Jumat, 27 Juli 2012

PRAJURIT, TERIMA KASIH!

Salah satu peran pembantu yang paling saya sukai adalah karakter Letnan atau Kapten entah siapa dalam film Forrest Gump. Kalau tidak salah dalam film itu ia kena ledakan granat atau apa, lalu diselamatkan oleh Forrest. Walhasil ia tetap hidup mesti harus kehilangan kakinya. Kemudian mereka berpisah dan beberapa tahun kemudian Forrest menjumpai Letnan atau Kapten ini dalam kondisi mengenaskan: awut-awutan, kumuh, memancarkan kesan bau busuk, buntung, dan selalu mabuk serta menyemburkan sumpah serapah untuk apapun dan siapapun termasuk Forrest yang menyelamatkannya, karena pria malang ini berpikir bahwa lebih baik mati terhormat di medan perang ketimbang hidup buntung merana tersia-sia. Lalu Forrest menggandengnya sebagai partner dalam bisnis penangkapan udang dan sosok buntung frustrasi itu singkat kata berakhir kaya raya dan bahagia dengan istri orientalnya.

Letnan di atas bukan satu-satunya sosok veteran yang otaknya jadi miring akibat perang  dalam film-film perang yang saya tonton, baik itu fiksi maupun based on true story. Dan meskipun memang film memang sering dilebih-lebihkan demi alasan visual dan lainnya, tetap saja di luar sana banyak orang yang jadi sinting akibat perang. Saya jadi ingat berita heboh beberapa tahun lalu ketika seorang anggota polisi yang tengah bertugas mengamankan acara kenegaraan entah apa lupa (biasa:)), tiba-tiba memberondongkan peluru tanpa alasan jelas. Lalu semua orang menggoblok-goblokkan polisi itu kemudian mencapnya sinting, yang sayangnya benar, karena setelah ditangani tim psikiater terkuak bahwa ia menderita depresi akut lantaran tekanan pekerjaan dan tugas berat sebagai prajurit polisi.

Lalu ass media -oop, sori, keseleo:). Habis, dalam banyak sekali hal memang benar, sih:)- ganti memberondongkan peluru penghakiman mereka yang adil dan manusiawi, sesuai dengan jargon mulia mereka yakni 'tak berpihak', termasuk betapa negara ini mengabaikan para prajuritnya blablabla. Tapi yang paling 'cerdas' menurut saya adalah ulasan sebuah koran yang terkenal, intinya: 'Kalau sudah siap jadi prajurit ya musti siap secara mental dan fisik. Kalau tidak mendingan tidak usah ketimbang jadi prajurit cemen, dll.' Sampai di titik ini darah saya benar-benar mendidih, lalu spontan menyemburkan makian -pada sehelai kertas koran-:), begini: "Hellllooooo....why don't you try to be one of them, you stupid a*shole?", lalu meremas dan membuang kertas tak bersalah tersebut, untuk kemudian berikrar tak lagi sudi mengeluarkan seperakpun demi membeli koran tersebut (tapi kalau pinjam tetangga sih, masih:).

Itu baru yang ketahuan dan bikin gempar karena melibatkan berondongan peluru. Jadi bagaimanapun masih mending, karena prajurit malang tersebut setidaknya berakhir di tangan tim ahli dan namanya tertulis di media massa meskipun dalam tinta kelam. Tapi bagaimana dengan yang lain? Bagaimana dengan prajurit lain dari kesatuan manapun yang ditugaskan di daerah-daerah konflik, tercerabut dari sanak keluarganya sampai entah kapan? Bagaimana dengan para marinir yang musti siap sedia untuk ditugaskan daerah operasi militer dan tetap harus siaga, terus menerus waspada, dengan darah yang terpompa cepat ke jantung, menanti untuk diterjunkan dalam ketidak pastian dalam kapal yang diombang-ambingkan gelombang selama berminggu-minggi? Ya pembaca, hal ini nyata, senyata barisan huruf yang saat ini tengah anda baca. Dan bagaimana dengan prajurit lain yang menjaga perbatasan, hidup dalam kesunyian -benar-benar sendirian- hanya berteman pohon-pohon, serangga dan mahluk-mahluk hutan, dan setelah senja turun dicekam kegelapan dengan ransum yang pasti bakal kita muntahkan secepat kilat? Bagaimana dengan petugas pengendalian massa yang musti berhadapan dengan segerombolan manusia beringas bersenjatakan badik, clurit, batu segede hohah, dan senjata tajam atau tumpul lainnya? Bagaimana dengan petugas yang terkena lemparan bom molotov? Paling banter kita hanya bilang, "Ah, itu kan sudah bagian dari tugas." Tapi giliran petugas menindak tegas para perusuh, sontak media berlomba-lomba -seakan mereka sedang mengikuti kejuaraan dunia 'MR. SUCKER'- menurunkan tajuk utama dengan tema "AROGANSI APARAT". 

Dan bagaimana dengan mereka yang ditugaskan di wilayah-wilayah pemberontak? Atau berhadapan dengan teroris? Pilihannya: ditembak atau ditembak. Dan ini sama sekali bukan GTA, yang kalau ada kepala menggelinding dan darah muncrat kita justru berseru "YES!!!" sambil mengepalkan tangan. Saya banyak berbincang dengan anggota militer atau polisi yang tentu saja identitasnya tak bisa saya buka, dan dengan jujur serta rendah hati mereka mengakui bahwa melepas peluru adalah hal paling mengguncang nurani, kendati dari awal memang mereka sudah dipersiapkan untuk keadaan seperti itu. "Banyak dari kami yang jadi bocor (maksudnya otaknya jadi 'miring') setelah terpaksa menembak, apalagi sampai beberapa kali. Bagaimanapun kami juga manusia, mbak," kata mereka mengingatkan saya pada sebuah judul lagu rock Indonesia.

Hal-hal seperti itulah yang sama sekali tak pernah kita pedulikan. Kita baru mau membuka mulut -dengan sinis, tentu saja- kalau ada petugas terima suap, aparat jadi peking rumah pelacuran, dll, seakan-akan mereka pemain tunggal dan tidak ada anggota masyarakat yang terlibat di sisi lain dalam pertunjukan kotor ini. Lalu kalau ada apa-apa, contohnya prajurit stres di atas, tentu saja dengan kompak seakan-akan ada konduktor, dengan gegap gempita kita melantunkan koor menimpakan semua kesalahan pada pemerintah. Saya adalah bagian dari rakyat, dan dengan jujur saya mengakui bahwa dalam banyak hal pemerintah masih jauh lebih baik ketimbang kita. Paling tidak seperti hasil curi dengar kata-kata KJ pada istrinya soal biaya rumah sakit (tengok posting saya sebelumnya). Hal terhebat yang bisa kita lakukan adalah melecehkan para prajurit dalam program AMD atau mereka yang membersihkan rernutuhan bangunan bekas bencana alam, dengan kalimat-kalimat seperti, "Dasar tentara kurang kerjaan. Nggak pernah perang, sih." Padahal Indonesia tidak pernah perang salah satunya adalah pamor prajurit kita yang dikenal militan dan berani mati, mengingat kualitas persenjataan kita yang patut dipertanyakan.

Saya tidak tahu dengan anda, tapi saya sangat mencintai prajurit Indonesia, dari kesatuan manapun mereka. Dan apapun kata orang tentang mereka, saya tetaplah bangga. Saya kadang-kadang membayangkan diri sebagai seorang prajurit yang baru pulang dari tugas di daerah pemberontak, dan di antara keluarga yang menyambut, terselip orang yang tak saya kenal, tiba-tiba menyalami saya sambil berkata, "Terima kasih karena sudah bertugas dengan gagah berani, Prajurit." Itu mungkin akan jadi penghargaan paling indah bagi saya sebagai seorang prajurit. Namun dalam kehidupan nyata saya memang sering mendatangi seorang petugas lalin, menjabat tangannya (sambil cengengesan malu), berkata, "Pak Polisi, terima kasih sudah mengatur lalu litas dan menjaga keamanan, ya." Kali lain saya mendatangi seorang tentara yang sedang berjaga di pos, hanya untuk bilang, "Terima kasih sudah membuat negara kita aman, Prajurit."

Ada dua kemungkinan sehubungan dengan kelakuan saya di atas, yakni: 1. Anda menganggap saya lebay dan cari perhatian. 2. Anda mengira saya baik hati dan tidak sombong.  Untuk pilhan pertama saya akan menjawab,"No coment," sambil tersenyum a la Dessy Ratnasari. Dan jika anda menjatuhkan pilihan pada yang kedua, ijinkan saya jelaskan lebih dahulu kronologi setiap kali saya melakukan hal tersebut: setelah  saya mengucapkan apresiasi sambil cengengesan malu, biasanya para prajurit itu lengucap terima kasih dengan tulus dengan ekspresi lebih malu ketimbang saya. Tapi setelah pudar rasa terkejut, mata mereka akan berbinar-binar, persis seperti ekspresi anak-anak saya jika mendapat hadiah kejutan yang sama sekali tak mereka sangka-sangka. Persis seperti saya ketika mendapat pujian tak terduga dari bapak saya,  yang biasanya irit kata-kata, dan justru itu merupakan penghargaan paling bernilai buat saya ketimbang apapun. Dan setiap kali mendapat pujian dari bapak saya, suasana hati saya -seburuk apapun- akan langsung membaik dan dampak dari rasa cerianya bisa saya rasakan sampai beberapa hari kemudian. Saya juga jadi bersemangat dan sangat produktif, serta memandang dunia ini sangat indah. Benar-benar luar biasa pengaruh sepenggal kata manis dari bapak saya tersebut.

Saya bukan orang kaya, terkenal, arif dan bijaksana, dan sebagainya. Saya ingin memberi banyak bagi para prajurit yang saya cintai dan hargai di negeri ini, tapi benar-benar tangan saya tak sampai. Tapi setidaknya lidah dan senyum saya sampai. Lidah saya bisa mengucapkan hal-hal manis yang menggugah semangat mereka untuk berbuat lebih baik lagi bagi negeri ini saat mereka menjalankan tugas, seperti yang dilakukan oleh pujian bapak saya terhadap jiwa dan semangat saya. Sayang lidah saya cuma satu. Kalau saja ada lidah-lidah lain yang membantu saya, betapa bahagianya para prajurit yang telah memberi banyak bagi kita dan negeri ini...... (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga). 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar