Kamis, 27 September 2012

“Orang mana ngana, Yuanita?”


 Kali ini orang Minahasa atau Manado benar-benar membuat saya patah hati. Meskipun hanya beberapa namun rasanya tetap saja seperti dikhianati. Jadi ceritanya begini: sebagai orang yang gaptek dan malas pula, maka satu-satunya jejaring sosial yang saya gunakan adalah Face Book, karena boro-boro pakai Twitter dan sebagainya, sedangkan YM-an dan skype saja ini hari bisa besok kembali lupa. Dan karena sejak mengelola www.indonesiasaja.com mendadak banyak orang yang tertarik mengajak saya berteman, maka sebagai dampaknya banyak dari antara mereka yang menjebloskan saya ke grup ini atau itu. Mau tak mau saya ikuti semuanya dengan tekun dan seringkali penuh dedikasi, biasanya karena postingan yang menarik dan alasan selebihnya adalah karena saya tak tau bagaimana cara keluar dari grup. Anda boleh tertawa, tapi saya sama sekali tidak berdusta. Dari sekian grup ini yang paling banyak adalah grup orang-orang Sulawesi Utara (mungkin karena saya sering menggembar-gemborkan pesona Minahasa di web yang saya kelola).

Beberapa bulan lalu, di awal-awal saya mengikuti sebuah grup kumpulan orang Minahasa, saya mengikuti sebuah diskusi di mana saya melontarkan pendapat yang sama sekali melawan arus. Reaksi anggota grup lain kontan saja heboh dan saya mendapat serangan dari kiri kanan, yang mana sama sekali tidak saya pusingkan, karena berbeda pendapat toh biasa saja dalam sebuah Negara demokratis, lagipula mereka juga menyerang saya dengan kata-kata yang sopan. Jadi sejauh itu tak ada masalah, kendati perdebatan kian sengit. Tiba-tiba munculah seseorang (dengan menyamarkan nama dan identitas diri, yang sama sekali tidak saya hargai) bertanya: “Orang mana ngana, Yuanita?”. Saya tidak segera membalas, karena terus terang tidak tahu maksudnya apa. Apa hubungannya dengan topik yang sedang dibahas? batin saya sambil menjawab komen-komen dari orang lain dan menganggap sepi pertanyaan aneh tersebut. Dicuekin rupanya membuat orang tersebut jadi sebel, dan ia kembali mengungkit soal ‘orang mana’. Bahkan lebih jauh ia mengolok-olok nama saya dan blablabla. Karena tidak mau merendahkan harga diri dengan bersilat lidah a la kaum patah pinsil alias tak makan sekolahan macam yang ia tawarkan, maka saya katakan saya tidak sudi menanggapi omongan tak bermutu dan mendiskreditkan semacam itu, dan saya tetap teguh dengan pendirian hingga akhirnya ia bosan sendiri. Kisah berakhir begitu saja dan dengan segera saya melupakannya.

Tapi takdir membawa saya untuk membawa kisah tersebut kembali ke permukaan ingatan. Sekali lagi dalam sebuah diskusi saya mengajukan pendapat yang sungguh menentang arus utama, dan kali ini bukan hanya seorang, namun beberapa mengajukan pertanyaan sama: “Orang mana ngana, Yuanita?”. Itupun masih mending, karena ada pula yang begini, “Yuanita ini pasti dari tanah seberang, blablaba,” dengan intensitas sinisme primordialis kian berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah peserta diskusi.  Pilihan kata yang mereka ambil pun sama sekali tidak pantas untuk dipergunakan dalam ranah publik, entah dalam ranah nyata maupun maya. Saya protes keras. Saya tangguhkan topik diskusi semula dan hanya fokus pada rasa kedaerahan yang sempit. Namun rupa-rupanya saya menghadapi kepala-kepala yang sangat keras dan mata yang tidak mampu melihat lebih jauh dari ujung hidungnya sendiri. Perdebatan berakhir nanggung.

Sudah usai? Belum. Kali ini saya mengamati sebuah postingan, di mana seorang anggota hendak menggelar acara budaya di Sulawesi Utara, yang mana merupakan tindakan yang sangat terpuji dan layak mendapat dukungan penuh dari pihak manapun. Namun insan Minahasa yang berbudi luhur karena sangat peduli dengan kelestarian budaya ini, pada akhirnya–sangat disayangkan- mencederai dirinya sendiri. Sebab ketika ia gagal menemui seorang yang memiliki kapasitas penting, ia berkata kira-kira, “Maklumlah kalau tak peduli, ia kan orang tanah seberang.” LHAH, APA HUBUNGANNYA???? Sedangkan menemui ketua RW saja perlu pakai janji, apalagi kepala instansi itu atau ini. Boleh saja langsung datang tanpa ada janji temu, tapi kalau di tempat tidak mendapati orang yang dicari ya jangan marah-marah. Apalagi etnis dibawa-bawa. Kenapa tidak sekalian saja bawa-bawa agama, almamater tempat ia menuntut ilmu, guru-gurunya, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, golongan darahnya, kata-kata mutiara favoritnya, dan sebagainya?

Cukup sampai di sini? Belum sama sekali, bahkan yang ini lebih parah lagi. Suatu hari saya membuat posting soal superioritas tempe dan betapa pentingnya kita menghidangkan tempe di meja makan sesering mungkin. Kalau ada di antara anda pembaca yang menebak adanya komentar, “Tempe itu buatan orang Jawa, orang tanah seberang, jadi ngapainlah blablabla,” maka berarti anda soulmate sayaJ. Karena memang demikianlah yang terjadi, dan saya sama sekali tidak berdusta. Pertama, seseorang mengatakan bahwa tanah Minahasa dikaruniai keragaman kuliner, diantaranya tinutuan (bubur Manado) yang penuh gizi dan lezat. Saya sama sekali tidak mempertentangkan hal ini, apalagi faktanya tiga hari saja tidak makan tinutuan saya bakal sakruan (sakit karena rindu tinutuan)J. Saya adalah warga Negara Indonesia yang sangat bangga dengan derajat keragaman kuliner kita yang tak bisa ditandingi Negara manapun, dan saat mendapat kesempatan pesiar ke suatu daerah saya sama sekali tidak sudi makan makanan Jawa atau negara lain dan hanya mau makan makanan setempat, baik hidangan utama maupun kudapannya. Namun kampanye mengenai tempe ini tentu adalah perkara yang sama sekali lain dengan kekayaan kuliner lokal. Ada dua komentar yang membuat saya demikian sedih sampai rasanya teriris-iris. Yang pertama demikian intinya: “Kenapa pula kita mau dijajah oleh orang-orang dari tanah seberang? Kita makan dagangan mereka, kita yang keluar duit, mereka jadi kaya, daerah mereka yang jadi maju, sementara kita begini-begini saja.” (Dalam hal ini ada perkara yang meresahkan banyak orang, termasuk saya, yakni penggunaan kedelai import. Saya akan membahasnya dalam posting lain bila data yang saya perlukan sudah mencukupi). Komentar di atas demikian ajaibnya sehingga saya saat ini sama sekali tak tahu harus menuliskan apa.  

Yang kedua tak kalah mengiris, demikian kira-kira,”Makanan Minahasa enak dan tak kalah bergizi. Lalu kenapa kalau tempe dipilih jadi makanan terbaik versi WHO? Terus gua harus bilang wow, gitu?”. Saya menanggapinya demikian, kira-kira: ”Kenapa kita harus mempermasalahkan siapa yang menciptakan tempe? Tak peduli Jawa atau  manapun, bukankah mereka juga bagian dari Indonesia? Apakah ketika Borobudur dimasukkan sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia, anda sekalian merasa bangga atau justru berkata, ”Ah, itu kan buatan orang Jawa. Terus gua harus bilang wow, geto?””. Sampai di sini tak ada yang menanggapi kalimat pedas saya. Dan syukurlah, karena saya benar-benar telah murka. Amarah tidak akan begitu mengganggu perasaan seandainya saya tak merasa sedih. Dan sayangnya justru perasaan itulah yang lebih menguasai diri saya. Pertama, saya sangat mencintai Minahasa (atau Manado atau Sulawesi Utara, terserahlah anda menyebutnya) dengan segala isinya. Jadi sangat menyakitkan ketika saya berbeda pendapat kemudian etnis saya dibawa-bawa. Kedua, apakah kita hanya punya hak untuk mencintai segala sesuatu yang hanya berkaitan dengan etnis kita? Apakah jika kita berbeda etnis maka kita tak berhak berbeda pendapat? Apakah kita tak boleh memakan, menggunakan, mengonsumsi, atau apapun yang merupakan kreasi etnis lain? Apakah kita harus menyediakan diri selama 1x24jamx365harixseumurhidup untuk orang-orang dari etnis lain, jika tak ingin dikatai, “Maklumlah kalau nggak peduli, toh dia dari tanah seberang.”? Apakah kita musti menyediakan diri untuk dicemooh dan dihina karena etnis kita berbeda? Lalu apa bedanya itu semua dengan mempersiapkan diri menjadi bulan-bulanan Roma Irama? Lhooo??? Salah:). Itu baru etnis, karena agama juga sering dibawa-bawa oleh beberapa orang Minahasa sempit pikiran ini.

Sesungguhnya, saya sempat mengalami dilema ketika memikirkan isi posting kali ini. Di satu sisi saya sama sekali tidak ingin membuka kekurangan teman-teman saya dari Minahasa (memang tidak semua dan sejauh ini hanya beberapa gelintir), terlebih karena selama ini saya mengenal mereka sebagai orang-orang yang sangat terbuka, ramah tamah, tak memandang sekat dan sebagainya, seperti yang telah saya angkat dalam beberapa artikel saya dalam web ini. Namun di sisi lain saya bisa mengendus adanya gunung es di daratan Minahasa. Dan ini sangat berbahaya. Oleh sebab itu saya menegarkan diri dan bertekad menurunkan tulisan ini, apapun resikonya. Bagi mereka yang gemar membawa-bawa perbedaan etnis dan agama (orang manapun anda), saya katakan: Anda boleh menuduh dan membenci saya sesukanya, dan saya sama sekali tak akan ambil pusing. Bagi saya tak ada yang lebih penting ketimbang mengungkapkan kebenaran, sekalipun itu menyakitkan bagi saya dan lainnya.
Dan kebenarannya adalah:
1.      Kita semua adalah manusia yang terhimpun di tanah dan air yang disebut Indonesia. Dan Indonesia memiliki ribuan suku yang tersebar secara sporadis di tiap jengkal tanah serta airnya. Indonesia pula adalah Negara yang memiliki ratusan agama dan adat istiadat. Singkatnya, Indonesia adalah negeri dengan seribu perbedaan yang tidak dimiliki Negara manapun di dunia ini. Lalu apa yang harus kita jadikan benang merah sebagai pengikat? Tak lain tak bukan adalah rasa Indonesia. Ketika menghadapi perbedaan, baiklah kita mengingat ke-Indonesiaan kita.
2.      Primordialisme sesungguhnya bagaikan pedang bermata dua. Primordialisme yang bijak akan membuat keragaman ini menjadi kekuatan. Sebagai contoh sederhana: kelebihan etnis yang satu menutupi kekurangan etnis lainnya. Hasil alam daerah satu bisa menutupi kekurangan alam wilayah lainnya. Dan sebagainya. Namun jika primordialisme digunakan secara sempit, maka ujung-ujungnya hanyalah sentiment negatif etnikal yang ujung-ujungnya membawa perpecahan. Jauhlah kiranya perpecahan di negeri kita, milik anda dan saya! Setengah mati para pejuang kita berkorban segala rupa dari harta sampai nyawa untuk memerdekakan dan menyatukan Indonesia, sampai hatikah kita merusaknya dengan mencerai-beraikan diri sendiri? Dan apalah artinya Indonesia tanpa anda dan saya, tanpa sekalian rakyatnya? Apalah artinya rakyat jika tak saling bersatu mengisi kekurangan satu sama lain dan justru saling tuding menghujat etnis yang lainnya?
3.      Sebagai bangsa dari sebuah Negara dengan tak terhitung etnis, sudah kewajiban kita untuk mempromosikan atau setidaknya mendukung kreasi dari etnis lain, terlebih jika dilihat dari konteks kebangsaan. Lepas dari urusan impor kedelai yang menjengkelkan itu, marilah kita sedikit mengambil waktu untuk membuat gambaran: di dunia ini ada jutaan keunggulan nabati natural atau olahan. Dan dari waktu ke waktu WHO terus memperbaharui hasil nabati tersebut demi kemaslahatan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Sehingga tempelah yang dipilih di antara jutaan tersebut mustinya menggetarkan sukma kita semua. Sehingga sebuah risalah sains internasional mengatakan ‘Tempe is the most extraordinary gift Indonesia has given to the world’ mustinya membuat jiwa kita gemetar karena bangga. Apakah jadinya jika salah satu dari antara mereka yang menghargai karya spektakuler nenek moyang kita tersebut beretniskan Minahasa dan kebetulan sempit cara pandangnya? Sudah pasti ia akan menggagalkan promosi tersebut dengan mengatakan, “Itu kan buatan orang Jawa. Jadi lo nggak perlu bilang wow, deh.” Apa jadinya jika semua ilmuwan dan para pengambil kebijakan tersebut meributkan kebangsaan dan sub etnis? Orang Amerika akan menjegal keunggulan orang Rusia, orang Indonesia akan menjegal keunggulan produk Belanda, dan seterusnya, dan seterusnya. Namun untunglah mereka orang-orang yang bijak dan luas wawasan dan hanya memusatkan perhatian pada kebaikan umat manusia. Kita orang Indonesia mustinya malu pada mereka, yang jauh lebih tahu menghargai karya orang Indonesia ketimbang kita sendiri!!! (sumpe loh, saya sampai gemetar seakan kena penyakit tremor ketika menuliskan kalimat terakhir di atas saking malu dan geramnya).
4.      Dan ini poin yang menurut saya paling ‘menggigit’: Tanah Minahasa adalah jengkal kecil Indonesia yang sangat terkenal karena kedamaian dan toleransinya, baik toleransi atas keragaman etnis, ras, budaya, agama, dan lainnya. Dan untuk urusan di atas Sulawesi Utaralah tolok ukur Indonesia. Banyak orang bilang, kalau Manado buyar maka buyarlah seluruh Indonesia. Jadi, sekarang kita bisa melihat gambarnya secara jelas, bukan? Kalau di wilayah yang menjadi standart ukuran toleransi dan perdamaian saja masih ada primordialisme picik macam ini, lalu apa kabar daerah-daerah lain di Indonesia, terutama yang selama ini menyimpan bara pertikaian etnis, agama, dan sebagainya? Mungkin ada yang berkomentar. “Ah, jangan lebay do e ngana, Yuanita. Ndhak semua orang Minahasa seperti itu, kasian.” Tapi justru di situlah letak masalahnya! Dalam skema fenomena gunung es, bukankah yang tampak di atas cuma ujung kecil yang tak ada apa-apanya dibanding dengan yang tak tampak di bawah? Maka suka tak suka memang kita semua musti berantas bahaya laten perpecahan ini sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling sederhana tentu dengan dialog. Kedua dengan kampanye. Ketiga dengan pendidikan mental pada diri sendiri dan anak-anak, keponakan, cucu, dan lain-lain. Saya bukan orang yang paling kreatif di dunia, jadi ide saya mengenai pemberantasan bahaya laten di atas ya cuma tiga di atas itu tadi. Selebihnya saya lemparkan pada anda sekalian. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, kasiaaannnn….

Maka jelaslah sudah, bahwa memelihara dan menjaga Indonesia terutama persatuan dan kesatuannya bukanlah perkara yang mudah. Itu membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak, termasuk sekian ratus juta rakyatnya. Dan pintu masuk paling utama dari hal ini adalah melepaskan semua sentimen negatif mengenai etnis, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Merujuk pada poin pertama di atas, yang perlu sekali kita utamakan adalah rasa ke-Indonesiaan kita. Cita dan rasa Indonesia adalah jurus yang paling ampuh untuk melebur semua perbedaan. Dan ketika semua perbedaan itu sudah lebur, maka yang tinggal hanyalah semangat dan kerinduan untuk mencintai Indonesia. Untuk memberi yang terbaik bagi Indonesia. Untuk menghargai karya-karya anak-anak bangsa Indonesia. Untuk membuang jauh segala hal yang bisa meruntuhkan sendi-sendi kekuatan bangsa Indonesia. Kiranya anda, saya, dan kita semua mau melakukannya demi keutuhan bangsa dan Negara kita. Tuhan memberi hikmat pada anda dan saya, Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan rakyat yang bijaksana! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

2 komentar:

  1. wow. saya harus bilang dabelyu, O, dabelyu, W-O-W!!!!!!

    kejutan dari Mbak Yuanita nich. saya sejujurnya juga berpikir bahwa Bangsa Minahasa ini adalah bangsa yang paling toleran se-Indonesia. bukan cuma Mbak May yang bilang tapi banyak lho. entah kenapa, mungkin unsur primordial ini semakin kuat dirasakan karena nggak ada yang menebar bibit persatuan kali ya? sedih dech mbak kalau sudah begini. saya selalu berpikir, primordial sempit ini hanya terjadi di kalangan yang maaf-maaf saja, pendidikan rendah dan kurangnya bersosialisasi dengan etnis dan suku bangsa lain. bisa jadi, semakin banyak bepergian, semakin banyak bersosialisasi, semakin sempit unsur primordial sempit itu karena merasa satu manusia tidak bisa melakukan apa apa tanpa bantuan manusia lainnya. apakah teman-teman yang mbak May sebutkan memiliki ciri tersebut di atas?

    DKI Jakarta, walaupun mulai merintis, namun memiliki sejumlah kalangan yang melek internet dan sudah tidak peduli terhadap primordial yang sempit tersebut. ini terbukti dari terpilihnya Jokowi sebagai pemimpin Jakarta yang non Betawi, tidak punya pendidikan politik dan tata kota, serta wakilnya Cina dan Kristen. di lain pihak, sedihnya, paham sempit tersebut kadang didengungkan oleh mereka yang katanya pemimpin, pemuka agama, atau panutan di masyarakat tanpa mengetahui efek buruknya lebih jauh. walau DKI Jakarta dan kebanyakan teman-teman saya sudah saya rasa lebih dewasa dalam menyikapi masalah ini, namun hal paling simpel mungkin bisa dilihat di berita Yahoo yang mengangkat tema tentang agama. Ya katakanlah film pelecehan nabi, informasi tentang Yesus beristri, ujung-ujungnya akan memicu yang paling rendah dari masyarakat kita. lihat deh kata kata makian yang digunakan di dalam forum tersebut, nggak ada pendidikan sama sekali di dalamnya. mereka hanya bisa mencaci dan merendahkan agama, suku lain tanpa bisa menjelaskan alasannya kenapa. hanya fanatisme buta yang diunggulkan. Tuhan dan agama saya yang paling bener, nggak ada alasan! agama lain nggak ada keselamatan! begitu kurang lebih. mirip-mirip sama ungkapan Orang Betawi yang cuma boleh memimpin Jakarta, dan aib besar kalau wakil gubernur seorang Kristen dan Cina. sedih.

    koq saya sedikit bertanya-tanya, begitu mudahnya bangsa ini melupakan sejarahnya ya mbak? jangankan sejarah 60 tahunan yang lalu dimana usaha founding father bangsa inilah yang menyatukan kita semua, dengan mengeliminir perbedaan tersebut dan hanya menyebutkan satu identitas : Indonesia, sejarah yang puluhan tahun bahkan ratusan tahun apalagi! Indonesia pernah menjadi negara dengan mayoritas Hindu, mayoritas Buddha, hingga sekarang Islam. DI jaman dahulu kala, bahkan agama nasional bangsa ini adalah animisme dinamisme dengan ciri khas masing-masing di setiap daerah. koq sebegitu fanatiknya berjuang demi agama yang sudah "diimpor" sampai pake mau bunuh-bunuhan segala. belum lagi berita tentang bom yang dipersiapkan untuk mengebom komunitas orang Buddha di Indonesia lantaran Junta Myanmar dianggap menyingkirkan etnis Rohingya di sana. konyol kan?

    memang, pendidikan itu penting, namun pendidikan akan kesetaraan, sama derajat, harkat dan martabat (duh, saya udah lama ga pakai kata kata ini semenjak ujian PPKn jaman dulu hihihi) justru menjadi esensial! anak-anak harus ditanamkan pendidikan kesetaraan sebagai bangsa Indonesia yang utuh, dan identitas lokal lah yang memperkaya kita, bukan justru sebaliknya! Indonesia bukan Jawa, bukan Batak, bukan Papua, bukan Dayak, atau Ambon saja! namun justru dengana adanya Flores, Minahasa, Bugis, Banjar, Sunda, Minang, dan Halmahera, maka Indonesia itu ada. maaf saja, pandangan sempit tersebut sebagian besar mengakar dari pendidikan orang tua kepada anaknya, jadi fenomena gununs es sich saya rasa benar adanya.tanggung jawab menjadi orang tua memang berat yach mbak, nggak cuma bisa menafkahi dan menyekolahkan anak anaknya hingga besar nanti, namun harus menjadi orang yang baik, berakhlak, dan berbudi pekerti luhur agar bisa diterima di masyarakat, kalau bisa menjadi oase di tengah masyarakat yang semakin beringas ini.

    BalasHapus
  2. Ternyata Lomie belajar jadi orang tua salah satunya adalah lewat tulisan-tulisan saya:). Terus terang saya malah tertarik dengan pertanyaan: apakah mereka jadi sempit begitu lantaran kurang pergaulan? Saya akui benar, bahwa semakin luasnya pergaulan akan semakin luas membuka wawasan. Tapi seluas apapun pergaulannya kalau tipe orang yang digauli sama dengan dia ya sama aja bohong. Plus, latar belakang pendidikan seringkali bukan faktor penentu (tapi terlebih dulu saya mau bikin batasan, ya. Latar belakang pendidikan di sini adalah menurut standart kebanyakan orang yakni pendidikan formal).
    Ada satu kasus menarik, di mana saya kenal orang yang pernah sekolah di luar negeri, kalau nggak salah Belanda atau mana. Jauh-jauh sekolah di sana, pulang-pulang dia masih aja seperti yang dulu. Jadi yang jadi faktor penentu memang dari diri sendiri, barulah kemudian lingkungan dan sebagainya.
    Ada seorang teman mengomentari tulisan ini dengan berkata, "Primordialisme sempit biasanya berangkat dari rasa cinta yang berlebihan." Memang sih, Brian May juga bilang 'Too Much Love Will Kill You'. Tapi kalau dipikir-pikir, rasa cinta saya terhadapa Indonesia juga luar biasa besar, lebih dari saya mencintai siapapun di dunia ini, bahkan anak-anak kandung saya sendiri. Begitu cintanya saya pada tanah air sampai kalau memikirkannya dada saya terasa sesak karena tak mampu membendungnya. Dan kalau sudah terasa berat air mata saya meleleh secara otomatis. Tapi rasa cinta yang meluap-luap itu tak pernah membuat saya jadi mendiskreditkan bangsa lain dan hal-hal bodoh lain macam itu. Jadi sekali lagi, memang semua berpangkal pada kecerdasan emosional dan spiritual, barulah hal-hal di luar mengikuti.

    BalasHapus