Kamis, 24 November 2011

Salah Empat atau Betul Enam Belas?


              Salah satu hal yang paling menyakitkan bagi pelajar manapun adalah, setelah bekerja keras mempelajari setumpuk materi bakal ulangan, ternyata yang keluar cuma 20 soal. Lebih menyakitkan lagi jika ulangan tersebut adalah materi gabungan beberapa bab. Seorang teman SMA –saya ingat namanya Uut- sering menggoda teman-temannya yang serius belajar di depan kelas menjelang ulangan dengan kalimat begini: “Paling-paling nanti yang keluar cuma 20 soal. 10 soal esai dan 10 soal pilihan ganda. Jadi pelajari saja 20 hal, daripada yang lainnya mubazir.”
                Garing. Tapi efisien, asal kita tahu soal-soal yang bakal  keluar.
                Dan puncak dari rasa sakit itu adalah: setelah mempelajari 3 bab dan ternyata yang keluar cuma 20 soal, ternyata salah 4. Atau sekian. Terakhir, sebagai perasan air jeruk untuk lebih menajamkan luka, adalah komentar sengit orang tua:
                “SALAH EMPAT?? KOK BISA???!!!
                Bagi saya, sebagai pelajar yang tidak bisa membanggakan diri dalam hal ketekunan, reaksi semacam itu adalah sembilu yang mengoyak-moyak integritas. Terlebih jika saya telah menggarap ulangan tersebut dengan kejujuran absolut, sesuatu yang tidak begitu sering saya lakukan jika berkaitan dengan ulangan.
Menghadapi reaksi tidak simpatik, “Salah empat?? Kok bisa??!!” tersebut, biasanya saya membalas begini: “Sudah bagus. Masih ada 16 sisanya yang betul.”
                Tangkisan yang salah, karena biasanya ini justru membuat emak saya semakin meletup-letup. Dan ‘salah 4’ sudah pasti jadi head-line dalam acara obrolan emak saya baik dengan tetangga maupun handai taulannya, seringkali sampai berhari-hari. Tinggallah saya mengumpat: “Tau begini mendingan nyontek.” Tentu saja dalam hati.
                Herannya, bertahun-tahun kemudian, ketika anak saya pulang membawa kertas ulangan untuk dibubuhi tanda tangan, perhatian saya terfokus pada berapapun sedikit salahnya. Dengan kata lain, saya benar-benar membutakan mata terhadap berapapun banyak betulnya. Nurani saya yang tumpul betul-betul tidak bisa merasakan kekeruhan wajah, dan tentu saja hati, anak saya.
‘               Mengenang itu, saya sangat menyesal. Dan hanya bisa berharap anak saya tumbuh dewasa dengan melupakan sisi-sisi gelap ibunya.
                Namun kegemaran melihat dengan seksama ‘salah 4’ ketimbang ‘betul 16’ rupanya bukan hanya monopoli orang tua saat melihat kertas ulangan anaknya. Memusatkan segalanya pada sisi buruk, sekecil apapun, ketimbang sisi baik, sebesar dan atau sebanyak apapun, rupa-rupanya telah menjadi gerakan nasional. Dan regenerasi bukan mutlak milik saya yang mengadopsi dengan sempurna kedigdayaan ibu saya dalam melihat kekurangan saya sekecil apapun ketimbang kelebihan saya sebesar apapun. Misalnya: media dan aktivis lebih suka berteriak-teriak soal perempuan sebagai obyek dalam program KB pada era Suharto, ketimbang keberhasilan program itu sendiri dalam menekan laju pertumbuhan penduduk, kerumitan dan berbagai tantangan dalam aplikasi, kerja keras para penyuluhnya, dan sebagainya. Betapa ironis ketika dunia Internasional memberi penghargaan tinggi pada Indonesia dan Pak Harto, sementara kita justru melihat dan mencari-cari jeleknya. Entah kita ini sombong atau justru rendah diri.
                Karakter Megawati yang pendiam dan tidak cepat mengambil keputusan kita jadikan bahan bulan-bulanan dengan penuh semangat, sehingga kita kehabisan enerji untuk melihat bahwa beliau mendapat apresiasi luar biasa dari dunia luar atas keberhasilannya menggelar pemilu secara langsung. Belum lagi keberhasilan-keberhasilannya yang lain. Kita mengenang dan memaki Habibi sebagai ‘Si Kutil yang hanya bisa membuat lepas propinsi sebesar Tim-tim lepas’. Kita lupa bahwa ‘Si Kutil’ itu adalah embrio dalam pembebasan etnis Cina Indonesia dalam beragama dan berbangsa, yang kelak disempurnakan oleh Gus Dur dan kemudian para penerusnya. Dari otak ‘Si Kutil’ itu pula lahir teori Habibie Cracker yang kabarnya sampai sekarang masih menjadi hukum standart sistem keamanan pembuatan pesawat. Kita pula yang dengan keji membuat anekdot “Kalau pesawat buatan IPTN melintas di wilayah perairan Amerika, mereka nggak akan mau rugi menembak, karena toh lama-lama jatuh sendiri.” Begitu dungunya siapapun yang mencipta, melontarkan, atau tertawa saat mendengar lelucon aneh itu, sampai tidak paham bahwa CN 350 adalah yang terlaris di dunia dan terbaik di kelasnya, paling tidak pada masa kejayaannya.
                Kebiasaan itu lestari sampai kini, bahkan kian menjadi-jadi. Jika ada gedung SD bobrok satu saja, kita hujat pemerintah tidak pernah dan mampu berbuat apa-apa. Padahal sekarang ada program PAUD, sesuatu  yang sekian tahun lalu –setidaknya sampai jaman Pak Harto- disebut Play Group dan hanya bisa diakses oleh anak-anak orang kaya, dan kini bisa diakses oleh anak manapun, asal emak-bapaknya punya KK dan KTP. Kita juga tidak mau ambil pusing dengan program BOS, puskesmas-puskesmas yang kian representatif, keluarga-keluarga tak mampu yang menikmati kartu gakin, program PNPM, dan sebagainya.
                Kita lebih suka berteriak “Korupsi makin menggila, segila pemerintah yang nggak bisa bikin apa-apa!”. Kita menghujat pemerintahan SBY atas kemarakan korupsi dan membandingkan dengan era Suharto, padahal pada era Suharto korupsi tentu saja tidak kentara, karena media manapun yang hendak mengekspos pasti segera dibredel lebih cepat daripada Lucky Luke menembak bayangannya sendiri. Entah kita buta atau membutakan diri, yang jelas negara-negara lainlah yang terkesiap dan mengacungkan jempol ketika SBY mengikhlaskan besannya dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Teman chatting saya dari Utah bilang begini:
“Your president rocks!”
Kalau ada bupati yang korupsi, kita hujat pemerintah secara keseluruhan dengan kata-kata yang sama sekali tidak pantas. Entah kita bodoh atau membodohkan diri, yang jelas kita tidak tahu soal fakta bahwa hanya di era SBY kasus penanganan korupsi meningkat menjadi sekian RATUS kali lipat. Lepas dari keberhasilan atau kontroversinya, di era SBY-lah KPK, suatu lembaga yang paling tidak sampai kini masih punya taji, terbentuk.
Kita hujat Pak Harto sebagai otoriarian megalomania, dan tidak peduli pada fakta bahwa pada eranyalah Kopassus atau Kopasanda disegani oleh pasukan elite dari Negara manapun. Dan pasukan Garuda sekian tahun lalu pimpinan Ryamizard Ryakudulah yang tercatat sebagai satu-satunya pasukan perdamaian dunia yang berhasil menembus pusat Khmer Merah, bahkan main catur dan merayakan kemerdekaan RI di kandang mereka.
Ada ribuan contoh lain tentang melihat salah empat ketimbang betul enam belas, yang saya tidak tahu merupakan gejala apa. Selama ini saya bertanya-tanya dan tidak pernah menemukan jawabannya. Yang jelas bagi saya ini adalah kedangkalan ekstrim. Sama dangkalnya jika saya membuat kesimpulan ‘anda adalah manusia yang mutlak terbuat dari jerawat batu’ hanya karena saya melihat 2-3 buah jerawat batu kecil di sana di hidung anda. Celakalah saya sebagai pribadi jika melihat manusia lain hanya dari keburukan-keburukannya saja, karena dengan kata lain saya sedang memproklamasikan pada dunia bahwa saya adalah seorang pecundang. Siapapun yang tak mau melihat keberhasilan pihak lain memang tak lebih dari pecundang total.
Dan  celakalah kita sebagai bangsa jika hanya bisa melihat kekurangan-kekurangan pemerintah tanpa mau mengapresiasi keberhasilan-keberhasilannya, karena dengan kata lain kita sedang membuat proklamasi bahwa kita hanyalah segerombolan pecundang. Kegemaran sekaligus kelebihan utama seorang pecundang memang adalah mencari-cari kesalahan orang lain untuk menutupi kebodohannya sendiri.
Jadi marilah kita berhati-hati, karena saat kita HANYA bisa menghujat pemerintah Indonesia, berarti secara tak sadar kita sedang menelanjangi diri sendiri, bahwa sebagai rakyat Indonesia kita tidak pernah berbuat apa-apa bagi bangsa dan negara kita. Sebab semakin kosong sebuah tong maka semakin nyaring pulalah bunyinya. Dan sepertinya Indonesia hanya membutuhkan tong-tong yang berisi. Atau setidaknya tong-tong kosong yang bisa diisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar