Kamis, 29 Agustus 2013


Para Sahabat (II)

Mengingat saya dulu imut banget (hihihi….), maka sudah barang tentu pacar saya sekandang (prinsipnya kan tidak mau rugi :)). Begitu banyaknya pacar saya, sampai saya tidak pernah bisa mengingat dengan rinci sesungguhnya mereka itu siapa-siapa saja. Kalau sekarang ingat yang ini ini ini, yang itu itu itu pasti lupa. Besoknya ingat yang itu itu itu, giliran yang ini ini ini lupa. Hal terbaik yang bisa saya lakukan hanyalah mengingat kisaran angkanya, itupun tidak tepat :). Paling enggak enak itu kalau bertemu cowok yang saya pikir teman lama, ternyata kemudian mengaku bahwa kami pernah pacaran. Apalagi kalau dia pasang tampang terkenang-kenang so swit gitu. Malu sekali, jeung. Hal itu membuat saya merasa bagaikan cewek tak tau diri, terlebih saya kan termasuk cewek konservatif yang ogah keluar duit sepeserpun buat cowok, apalagi berperan serta dalam membiayai acara kencan kami:). Tapi meskipun sibuk pacaran, mereka tetap bukanlah prioritas saya. Kalau berada dalam situasi pilih pacar atau teman, tentu saja pacar serta-merta saya tinggalkan. Kebanyakan saya pacaran memang buat lucu-lucuan mengingat saya seorang pembosan, dan hanya beberapa gelintir saja dari mereka yang benar-benar masuk ke hati.  Kalau sebagian besar sisanya berakhir tergila-gila pada saya terus patah hati ya maaf.

Well, you may say I’m such a b*tch, but I really can’t help it! Dan, hey, itu bukan sepenuhnya salah saya! Hubungan pertemanan itu lebih mengasyikkan ketimbang pacaran, sedangkan persahabatan lebih menggetarkan. Pacaran kan prinsipnya take and give, jadi kalau si dia memberi kita akan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Maka secara umum, kitapun take for granted pada segala kebaikan pacar. Beda dengan persahabatan. Dalam bersahabat kita nothing to loose; kita memberi tanpa berharap kembali. Kalau ternyata kembali, kita cenderung akan menganggapnya sebagai suatu hal yang luar biasa, yang kemudian akan mendorong kita untuk memberi lebih banyak lagi. Persahabatan mendorong kita untuk bersemangat dalam melakukan kebaikan dengan hati yang tulus. Itulah sebabnya mengapa saya menganggap sahabat-sahabat saya luar biasa berarti, jauh lebih berarti ketimbang segala pacar itu. Suami saya memahami hal ini, sehingga dia sama sekali tidak pernah interfensi apalagi menyampaikan keluhan mengenai sahabat-sahabat saya.

Kemarin saya sudah bercerita tentang enam orang teman sejati yang sangat berarti dalam hidup ini. Last but not least adalah Ehmida Abdl Azs, si cowok Libya lugu dengan hati selembut domba yang pernah saya masukkan ke postingan 'Dia Baik Karena Agamanya' dan 'Hati dan Pikiran yang Terbuka (1 dan 2) '.Tanpa mengurangi rasa terima kasih dan cinta saya pada enam nama yang saya sebut sebelumnya, Ehmida ini adalah ‘semua sahabatku dikumpulkan jadi satu’. Salah satu faktor utama yang membuatnya mendapat predikat itu adalah karena kami tinggal bersebelahan dan jadwal pertemuan kami benar-benar spartan. Jangankan bila salah satu dari kami sedang ke luar kota, enggak kemana-mana saja kami sms-an bisa lebih dari 30 kali dan telpon-telponan lebih dari 5 kali dalam satu hari. Padahal di luar itu kami sehari bertemu minimal tiga kali, mengingat waktu itu jadwal kuliahnya tinggal sedikit dan status saya adalah pengangguran terselubung. Setelah semua itu, malamnya kami masih juga telepon-teleponan sebagai epilog. Adegannya sangat genuine: saya menyeret kursi lalu duduk di halaman belakang sambil nepokin nyamuk atau garuk-garuk, sedangkan dia duduk mencangkung dengan badan segede The Incredible Hulk di tembok penghalang teras kamarnya di atas. Lalu kami menguras isi hati sampai bibir pada ungu, sambil saling memandang di bawah siraman cahaya keemasan sang rembulan. Kami hanya dibatasi tembok dan daun-daun rambutan, dan seringkali suara yang keluar dari mulutnya terdengar lebih keras daripada suaranya di telepon. Abel, anak lelaki saya, dan adik-adik saya suka komentar,”Dasar dumb and dumber! Daripada buang-buang pulsa kan lebih baik ketemu aja? Tinggal jalan semenit terus buka pagar.” Ah, mereka hanya tidak mengerti seni berkomunikasi sambil yang satu menunduk dan yang lainnya mendongak hingga leher salah urat…..

Ehmida dan saya saling mendukung, melayani, memberi, merawat, mengasuh, dan melindungi dalam segala hal. Kami sangat saling memahami dan mengerti, bahkan bisa membaca isi hati satu sama lain yang hampir selalu sama untuk banyak sekali perkara. Setiap perselisihan justru membuat kami kian dekat. Peleburan jiwa kami luar biasa, padahal antara kami terbentang jarak usia yang sangat lebar (kata Tante saya, Bu Tutuk, yang juga dekat dengannya, kami lebih Bung Karno dan Bu Inggit daripada Bung Karno dan Bu Inggit:)). Yang paling saya kagumi dari hubungan kami adalah, walaupun berbeda jauh dalam hal usia, agama, bahasa, dan terlebih budaya, tapi apa yang membuat saya tertawa membuatnya tertawa, demikian sebaliknya. Ia adalah orang kedua setelah Meme yang pernah membuat saya BENAR-BENAR TERJUNGKAL DARI KURSI, gara-gara lawakannya yang sangat orisinil dan lucunya luar biasa (dan sampai kini belum ada orang ketiga yang bisa melakukannya).

Sama halnya dengan Meme, dengan Ehmida ini saya juga cekikikan sepanjang waktu. Apa saja kami jadikan bahan lelucon. Kami juga punya selera humor yang seringkali bersifat ‘untuk kalangan terbatas’. Ini membuat kami sering cekikikan sendiri kalau sedang kumpul dengan teman-teman, sementara yang lain bertanya-tanya di mana letak kelucuannya:). Dia sangat tergila-gila pada saya karena selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan saat ia sedang sedih atau marah sekalipun. Dan berhubung dalam hal ini ia juga sangat licik, maka ia selalu berhasil menggagalkan acara marah-marah saya dengan cara ngebodor. Kalau saya menahan tawa dalam upaya memertahankan wibawa, ia malah semakin menggila. Paling sebel kalau saya sedang marah-marah, eh, dia nyaut, pakai Bahasa Indonesia pula. Bahasa Indonesianya membuat telinga cedera, dan saya selalu menyuruhnya tutup mulut dengan kesal tiap kali ia berlatih Bahasa Indonesia di depan saya. Sebaliknya, ia paling sebel kalau lagi marah-marah saya menanggapi dengan tenang,”Kamu kok marah-marah terus sama aku dari kemarin kenapa? Lagi mens, ya?”. Lalu sambil menahan tawa jengkel ia berkata dalam Bahasa Indonesia,”Kamu kurang ajar, ya!”. Kelakuan ini membuat kami masing-masing, semurka apapun, selalu berakhir sebagai pecundang dengan cara yang menyenangkan.

Namun betapapun manis dan lucu, sesungguhnya ia seringkali menjengkelkan. Ia selalu jam karet dan kelihatannya justru sengaja berlama-lama kalau saya mulai mengomel karena kelamaan menunggunya. Hal lain yang bikin sebel adalah kalau kami hang out dimana saya pakai baju casual, ia malah sengaja pakai kostum jling-jling lengkap dengan sepatu cetok dan kemeja berkerah kaku yang mengingatkan saya pada pesulap jalanan. Kalau saya sudah berseru,”Seriously, sugar? What are you? Gay of the year?!”, barulah ia mau ganti baju. Selain itu ia juga suka uring-uringan tanpa sebab (biasanya kalau sedang homesick). Kalau sudah rewel begitu ia bisa marah-marah terus tanpa alasan jelas, dan apa saja yang saya lakukan pasti salah di matanya. Masih mending kalau ia ngomel-ngomel panjang lebar. Kalau sudah mendiamkan, nah, itu yang bikin capek. Soalnya saya musti sibuk menerka-nerka kesalahan apa yang saya lakukan, lalu membujuk dan merayunya seakan ia adek kecil yang merajuk karena ditinggal pergi Ayah dan Bunda. Namun betapapun rewelnya dia, saya senantiasa tegar dan bersabar. Tapi saya paling tidak tahan kalau ia marah-marah karena menurutnya saya melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan adat di negaranya. Sungguh tidak adil! Kalau sudah begini saya menghardik sewot,”How am I supposed to know that it’s not proper according to your culture? Your country and its blablabla is far away from here, Mas Bro! Tiketnya mahal! Jadi mumpung di sini, sesuaikan saja dengan adat kami. Ngirit, nggak perlu beli tiket segala. Faham?!” Mengendus gelagat keadaan bakal berbalik, ia cepat-cepat berkata dalam Bahasa Indonesia,”Ah, sutralah, aku capek deh,” sambil melambaikan tangan dan memutar tubuhnya yang tinggi besar gelap super kekar itu dengan gaya bencong tulen. Entah dari mana atau siapa ia memelajarinya.

Kadang-kadang ia juga bisa sangat menyakitkan. Berhubung wangi, ganteng, gagah perkasa, sopan, charming, banyak duit, dan sebagainya, maka wajar kalau kemanapun ia selalu dikerubutin cewek-cewek. Dan ia senantiasa pamer-pamer pada saya tentang segala gadis yang mengejar-ngejarnya dan silih-berganti mendatangi tempat kosnya itu. Ia melibatkan saya dengan semua cewek itu, lalu membangga-banggakan diri dengan sikap pongah. Untunglah, banyak dari cewek-cewek itu yang enggak cakep (menurut standart saya), yang mana tentu saja saya jadikan bahan olok-olokan. “Kalau ada yang cakep bangunkan aku, ya,” kata saya sambil menguap untuk kesekian kali di tengah cerita setinggi langitnya, lalu pura-pura tidur. Saya menzoliminya dengan seribu satu cara dan biasanya ia hanya mampu  mengeluarkan pembelaan yang lemah. Namun suatu hari saat saya melecehkan satu demi satu para cewek itu secara detil, mendadak ia mengguntur,”LOOK AT YOUR SELF!!! YOU’RE ALMOST EXPIRED!!!”. Hakjleb stadium sepuluh, apalagi TKP-nya di restoran yang fancy!

Namun segala kelakuan busuknya itu tertutupi oleh jutaan hal baik yang ia miliki. Ia menyayangi anak-anak saya terutama si piyik Kinasih. Tiap kali Kinasih sakit ia bukan hanya keluar biaya tapi juga ikut merawat hingga Kinasih ceria kembali. Ia juga gusar manakala saya memarahi si kecil (“Don’t do that to her, she’s just a little baby,” demikian katanya selalu, padahal saya hanya sedikit menyentil telinga si kecil. Kinasih yang tahu kalau dibela langsung lebay dan menangis menyayat hati dalam gendongan dan belaian Si Oom. Mereka benar-benar membuat saya tampak seakan-akan ibu yang ndolim). Ia melewatkan tak terhitung waktu bersama kami entah dengan cara memasak, makan bersama, bermain, nonton film, nonton acara-acara nggak penting di tivi-tivi Indonesia, jalan-jalan, dan sebagainya. Ia menganut prinsip ‘man deals with the bills’ dan paling geli kalau saya berkata dengan nada merayu jijay,”What would I do without you, my darling walking wallet?”. Ada cerita lucu. Kalau lagi makan di luar, belanja, atau kegiatan lain di mana ia harus keluar duit, para kasir selalu memberikan kembalian pada saya (ia selalu menyebut sikap kasir itu sebagai ‘ketidakadilan gender’, soalnya si laki-laki yang keluar duit kok kembaliannya diberikan ke si perempuan). Dan berbagai uang kembalian itu otomatis selalu saya kantongin tanpa prasangka. Suatu hari di luar kebiasaan, saya memberikan uang kembalian padanya dan iapun bertanya heran,“Why don’t you keep it?” Saya ganti membalas dengan wajah heran,” What do you think I am, a cheap sh*t? It’s only nine thousand rupiahs!” Dia ngakak tak henti-henti.

Ada lagi. Kalau belanja ia selalu ngintil sambil membawa keranjang dan sigap membayar semua belanjaan saya tanpa diminta. Suatu malam kami pulang dari acara apa gitu lupa, terus di mobil dia ngajak berantem. Kalau dia lagi sewot model begini biasanya saya mengalah, daripada ribut macam orang pacaran yang lagi cemburu-cemburuan. Tapi berhubung sejak di acara kelakuannya memang sudah bikin bete, walhasil saya ladenilah ajakannya. Kamipun bertengkar dengan suara keras di mobil. Lewat di sebuah mart, saya bilang dengan ketus,”Heh, berantemnya break dulu! Mampir ke mart situ, persediaan di rumah habis.” Akhirnya ia juga turun dan membeli berbagai keperluannya. Dan ia membiarkan saya memilih barang serta menenteng keranjang belanjaan sendiri, yang mana tak saya pedulikan karena sedang betul-betul kesal padanya. Ternyata ia duluan selesai dengan belanjaan sudah di dalam plastik. Sementara belanjaan saya dihitung, dia tetap berdiri di kasir tapi sambil melengos dengan mulut monyong. Namun begitu saya merogoh uang dari tas, ia memandang saya dengan gahar dan berkata,”Kamu pikir kalau aku marah terus tidak bertanggung jawab?” Saya melongo, dan lebih melongo lagi ketika di dalam mobil ia KEMBALI MENGAJAK BERANTEM :).

Masih ada lagi. Suatu hari saya minta antar belanja keperluan seminggu di sebuah mart dekat rumah. Saat mendarat di tempat parkir, di luar kebiasaan dia bilang,”Aku tunggu di sini saja.” Saya mengangkat bahu,”Fine by me. But where’s the money?” lalu menadahkan tangan. Melihatnya ungu menahan tawa sebab saya tega minta duit, saya berkata cepat,”I’m a woman, what do you expect?”. Dia tambah ungu. Waktu saya keluar, ia masih duduk di motor dengan wajah ungu yang sama. Iapun menjalankan motor pelan karena stang kiri kanan dan sela-sela kakinya penuh belanjaan. Di perjalanan dia bilang,”Padahal aku tadi cuma nge-tes, pengin lihat apakah kamu berani minta duit atau enggak.” Saya menepuk bahunya pelan,”My love, aku lebih tua 12 tahun dari kamu. Tentu saja aku tahu semua trikmu dari awal.” Dia ngakak tak terkendali, sampai motor oleng ke kanan dan ke kiri.

Oh ya, saya pernah melakukan kejahatan finansial terhadapnya, walaupun semua ini sejatinya didalangi oleh Septi. Suatu hari kami dapat undangan kawinan adik teman dekatnya yang akhirnya juga jadi teman dekat saya. Berhubung saya tidak punya kostum pesta dengan segala tetek-bengeknya, maka ia memberi sejumlah uang yang kiranya cukup untuk membeli baju, sepatu, tas centil, dan asesori, karena demikian besar hasratnya untuk melihat saya tampil laksana mbak-mbak di sinetron-sinetron Indonesia. Tapi kemudian ia  berpesan,”Kamu beli sendiri, ya, soalnya aku masih repot jadi nggak bisa nganterin.” Akhirnya saya berencana mengajak Septi yang selalu well groomed dan paling fashionable di antara kami. Saya ke rumah Septi bersama Ambon, tapi sampai di sana Septi malah bilang,”Halah, ngapain sih buang-buang duit? Paling  barang-barang itu cuma kamu pakai sekali. Udah pakai punyaku aja. Baju dan segala perlengkapanku kan banyak banget.” Saya protes, karena kan sudah diberi uang untuk beli perlengkapan mbak-mbak. Septi menghardik,”Goblok! Pakai punyaku, terus uangnya kamu simpan!” Sayapun mematuhi komando Septi, dan sebagai akibatnya dikejar perasaan malu serta bersalah hingga kini. Dosa itu masih saya simpan sampai sekarang karena untuk mengakuinya saya belum punya cukup nyali:). Yang lebih tragis lagi –atau sebaliknya: untunglah- pas hari H malah ia tidak bisa pergi, jadi sama sekali tidak melihat penampilan mbak-mbak saya dengan barang-barang haram itu secara live show:).

Sungguh mengherankan betapa ia demikian betah memberikan perhatian dan pertolongan dalam ribuan bentuk kepada kami tanpa kenal jemu. Menakjubkan pula betapa pria semuda ini begitu tabah mendampingi perempuan menjelang paruh baya yang sedang tertimpa sejuta masalah. “My duty is to make sure that you’re allright. I will be happy only when I see you happy, Kekey,” demikian jawabnya setiap kali saya menyatakan keheranan atas semua kesabarannya dalam menyertai kami. Oh ya, Kekey adalah panggilannya untuk saya, yang dalam Bahasa Indonesia artinya kira-kira ‘wanita kesayangan/saudara perempuan yang paling dikasihi’. Saya sendiri memanggilnya Pepey yang merupakan bentuk maskulin dari Kekey. Di luar itu saya memanggilnya ‘Jo’ (singkatan dari ‘Paijo’) dan belakangan ‘Ndhut’, karena kian lama dengan saya dia kian gendut.

Ia menghabiskan banyak waktu, pikiran, dan tenaga untuk memastikan kami tetap riang gembira, sekalipun sedang dalam kurungan sakit hati dan duka. Ia juga selalu baik pada semua orang, ramah-tamah, periang, tulus dan ikhlas dalam memberi, tidak pernah berprasangka buruk, dan cenderung selalu ingin membantu orang lain. Mengenai dirinya secara keseluruhan, selama hidup saya selalu percaya bahwa saya tidak ada satupun laki-laki sebaik Bapak saya, hingga ia datang untuk membuktikan bahwa saya salah. Saya curiga, saat menciptakan hatinya dan hati Bapak saya, Tuhan pasti menggunakan cetakan yang sama. Ia adalah orang pertama yang mendorong saya untuk kembali menulis serta mewujudkan support itu dalam berbagai cara, dan bukannya support verbal atau moral saja. Dengan penuh dedikasi ia membangun kembali rasa percaya diri saya yang kala itu hancur entah dalam berapa ribu keping. Ia mengumpulkan semuanya dengan sabar, satu demi satu, bahkan pada saat saya menyerah dan berkata,”This is it! Call me zombie!”. Ia adalah orang yang terus-menerus dengan cara lembut memaksa saya, untuk tidak berhenti mengampuni dan mendoakan beberapa orang yang ketika itu ‘membunuh’ saya. “Though your voice sounds like thunder but you have a really tender heart, Kekey. And good heart doesn’t surrender to the devils.” Demikian ia terus-menerus mengingatkan saya tanpa membuat saya merasa sebagai terdakwa.

Suatu hari saya merasa tidak kuat lagi dan tiba-tiba muncul di hadapannya dengan berurai air mata, sambil menjerit histeris secepat rentetan peluru tentara,”I’m done! To hell with them! Dan kalau kau berani menyuruhku untuk mendoakan mereka lagi, aku akan menendang bokongmu sampai kau terbang pulang ke negaramu tanpa perlu beli tiket!!!” Sambil berusaha menyembunyikan tawa atas nama deraian air mata saya, pelan-pelan ia hapus lelehan sakit hati itu dengan jarinya yang segede-gede pisang gablog, lalu berkata sangat lembut,”Kenapa baru menyerah sekarang? Kenapa tidak dari kemarin atau kemarin dulu? You’ve been this far, so hangin’ there. What are you scared of actually? You’ve got me, and as far as I remember, you always said that I must be sent from up above to help you through this. And in case you don’t know, I knew right from the start that God created you as a winner. Kamu adalah pemenang, Kekey! Apakah pemenang akan menyerah terhadap orang-orang jahat itu? Jangan biarkan kejahatan mereka menang atasmu. Jangan biarkan mereka tertawa bersama setan-setan itu. Tidak perlu menendang bokongku karena tiketku ke sini pergi-pulang, jadi tendang saja bokong setan-setan itu dengan doa-doa dan puasamu!” Saya tertawa di antara isak yang masih tersisa. Demikianlah ia mengingatkan saya, untuk terus-menerus mendoakan dan mengampuni orang-orang yang menghancurkan dan merenggut semua yang berarti dari hidup saya ketika itu. Ia tidak pernah menyerah menghadapi saya yang begitu keras kepala bahkan saat putus asa sekalipun. Waktu saya mengeluh dalam isak tangis bahwa Tuhan salah besar karena mengira saya begitu kuat dengan memberi ujian begini berat, sambil mencibir ia berkata,”Mana yang benar, kamu yang menciptakan Tuhan atau sebaliknya? Kalau sebaliknya, berarti Ia tidak salah, karena tidak ada yang lebih mengerti kamu daripada Pencipta-mu. Dan mustinya kamu bangga karena ujian seberat ini sama artinya dengan klaim bahwa kamu cukup kuat, baik, dan cerdas. Got that, my beloved stupid Kekey?”

Di luar itu semua, ia tahu benar membuat saya merasa sangat berarti dengan cara menghargai sekecil apapun hal yang saya lakukan untuknya. Ia selalu mengatakan bahwa tidak ada orang yang pernah memerhatikan dan merawatnya sampai sedetil dan setulus yang saya lakukan. Dan ia selalu mengucap terima kasih untuk semua itu, padahal sejujurnya, sesungguhnya, apa yang saya lakukan padanya sama sekali tak ada seujung kuku hitamnya dengan semua yang telah ia berikan. Ia punya segudang teman dekat dari berbagai bangsa karena segala sifat baiknya. Namun ia membuat saya merasa amat berharga, dengan menjadikan saya tempat mencurahkan semua hal yang ia alami dan rasakan. Untuk setiap masalah, besar atau kecil, ia datang pada saya. Ketika saya tidak bisa memberikan solusi sekalipun, ia tetap berkata,”Kenapa kamu selalu membuatku merasa nyaman dan lega? Tanpamu aku tidak bisa apa-apa.” Bahkan saat saya hanya duduk diam mendengarkanpun masih juga dia berkata,”No one understands me the way you do. God really bless you, habibati.” Sungguh indah caranya membesarkan jiwa, dan saya tahu Tuhan memberkatinya!

Masa kecil, kepedihan, luka-luka di masa lalu, kejadian sehari-hari, cita-cita, harapan, kerinduan, ketakutan, dan kekhawatiran, adalah semua hal yang ia bagikan hanya pada saya. Jika ada temannya yang ingin mengetahui suatu hal mengenainya atau mengatakan sesuatu tapi karena suatu hal sungkan menyampaikan padanya secara langsung, mereka pasti datang pada saya. Dianggap berarti oleh seorang pecundang yang kesepian tentu sama sekali bukan hal yang membanggakan. Namun dijadikan pelabuhan oleh sosok yang disukai semua orang pastilah hal yang sangat istimewa. Dan itu membuat saya merasa sangat terhormat. Seakan itu semua belum cukup, ia masih juga mengklaim saya sebagai ‘ibu, ayah, kakak lelaki, kakak perempuan, kekasih hati, belahan jiwa, teacher, dan path leader’. Hingga detik ini saya masih sering tak mengerti mengapa ia menganggap saya demikian berarti, sekeras apapun usahanya meyakinkan saya. Hatinya memang manis luar biasa.

Ketika saya kembali ke Manado, ia kehilangan arah karena ditinggal pergi orang yang paling ia percaya sepanjang hidup. Teman-teman dekatnya bahkan meminta saya kembali ke Semarang karena ia benar-benar bagaikan anak ayam kehilangan induknya. “Kasihan momonganmu, Mbak May. Kelakuannya sekarang aneh, bahkan dia mulai bergaul dengan orang-orang nggak jelas, Mbak,”demikian kata mereka. Namun tangan saya terikat. Hati sayapun patah, dan satu-satunya alasan saya tetap bisa berjalan lurus hanyalah karena saya punya bekal pengalaman hidup 12 tahun lebih lama darinya. Semua hal mengingatkan kami akan satu sama lain, dan kami jatuh bangun dalam waktu yang lama untuk kembali menegarkan diri. Hati kami kembali patah ketika ia pulang ke negaranya. Saya mungkin sedikit berlebihan membandingkan hubungan kami seperti Kahlil Gibran dan May Ziadah yang selalu merasakan keberadaan satu dengan lainnya, meskipun mereka sama sekali tak pernah bertemu selama 30 tahun menjalin hubungan platonic. Namun demikianlah kami laksana Kahlil dan May ketika sudah berhasil berdamai dengan diri sendiri atas perpisahan ini. Ia selalu ada dalam setiap hal yang saya pikirkan. Ia selalu membayangi, mengawasi, dan melindungi dalam setiap perkara yang saya lakukan. Beberapa kali saat sedang memikirkan sebuah tulisan, entah bagaimana dengan jelas saya bisa mendengarnya mengungkapkan pendapat, seperti dulu ketika kami berdiskusi mengenai tulisan-tulisan saya. Pernah 4 kali saya menguji apakah itu hanya halusinasi semata. Saya memancingnya dengan topik dimana saya merasa mendengarnya berpendapat, dan ternyata SEMUA PENDAPATNYA TERNYATA TEPAT SEPERTI APA YANG SEAKAN SAYA DENGAR. Saya tidak tahu misteri pekerjaan Tuhan dengan segala malaikat-Nya, namun saat itu juga saya tahu satu hal: ia adalah malaikat tanpa sayap yang dikirim dari atas untuk membantu saya melewati apapun, tak peduli sejauh apa jarak memisahkan kami.

Yang paling menyentuh, ia bersikeras hanya mau melihat yang terbaik dari saya dan dengan sengaja memilih memandang sepi semua kekurangan saya. Suatu hari saat ia sudah pulang ke haribaan ibu pertiwinya, dengan sedih saya curhat bahwa saya kehilangan damai sejahtera karena sedang sangat tidak menyukai seseorang. Begitu tidak sukanya saya pada orang itu bahkan sampai pada taraf nyaris membencinya. Ia terperanjat dan berkata,”No way! You must be talking about someone else, because that person is not my Kekey!” Tak punya pilihan lain, saya bersikukuh,”Well, this is your Kekey now. She’s changed a lot.” Dan sayapun segera menyiapkan diri untuk dimarahin, karena memang saya paham bahwa sesungguhnya kelakukan saya busuk dan saya membenci diri sendiri karena ini. Tak dinyana ia malah kembali ngeyel, bahwa saya selalu baik pada siapa saja termasuk orang yang menyakiti, dan sebagainya. Kalaupun marah sampai ngamuk hanya sebentar, dan betapa saya punya hati yang ‘clear and pure as a child’. Saya menolak keras, karena ini sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang sedang saya jalani. Kamipun eyel-eyelan, dan karena bosan akhirnya dengan tegas dia berkata,”You listen to me! This is only the temporary Kekey! Kekey yang busuk ini hanyalah Kekey asli yang sedang salah jalan dan pasti tidak akan lama, karena Kekey yang asli sangat baik.”

Bahkan di saat saya salah jalanpun ia menuntun saya kembali tanpa sedikitpun menudingkan jari! Ia sungguh manis, teramat manis, dan tahu bagaimana caranya membesarkan hati. Ia benar-benar kakak lelaki, kekasih hati, belahan jiwa, ibu, ayah, dan pohon peneduh pada saat yang bersamaan. Itulah salah satu hal yang membuat hubungan batin kami sangat kuat. Seringkali saya tak bisa tidur karena merindukan hari-hari bersamanya, lalu setelah berdoa meminta Tuhan melindunginya sayapun bisa tidur dengan tenang. Ternyata esoknya ia menceritakan hal sama seperti yang saya rasakan, sebelum saya sempat bercerita akan apa yang saya alami. Beberapa kali tanpa saling bercerita dan sepakat, kami mendapati bahwa ternyata kami berdoa bahkan berpuasa untuk satu sama lain. Tak terhitung berapa kali kami memikirkan, melakukan, dan merasakan hal serupa pada waktu yang sama, padahal kami dipisahkan oleh jarak dan waktu yang begitu lebar dan panjang. Bahkan Kinasihpun merasakan hal yang sama. Suatu hari ia tiba-tiba menangis meraung-raung merindukan Om Mayda (demikian Kinasih memanggilnya), dan menghabiskan waktu seharian membicarakan semua kenangan manis mereka. Besoknya, saya mendapati inboxnya yang masuk waktu subuh yang berarti sekitar jam sembilan malam di sana, berkisah,”Sepanjang hari ini aku gelisah. Ternyata aku merindukan Kinasih, dan hampir tidak berhasil menahan air mata waktu mengenangnya.” Betapa melegakannya ketika seseorang menerima kita secara keseluruhan sebagai paket yang utuh! Sekarang, setiap kali mengingat masa-masa pencobaan yang kelam itu, saya selalu bersyukur bahwa sekalipun luar biasa pahit ujian yang Tuhan berikan, namun Ia begitu murah hati memberikan silih berupa sesosok malaikat penghibur dan pelindung tanpa sayap, yang senantiasa berjaga-jaga bagi saya.

Semua nama yang saya sebut di dalam dua tulisan ini adalah mereka yang mendampingi saya dalam suka, dan terlebih duka. Dalam masa-masa paling pekat yang saya pikir tidak akan sanggup saya lalui, mereka membantu saya mengeringkan air mata lebih cepat daripada seharusnya. Mereka membuat saya tetap tertawa. Mereka memberi semua yang bisa mereka beri, namun tidak pernah mencela apapun pilihan hidup saya. Dan bila saya salah, mereka menegur tanpa membuat saya berkecil hati. SATU KALIPUN MEREKA TIDAK PERNAH MENGHAKIMI. Apapun yang mereka katakan, mereka membuat saya satu inci lebih tegak lagi. Mereka adalah bukti bahwa Tuhan mewujudkan diri dalam berbagai wujud kelamin, warna kulit, bahasa, dan agama. Saya sangat yakin bahwa ada tali tak terlihat yang menghubungkan tangan mereka dengan tangan Tuhan. Berkat merekalah anak-anak saya sampai sekarang masih punya ibu. Saya tak akan pernah merasakan puncak kebahagiaan sebagai perempuan ketika cucu saya lahir kalau saja Tuhan tidak mengirimkan mereka dalam hidup saya, karena waktu itu memang saya sudah berada dalam tahap sangat putus asa hingga sempat ingin mencabut nyawa sendiri. Air mata saya bercucuran saat menuliskan ini, dan dalam setiap tetesnya mengalir rasa terima kasih saya pada mereka.

Saya berani memertaruhkan apapun yang saya miliki, bahwa kalau saja di negeri ini ada lebih banyak orang seperti mereka, maka tidak akan ada perempuan yang membunuh anak-anaknya karena tekanan mental dan ekonomi untuk kemudian mengakhiri dirinya sendiri. Tidak akan ada orang dengan hati hancur lalu melarikan kehancuran itu pada hal-hal yang jahat; menjadi pelacur, pembunuh, pemukul anak istri, pengguna narkoba, dan lain-lainnya. Jika semua orang menjahit hati temannya yang sedang terkoyak-moyak seperti yang dilakukan sahabat-sahabat saya, maka negeri ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang kuat dan bahagia. Dan negeri dengan orang-orang seperti itu tentulah negeri yang damai dan sejahtera. Orang-orang seperti para sahabat saya itulah yang sangat dibutuhkan oleh negeri kita, Indonesia, yang saat ini penuh dengan hati yang terkoyak. Saya berdoa tulisan ini akan menginspirasi siapapun yang membacanya untuk menjadi seperti, dan bahkan lebih baik, daripada sahabat-sahabat saya. Tuhan memberkati mereka. Tuhan memberkati saya dengan memberikan mereka. Tuhan memberkati anda. Tuhan memberkati Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar