Senin, 16 Juli 2012

KOPRAL JONO

Pasti di luar sana setidaknya ada satu pembaca yang bertanya-tanya: "Apakah Yuanita Maya sudah dipanggil yang Maha Kuasa?":). Tenang saudara-saudara, ajal saya belum tiba dan saya baik-baik saja. Hanya selama sekitar dua bulan ini saya sedang bergumul dengan banyak sekali hal , sehingga saya putuskan untuk off dulu ketimbang maksa dan endingnya manimal (usaha maksimal hasil minimal:)). Plus beberapa waktu lalu putri saya, Kinasih, kena DB dan sangat kritis sampai di ambang koma. Ia dirawat di RS Tentara Wolter Monginsidi Manado (oh ya pembaca, saya sudah kembali ke haribaan ibu Minahasa). Kami tiba di sana subuh dan tidak ada tempat yang tersisa bagi kami selain bangsal, begitu pula rumah sakit tempat Kinasih dirujuk. Akhirnya untuk melengkapi derita, ia terpuruk di boks di sudut bangsal D RS Tentara Teling, Manado, dan saya terpuruk di lantai bila hendak mengistirahatkan tubuh. Tertekan dan terhina? Wow,  tentu saja:). Tapi seperti pepatah yang mengatakan 'Every cloud has its silver linings', maka di sudut derita ini saya menyerap banyak sekali hal yang akan saya turunkan mulai posting ini hingga beberapa posting ke depan. Salah satunya adalah sosok luar biasa tokoh utama posting kali ini.

Saya tak tahu pangkatnya, karena pada dasarnya saya juga tak tahu jenjang hirarki dalam kemiliteran. Mungkin saja ia seorang kopral. Pun saya tak tahu namanya, bisa jadi Jono. Jadi saya menyebutnya Kopral Jono. Ya, saya menamainya Kopral Jono begitu saja karena kami memang tak pernah bertukar kata biar sepatahpun. Saya hanya mengamati segala tindak-tanduknya selama sekitar 4 hari dalam radius satu meter, sebab sekat dan privasi apa yang bisa kami harapkan dari sebuah bangsal?

Kali pertama saya melihat Kopral Jono adalah saat ia datang waktu sore di hari pertama saya di sana. Ia membawa tas-tas plastik berisi tetek-bengek khas orang tua yang anaknya diopname. Seharian itu istri KJ  -sama halnya ibu-ibu lain di zaal D- sangat kelelahan menjaga bayinya yang berumur sekitar 1 tahun dan terserang muntaber. KJ (demikian saya menulis Kopral Jono mulai kini sampai akhir artikel nanti) mendapat sambutan berupa omelan meriah dari sang istri. Kendati mereka menggunakan bahasa Sanger yang tak saya ketahui artinya biar satu katapun, tapi istri KJ menggunakan bahasa omelan istri yang universal dan bisa dipahami oleh istri lain dari suku dan belahan dunia manapun. KJ menanggapi rentetan omelan istrinya dengan mengulurkan sekotak minuman sambil tetap berdiam diri. Istrinya mengambil jeda untuk menyeruput minuman, lalu melanjutkan omelan dengan semangat  baru karena telah mendapat suntikan cairan. Sementara itu 2 anak mereka yang lebih besar -sekitar kelas dua dan lima- petakilan sendiri. Yang laki-laki -dan sangat menjengkelkan- memanjat boks yang berisi adik dan ibunya. Ia melompat dengan suara 'gedebug' yang sangat mengganggu, memanjat lagi, melompat lagi, demikian seterusnya, sampai si ibu dengan kesal mengancam akan menghajarnya dengan balok dan rangkaian ancaman lain (beberapa hari berada dekat istri sang Kopral, saya percaya bahwa ia adalah perempuan yang penuh vitalitas dan stamina tinggi, karena sekalipun tenaganya tersedot untuk mengurus anak sakit yang luar biasa melelahkan dan berpotensi besar mengundang stres -apalagi kamarnya zaal- ia masih mampu menyediakan cadangan energi untuk menghardik anak-anaknya dengan rupa-rupa ancaman seperti lazimnya ibu-ibu Manado, bahkan kadang mewujudkan ancamannya dalam tindakan nyata). 

KJ dengan cerdik memanfaatkan momen tersebut untuk menghindar dari omelan babak 3. Sementara si istri sibuk mendamprati anak laki-lakinya, KJ menyambar si kecil dari boks lengkap dengan infusnya. Dengan kagum saya mengamati betapa tangan kirinya memegang si kecil yang berjalan tertatih-tatih dan tangan kanannya teracung tinggi-tinggi mengangkat tabung infus sambil berjalan jongkok. Ini bukan main-main, kata saya dalam hati sambil bertanya-tanya, mungkinkah ini hasil push up, sit up, geluntungan di lapangan, dll sebagai bagian rutin dari perannya sebagai seorang prajurit? Aktifiitas tersebut baru berhenti sekitar 1 jam kemudian, ketika tiba waktu rombongan dokter tiba untuk memeriksa pasien. KJ diam-diam menyelinap ke luar, mungkin untuk merokok atau sekedar melamun merenungi nasib.

Begitulah KJ melewati hari-harinya. Pagi-pagi ia berangkat dengan seragam tentaranya -sangat gagah dan layak dipercaya untuk melindungi negara- sore ia datang untuk mencurahkan waktu demi merawat dan memerhatikan keluarga dan menerima omelan. Malam hari dalam tidurnya yang tak pernah lama karena musti bergantian dengan istrinya, KJ tak pernah benar-benar lelap. Ia bangun beberapa kali untuk mengecek segala sesuatu, kadang mengoleskan lotion anti nyamuk pada anak-anaknya yang besar, membetulkan letak selimut mereka, memeriksa selang infus si kecil, dan hal-hal sederhana lainnya. Hal-hal sederhana yang mengingatkan pada bapak saya yang lembut hati dan penyabar. Mereka punya banyak kemiripan, dan sejauh pengamatan saya terhadap KJ, hal-hal yang membedakan mereka hanyalah:
1. KJ tegap dan berkulit pekat, sedangkan bapak saya kurus kecil bagai cotton bud:).
2. Bapak saya berangkat ke kantor dengan sedan ber-AC di gedung Pertamina yang megah dan full AC pula. Bapak saya melewatkan makan siangnya dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. Lalu sorenya beliau pulang ke rumah yang lapang, bersih, tenang, berhalaman luas lengkap dengan pekarangan samping tempatnya menghibur diri dengan pohon-pohon mangka, sirsak, matoa segala rupa dan ayam-ayam kampung yang dipeliharanya penuh cinta. Bapak saya bekerja di kantor dengan fasilitas menyenangkan dan pulang ke rumah yang menenangkan, jadi wajar kalau beliau mampu memertahankan kelembutan dan kesabaran yang didapatnya sejak lahir itu. Tapi KJ lain. Ia prajurit. Dalam menjalankan tugasnya ia jauh dari pendingin ruangan dan segala kenyamanan. Saya tak tahu apa dan di bagian mana ia ditempatkan. Mungkin ia menghabiskan seharian yang membosankan di pos penjagaan. Mungkin ia mengawal komandannya. Mungkin ia mengangkut amunisi dari truk ke gudang dan sebaliknya, diselingi bentakan dari komandan dan push up dan hal-hal lain macam itu. Dan ia tidak pulang ke rumah dengan halaman luas dengan segala pohon buah dan ayam kesayangan, namun ke petak asrama yang sempit dan disesaki manusia, jerit tangis anak-anak sendiri dan anak-anak tetangga, omelan istri sendiri dan istri-istri tetangga, dan segalanya. Ia mungkin bahkan sama sekali tak punya tempat dan waktu yang tenang bagi dirinya sendiri. Tapi ia bertahan.

Dan hanya manusia luar biasa yang bisa memertahankan kelembutan dan kesabaran seperti yang diperagakan KJ yang sama sekali tak menyadari bahwa selama hari-hari tersebut saya mengamatinya bagai pencuri. Saya juga tak tahu ia pernah ditempatkan di mana saja, yang jelas suatu hari ia pernah memakai kaos seragam dengan tulisan pasukan ini atau itu dan Aceh itu atau ini. Jadi kemungkinan besar ia pernah ditempatkan di sana. Mungkin 1 tahun, mungkin pula 2 tahun. Bisa jadi pula selama itu ia terpisah total dari anak istrinya. Dan siapa yang tahu berapa kali nyawanya nyaris melayang oleh peluru anggota GAM, di tengah-tengah usahanya untuk mempertahankan kewarasan akibat terpisah sekian lama dari orang-orang yang dicintainya? Saya hanya menerka-nerka, karena saya tak pernah tahu apa isi hati KJ.

Saya ingin sekali mengajaknya mengobrol, tapi saya merasa rendah diri. Saya merasa tak berarti di hadapan pria sekitar 40 tahun, prajurit berpangkat rendah yang tak menuntut banyak, yang hanya tahu berkata "SIAP!" untuk apapun yang dikatakan komandannya, kemanapun ia ditempatkan, seberat apapun tugas yang harus ia laksanakan. Saya merasa kecil di hadapan prajurit yang demikian setia memersembahkan yang terbaik yang ia miliki untuk keluarga dan negaranya. Dan ia sangat menghargai apa yang sudah diberikan oleh negara kepadanya, karena dalam tanggapannya terhadap salah satu rentetan omelan istri ia berkata begini (yang untunglah waktu itu dalam dialeg Manado): "Baele dorang masi bole mo urus pa torang. Hele doi biar satu perak torang nyanda takaluar (Masih beruntung mereka (maksudnya pemerintah) mau mengurus kita. Sedangkan uang biar seperak kita tidak perlu keluar)."

Saya jadi teringat pada kebanyakan dari kita yang hanya tahu memikirkan kepentingan diri sendiri dan mencaci maki apapun yang dilakukan negara ini. Kita semua tidak ada apa-apanya dibandingkan prajurit yang telepon genggamnya sangat sederhana ini. Telepon yang tak mungkin memuat aplikasi twitter atau FB, tempat di mana banyak dari kita memanfaatkannya untuk mengumpati negara, mengatai-ngatai Indonesia, seakan-akan kita sudah mempersembahkan sesuatu yang berarti untuk negeri ini, seakan-akan kita terlalu agung dan mulia, seakan-akan Indonesia terlalu hina untuk jadi tanah air kita. Tapi memang di sinilah letak paradoksnya: KJ mampu menghargai apapun yang diberikan oleh negeri dan negara ini, karena ia TELAH memberi, sebab hanya mereka yang mampu memberi dengan tuluslah yang bisa menerima segala hal baik yang ia dapat dengan kaca mata syukur. Tapi mereka yang bebal -yang bisa jadi saya dan anda termasuk di dalamnya- adalah orang-orang yang hanya tahu menggerutu, karena sama sekali tak tahu rasanya memberi, terlebih berkorban. 

Saya tak begitu yakin KJ mengetahui bahwa J.F. Kenedy pernah berkata, "Jangan tanya apa yang sudah diberikan oleh negaramu, tapi tanyalah apa yang sudah kau beri untuk negaramu", karena selain pendidikannya terbatas, waktu dan tenaganya juga sudah habis untuk menjalankan tugas dan mengurus keluarganya. Kecil kemungkinan KJ punya waktu untuk memikirkan hal-hal lain, hal-hal 'cerdas' lain macam mengorek-orek kekurangan negeri ini, membuat analisa kritis tentang good governance, bobroknya sistem pendidikan dan hal-hal macam itu (sambil di lain waktu menyuap petugas lalin, memberi bingkisan mahal untuk guru di sekolah supaya nilai anak terdongkrak, dan lain-lain-lain). Kecil pula kemungkinan KJ memahami arti 'Vox Populi Vox Dei' yang sering dijadikan tameng untuk mengumbar omongan dan kehendak seenak jidat sembari melupakan prinsip keberimbangan setidaknya sesuai sila-sila Pancasila dan butir-butirnya. Mungkin malah KJ sama sekali tak tahu arti kata 'people power', tapi bagi saya semua itu sama sekali tak penting, karena KJ -tanpa sama sekali disadarinya- telah membutikan bahwa ia jauh lebih cerdas daripada kita semua. Kecerdasannya begitu sederhana dan berarti, yakni memberi dan menghargai negara dan negeri ini.

Kopral Jono, engkau membuat Indonesia terberkati!

 

2 komentar:

  1. Mbak May yang baik,

    semoga krisis yang Mbak May hadapi sudah berlalu dan saya percaya demikian adanya :)

    Semoga di saat saya menulis ini, Kinasih sudah ceria seperti sedia kala dan bisa melompat-lompat gembira kembali. hehehe.

    sudah lama saya memang tidak mendapati tulisan Mbak May lagi. saya pikir, Mbak May terserang penyakit yang khas diderita oleh para blogger, hal yg sama seperti yg sama alami di awal tahun, setiap tahunnya. hehehe.

    hmmm....sayang sekali yah Mbak May tidak berkesempatan sama sekali untuk mewawancarai Kopral Jono ini. Hmm... saya tidak bisa berkata apa-apa dan komentar banyak karena saya malu, sebagian dan hampir keseluruhan yang Mbak May tuliskan itu tentang saya. kritik kritik dan kritik terus, tanpa berusaha untuk mencari cara yang lebih baik, dan memperjuangkannya. semoga, teladan KJ yang Mbak May ceritakan disini bisa diteladani dan diterapkan perlahan mulai dari diri sendiri setiap insan yang membacanya, dan kemudian berspora dan menjamur kemudian menyebar ke seluruh Indonesia.

    yang saya nggak habis pikir sich hanyaistrinya yang sudah diberi minum eh malah melanjutkan omelan. hihihi....harusnya melunak karena suaminya penuh kasih, atau setidaknya melihat kondisi di RS gt kali ya mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya cinta penggemar saya yang paling setia ini:). Puji Tuhan, Kinasih sudah pecicilan dan banyak mulut seperti sedia kala, yang entah menggembirakan entah menjengkelkan:). Dia sudah mulai sekolah dan memberi teladan bagi teman-temannya, yakni cium tangan Guru setiap memberi salam. Ibu Guru berkata bahwa dia merasa sangat terharu karena baru kali ini seumur-umur ia dicium tangan oleh seorang anak dan memuji-muji didikan Mamak Kinasih di depan orangtua murid lain. Tentu saja hidung Mamak Kinasih langsung mekar tak terkendali:).
      Well, Lomie, jangan salah, apa yang saya tuliskan di atas sebenarnya TENTANG SAYA SENDIRI, paling tidak beberapa tahun lalu. Tapi saya kan sekarang sudah paruh baya, jadi beberapa tahun lalu juga berarti saya nggak muda-muda amat juga, bukan? Ada beberapa orang yang butuh waktu singkat untuk jadi bijak dan mampu introspeksi, tapi butuh waktu lama -bahkan kadang sangat lama- bagi beberapa yang lainnya, termasuk saya.
      Btw, penyakit annual blogger yang Lomie maksud apa, sih? Writing block, ya? Maklum, saya kan anak bawang dalam bidang ini. Tahunya cuma ngetik, lain itu tidak.
      Omong-omong soal istri KJ yang bugar dan vit tersebut:), kayaknya bukan cuma dia deh yang pantang berhenti kalau ngomel sudah dimulai. Bagi para istri (termasuk saya, tentu saja), mengomel ibarat membuka kotak pandora. Sekali dibuka semua keluar dan setengah mati mau ditutup. Mungkin saya bisa bikin blog baru untuk memuat bunga rampai omelan saya:). Memang, kasihan para suami, dan jika suatu hari nanti Lomie memutuskan untuk menikah, persiapkan diri baik-baik untuk hal ini, baik secara mental maupun spiritual:).

      Hapus