Kefamenanu dan Atambua :)
BalasHapusArtinya apa? Makian bukan? Kok tak disisipi bintang?:).
Hapus