Senin, 01 Oktober 2012

Bersatu Tetapi Tetap Beda




Kabarnya di dunia ini ada sekitar sepuluh ribu bahasa, dan hampir sepuluh persennya –yakni tujuh ratus tiga puluh sekian- disumbang oleh Indonesia. Itu yang ketahuan, karena masih banyak lagi wilayah lingual yang belum tereksplorasi di negeri luar biasa kebanggaan saya ini. Bau-Bau ini saya ada urusan di Baru-Baru. Eh, salah. Baru-baru ini saya ada urusan di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara:). Mengapa daerah ini disebut demikian saya tidak tahu pasti, yang jelas saya tidak berani mengendusi penduduknya satu demi satu untuk membuat kesimpulan:). Dan saat mengobrol dengan seorang penduduk asli yang terdidik dengan baik, saya mendapat informasi bahwa wilayah Sulawesi Tenggara memiliki sedikitnya 70 bahasa daerah. Ya, T-U-J-U-H P-U-L-U-H bahasa daerah. Dan kalau anda pikir bahwa di sana Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu yang digdaya, maka anda salah terka, persis seperti saya sebelumnya. Karena ternyata mereka punya bahasa pemersatu sendiri, yakni Bahasa Wolio, yang sudah eksis jauh sebelum Bahasa Indonesia resmi dinyatakan sebagai bahasa Nasional. Bahkan ada sebuah suku di sana dengan bahasa yang memiliki banyak sekali kesamaan dengan Bahasa Korea, sehingga ini mengundang minat para ahli bahasa dari Korea untuk membuat penelitian di sana. Namun hingga tulisan ini diturunkan, misteri yang membentuk kesamaan tersebut belum jua terkuak.

Sekalipun kali ini saya bicara soal bahasa, namun postingan ini masih ada kaitan dengan posting sebelumnya. Untuk itu saya perlu mengisahkan kali pertama saya mendarat di tanah Sulawesi Utara. Ketika itu saya masih dalam keadaan bunting, merasa sangat tidak nyaman karena pinggang dan perut sakit -belum terhitung tekanan udara dalam pesawat-, terkatung-katung di bandara karena pesawat tertunda dalam rangka cuaca buruk selama sekian jam, dan baru mendarat sekitar jam dua malam. Total waktu yang saya habiskan sejak pesawat meninggalkan Semarang hingga tiba di Manado adalah sekitar 15 jam. Pokoknya sesuatu banget, deh. Saya dan suami dijemput oleh kakak ipar dan suaminya yang tinggal hanya sekitar sepuluh menit dari bandara, dan ketika saya tiba, semua orang yang ada di rumah bangun untuk menyalami saya dengan wajah ngantuk yang gembira. Saya –nyaris pingsan karena kelelahan- hanya bisa duduk terpekur dan sekuat tenaga berusaha menampilkan senyum ramah, mengingat mereka bela-belain menginap di rumah kakak ipar tersebut hanya untuk menyambut kedatangan saya. 

Teh hangat yang harum menggoda terhidang di meja, namun sebagaimana pantasnya orang Jawa saya diam dengan sabar menunggu dipersilakan. Tapi betapa terperanjatnya ketika salah seorang dari keluarga suami berkata, “Goyang, jo.” Darah diam-diam naik ke kepala (darah memang biasanya mendidih lebih cepat pada orang hamil yang kelelahan dan nyaris pingsan:)), dan saya bisa merasakan wajah saya panas karena rasa tersinggung. Batin saya, sudah bunting, kelelahan, terkatung-katung selama belasan jam, eh, datang-datang malah disuruh goyang. Saya diam saja, berjuang keras meredakan amarah, namun lagi-lagi seseorang berkata, “Goyang, jo, lalu minum.” Ini sudah keterlaluan, kata saya dalam hati sambil mengumpat. Masa untuk secangkir teh hangat saja saya disuruh ngibing dulu, apalagi kalau saya dapat cemilan kaviar? Apa mereka bakal menyuruh saya striptease? Karena rasa tersinggung sudah sampai ke ubun-ubun, maka saya naikkan pandangan yang tak ramah, dan tampaklah bahwa mereka saling celingukan dengan tampang bingung. Untung suami saya menyambar cepat, “Goyang maksudnya aduk, supaya gula tercampur.” Astaga! Saya hanya bisa kembali menurunkan pandangan lekas-lekas, dan menyeruput teh diam-diam untuk menutupi rasa malu. Untung saja orang-orang Manado ini terlalu cuek untuk menyadari kebodohan kultural saya. Peristiwa itu membuat saya bertekad untuk lebih berhati-hati dalam bereaksi, sekalipun itu dalam hati. 

Namun rupa-rupanya bukan hanya keledai yang terperosok dalam lubang yang sama. Ini kali terjadi ketika saya diajak jalan bertiga oleh suami dan sahabatnya, seorang Cina Manado, pebisnis muda yang tampan dan menarik, dan menyesaikan SMP dan SMA di Singapura dan kuliah di Amerika. Namanya juga orang berpendidikan baik, maka wajarlah jika ia adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Kami sudah sering berjumpa, karena ia boleh diibaratkan ‘istri kedua’ suami saya (istri pertamanya gitar, istri ketiga dan berikut adalah kuas, komputer, dan lain-lain, sedangkan saya entah istri keberapa:)). Saya senang dengan anak muda yang waktu itu berumur sekitar 26 tahun tersebut karena wawasannya luas, pekerja keras, sikapnya membumi dan optimistis, ramah, dan pilihan katanya selalu baik. Namun rasa suka saya teruji saat tiba waktu memesan menu, dimana ia memanggil waiter dengan cara demikian, “Sst, cewek! Cewek!”

Simpati saya runtuh seketika itu juga. Bagaimana mungkin seseorang yang kuliah di Amerika dan sebagainya bisa berkelakuan tidak ubahnya pengangguran yang suka nongkrong di jalanan di pulau Jawa, dan menggoda tiap gadis yang lewat dengan tampang mesum menjijikkan? Rasa muak tersebut dipertajam dengan simpati saya pada waiter, yang saat dipanggil ‘cewek’ dengan tidak hormat tetap melayani dengan sikap baik. Betapa kebutuhan hidup memang seringkali membuat orang terpaksa membuang harga diri, demikian ratap saya dalam hati atas nama perikeperempuanan. Maka sepanjang sisa waktu saya sama sekali tak mengeluarkan sepatah katapun kecuali bila ditanya, itupun seperlunya, dengan nada dingin pula. Bisa jadi kelakuan saya membuatnya merasa tak enak atau apa, karena waktu kami berjalan di parkiran saya dapati diam-diam ia menarik suami saya dan berbisik-bisik. Saya memalingkan pandangan, pura-pura tak melihat. Lebih tepat, sama sekali tidak peduli dengan apa yang ia katakan atau lakukan, karena saya benar-benar merasa jijik.

Sampai di rumah, suami saya menegur kelakuan saya tadi dengan nada hati-hati, karena kian besarnya kandungan membuat saya kian mudah tersulut emosi. Keruan saja amarah yang sejak tadi saya pendam tersembur bagaikan asap Gunung Soputan. Begitu emosinya sampai-sampai suara saya gemetar. Tak dinyana suami saya justru tertawa cekikikan. Saya menyipitkan mata tanda geram (maksud saya kian menyipitkan, karena mata saya kan sudah sipit dari sononya:). Di tengah derai tawanya, ia menjelaskan bahwa, “Memang begitulah cara orang Manado menyapa perempuan muda yang tidak dikenal. Kalau laki-laki mereka sapa ‘cowok’.” Saya menyanggah keras sambil memandangnya dengan tatapan hina,”Nggak usahlah kamu tutupi kelakuan sahabatmu itu! Kamu pikir aku nggak tau sapaan Nyong dan Nona??!!”. Suami saya tambah tergelak-gelak, dan sambil mengusap air matanya berkata,”Terserahlah kalau nggak percaya. Buktikan saja sendiri kalau lagi jalan di pertokoan atau di mana. Makanya jangan kebanyakan bengong.” Dan ternyata setelah saya buktikan esoknya, penjelasan suami saya ternyata benar adanya dan bukan semata dusta untuk menutupi kelakuan tengik sahabatnya. Saya benar-benar malu dan merasa tak punya muka lagi untuk menemui sahabat suami saya tersebut. Tapi rupa-rupanya dia dengan mudah melupakan ketidak sopanan saya, karena dua malam berikutnya ia kembali mengundang kami makan di luar dan tetap mengajak saya mengobrol dengan ceria seakan tak terjadi apa-apa.

Setelah itu saya benar-benar kapok dan tak mau jadi keledai untuk kedua kalinya. Bukan hanya bersikap hati-hati, namun lebih jauh saya lepaskan kerangka pikir saya sebagai orang Jawa yang selama puluhan tahun tinggal di Pulau Jawa, dengan bahasa dan implikasinya yang secara sosial dan budaya seringkali sama sekali berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Dan ini lebih dari sekedar menguasai Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan secara baik dan benar. Karena bahasa bukan semata-mata struktur atau kosakata, melainkan lebih dari itu adalah ekspresi dari tatanan dan nilai-nilai sosial. Kita bisa tenang-tenang saja sekiranya tinggal di sebuah negeri dengan satu bahasa, adat, dan budaya. Tapi nyatanya kita tidak tinggal di negeri yang seperti itu. Kita tinggal di negeri dengan seribu bahasa, adat, budaya, cara hidup, tradisi, dan segala rupa yang berbeda. Jangankan bahasa daerah yang memang terbentang jauh antar tiap-tiap daerah, sedangkan memaknai Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan saja tiap daerah memiliki kebiasaan dan nilai sosialnya sendiri-sendiri.

Tidak mudah memang menjadi orang Indonesia. Mudah jika kita hanya tinggal di tempat kita dilahirkan, duduk manis saja di situ tanpa beranjak ke mana-mana sehingga tidak perlu bertemu saudara-saudara dari wilayah Indonesia yang berbeda. Mudah jika kita tidak menggunakan jejaring sosial, yang memungkinkan kita berkomunikasi dengan siapapun dari manapun sudut di Indonesia hanya dengan berdiam diri di rumah. Mudah kalau kita memutuskan untuk menjadi pertapa, sehingga kita tak perlu repot-repot memelajari keunikan karakter saudara-saudara kita dari wilayah lain dan cara mereka mengartikulasikan Bahasa Indonesia dari perspektif mereka. Mudah kalau kita memilih untuk menjadi katak dalam tempurung, sehingga kita tidak perlu susah payah meninggalkan perspektif budaya asal kita saat berhadapan dengan mereka dari budaya yang total berbeda di negeri kita.

Tetapi siapa memangnya yang mau hidup seperti itu, sekalipun itu mudah? Maka masing-masing kita memang tak punya pilihan selain meninggalkan pola-pola primordialisme, termasuk dalam berbahasa Indonesia, saat menjumpai saudara kita dari wilayah yang berbeda, entah kita bertandang ke tempat mereka atau mereka yang bertempat di wilayah kita. Ketika pola primordialisme sudah tanggal, maka yang tinggal hanyalah kesadaran bahwa kita tengah berhadapan dengan orang berlainan etnis yang punya pemahaman bahasa dan budaya sendiri. Dan saat rasa satu Indonesia yang utuh sudah tertanam kuat, kita musti kembali mengingat bahwa bagaimanapun Indonesia dibentuk oleh ribuan hal yang berbeda. Dan inilah paradoks yang paling indah dan menyentuh dari Indonesia, paradoks yang tak ada di Negara manapun di penjuru dunia: semakin kita beda, semakin kita satu. Semakin kita satu, semakin kita beda! Indonesialah yang membuat kita beda, Indonesialah yang membuat kita satu. Luar biasa TUHAN yang mencitakan ribuan perbedaan dan satu persatuan bagi Indonesia! Luar biasa Tuhan yang menciptakan Indonesia sebagai negeri seribu bahasa, seribu cita, dan rasa yang berbeda!

Tuhan memberkati anda dan saya! Tuhan memberkati perbedaan kita bangsa Indonesia!(Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga)


4 komentar:

  1. Tabea Tonaas, om2, kakak2, dan teman2 semua.

    (Mungkin klo mo pake proposal stou terkesan berbelit2 spt birokrasi yang rumit :D)

    Untuk memperkenalkan Budaya kita kepada masyarakat luas lewat website Seni Budaya, maka akan menyelenggarakan lomba blog dan mengajak kerjasama serta partisipasi dengan komunitas seni budaya dan komunitas online Sulut. Berikut rincian susunan acara lomba sebagai berikut:

    Tema Lomba Blog Yayasan Institut Seni Budaya Sulut :

    'Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya'

    Demi mo jaga deng iko melestarikan Seni Budaya yang ada di Sulawesi Utara. Yayasan Institut Seni Budaya Sulut bersama komunitas blogger dan komunitas Adat Seni Budaya Minahasa mo beking website Seni Budaya kong mo undang samua komunitas blog, pelajar dan masyarakat luas for iko Lomba Blog tentang Seni Budaya yang ada di Sulawesi Utara.

    Depe ketentuan sebagai berikut :
    - Tema : 'Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya'
    - Terbuka Untuk Umum (Pelajar, Komunitas dan Masyarakat luas)
    - Platform blog dan jenis domain yang digunakan bebas. (domain TLD, wordpress, blogspot, blogsome, dll)
    - Setiap blog yang di ikutsertakan wajib mencantumkan banner lomba Seni Budaya Kita dan di link ke domain website www.senibudayakita.com
    - Jumlah posting pada blog yang di ikutsertakan terdapat minimal 10 postingan lain.
    - Artikel yang dilombakan menyangkut Seni dan Budaya Sulut (Sharing, Pengalaman, Himbauan, Informasi dan lainnya seputar Seni Budaya Sulawesi Utara)
    - Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia / Melayu Manado /Campuran Manado-Indonesia
    - Artikel bisa disertai foto/gambar tentang Seni Budaya Sulawesi Utara. (foto dan gambar milik sendiri)
    - Panjang artikel minimal 300 kata
    - Blog yang berbahasa Asing diperkenankan mengikuti lomba asalkan artikel yang dilombakan menggunakan bahasa Indonesia / Melayu Manado / Campuran Manado-Indonesia
    - 1 orang hanya berhak mengirimkan 1 artikel lomba (url blog yang dilombakan)
    - Tulisan belum pernah dipublikasikan (baik media Internet/online maupun di media konvensional/offline)
    - Tulisan tidak mengandung unsur SARA/Pornografi/Politik.
    - Keputusan Juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat
    - Dengan keikutsertaan, peserta dianggap telah menerima dan menyetujui seluruh persyaratan yang ditetapkan dalam ketentuan lomba ini.

    *Keikutsertaan Anda, adalah salah satu wujud kepedulian terhadap Seni Budaya Bangsa yang saat ini mendapat berbagai ancaman.

    Jadwal Lomba :
    - Periode pendafaran 1 Oktober s/d 25 November 2012
    - Periode Penilaian 25 November s/d 30 November
    - Pengumuman pemenang 1 Desember
    - Penyerahan hadiah 5 Desember

    Pendaftaran :
    Isi Formulir di web www.senibudayakita.com
    cantumkan :
    - Nama lengkap sesuai KTP/SIM/Kartu Pelajar/Tanda pengenal lain.
    - Alamat Blog
    - Alamat / Link Url artikel yang di Lombakan
    - Nomor Telpon aktif

    *Panitia berhak mendiskualifikasi setiap materi lomba yang diikutsertakan, sebelum, selama, dan sesudah penjurian dilakukan apabila materi yang diikutsertakan tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan

    Tim Juri

    - Freyser Dungus (Blogger - Kawanua Blogger) - me@eserzone.com
    - Arie Tulus (Praktisi Seni Budaya Minahasa - Dosen UNIMA)
    - Green Weol (Aktivis Seni Budaya Minahasa - Mawale Movement Community) minahasa999@gmail.com

    Pemenang Lomba Mendapatkan :
    Juara 1 : Uang Tunai Rp.3.000.000 - Hosting+Domain 1 Tahun - Souvenir Pinawetengan
    Juara 2 : Uang Tunai Rp.2.000.000 - Hosting+Domain 1 Tahun - Souvenir Pinawetengan
    Juara 3 : Uang Tunai Rp.1.000.000 - Hosting+Domain 1 Tahun - Souvenir Pinawetengan
    Juara Favorit I : Uang Tunai Rp. 500.000 - Hosting+Domain 1 Tahun - Souvenir Pinawetengan
    Juara Favorit II : Uang Tunai Rp. 500.000 - Hosting+Domain 1 Tahun - Souvenir Pinawetengan

    *Domain lengkap dengan domain panel dan hosting server amerika - lengkap dengan cpanel.

    Official Partner :
    Kawanua Blogger
    Mawale Movement
    Waraney Wuaya

    Media Partner:
    ManadoToday.com
    BeritaManado.com
    CyberSulutNews.com

    Sponsor:
    Tadulako.Com
    Kain Pinawetengan

    Informasi lebih lanjut
    - web senibudayakita.com
    - Twitter (@SeniBudayaKita)
    - Facebook www.facebook.com/senibudayakita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Doe so, nintau kote so dua kali Mawele Movement ada beking pengumuman pa kita pe web ini. Terima kasih ne. O iyo mo tanya kote, tu depe penilaian utama ada pa depe kualitas artikel kita ada mo iko akang lomba atau pa penataan blog secara keseluruhan? Terima kasih, ne.

      Hapus
  2. hehehe....masih nggak jauh dari tema sebelumnya yach, yakni tentang primordialisme :D

    Tapi saya bersyukur bahwa Mbak May bisa mendapatkan pencerahan tentang ke-Indonesiaan dari kejadian-kejadian tersebut. bagaimana ceritanya kalau Mbak May nggak pernah mendapatkan pengalaman Keindonesiaan tersebut? lebih kasian lagi (oh kasiaaaannn) orang-orang yang seperti Mbak May sebutkan, tinggal di satu tempat saja sepanjang hidupnya, tanpa punya kesempatan untuk keluar dan berinteraksi dengan dunia luar, dan mempercayai apa yang diterimanya begitu saja, tanpa pernah merasakan pengalaman keIndonesiaan tersebut. Untung saja kalau wawasannya masih luas dan masih mau maju. Namun apa kabarnya mereka yang tidak pernah merasakan pengalaman keIndonesiaan tersebut namun berubah menjadi menutup diri dan menjadi radikal. Katak dalam tempurung istilahnya kali yach, namun keras dalam memaksakan sesuatu yang dipercayainya dan tidak mau menerima informasi atau perubahan dari dunia luar. mungkin itu yang dialami teman-teman kita yang beraliran radikal dan keras kali yach mbak? Mempercayai apa yang mereka terima sebagai sesuatu kebenaran mutlak tanpa mencoba mengkritisi kebenaran tersebut atau memiliki peluang untuk mengkritisi kebenaran tersebut.

    sedikit mengutip salah satu ayat yg tiba tiba terlintas (saya bukan religius dan tidak akan pernah jadi bisa...hahaha), intinya, berbahagialah mereka yang melihat dan percaya, namun lebih berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya! hmm...kadang-kadang sudah melihat saja sukar untuk mempercayai, apalagi sampai tidak melihat namun percaya! keajaiban bukan? Nah, bersyukurlah mereka yang pernah merasakan pengalaman KeIndonesiaan tersebut dan memiliki pandangan yang luas dan terbuka, namun lebih berbahagia tentunya mereka yang tidak pernah namun pikirannya terbuka. saya sich nggak yakin bahwa paham ini adalah paham terbaik yang ada di seluruh dunia, namun yang jelas, paham ini mendatangkan kebaikan, saya rasa :)

    ohhh kasian lagi, mereka yang menolak mentah mentah faham budaya luar, padahal budaya Indonesia sendiri begitu beragam. Urang Sunda punya geol dan goyang, Orang Gayo punya Tari Saman yang memikat, Orang Kulawi memiliki seni budaya bambu dengan rok susun bertumpuk yang mengingatkan saya akan penduduk Filipina atau kepulauan Polinesia, Orang Papua bahkan nyaris telanjang dengan hanya mengenakan Koteka atau Rumbai-rumbai saja. Dayak Kaharingan masih menerapkan agama tradisional dalam kehidupan sehari-hari, berpadu dengan agama nasrani atau hindu yang mereka anut, sementara Orang Bali memiliki pesta kebudayaan cium pada remaja yang akil balik! Hmm....haruskah kita bersusah payah menahan produk kebudayaan luar sementara di tetangga kita sendiri di Indonesia yang kaya tercinta ini saja kebudayaan ragam yang kita miliki luar biasa banyaknya? kembali ke diri masing-masing sajalah, nggak usah pakai front tertentu untuk melindungi sesuatu #jadi-curhat ihihihihi

    BalasHapus
  3. Iya, bergaul dengan banyak etnis dan berkelanan rupa Bolang memang potensial membuka wawasan untuk menuju pendewasaan (halah). Tapi tergantung juga, kalo dari awal memang narrow minded sih ya mungkin butuh waktu lama sekali untuk mencapai level itu sekalipun sudah banyak gaul.
    Btw, soal kemampuan menyerap pengaruh luar sebetulnya sudah saya siapkan untuk materi posting yang akan datang. Lomar kok hobinya becanda jelek gitu, sih?:).

    BalasHapus