Para Sahabat (I)
Saya adalah
orang yang sangat diberkati, sebab dalam keadaan apapun selalu dikelilingi oleh
teman dekat dan sahabat-sahabat yang mendampingi saya dalam suka dan duka. Dan terlebih
lagi, mereka semua menerima saya apa adanya (ya mesthiii….lha wong kalau mereka
menunjukkan gelagat tidak bisa menerima saya apa adanya, pasti saya langsung
bereaksi. Kalau perlu menghindar secepat kilat :)). Mereka selalu ada pada saat
dibutuhkan, tepat seperti pepatah ‘a friend in need is a friend indeed’. Dan
sekarang ini, saya hendak membagi kisah tentang orang-orang istimewa yang
mendampingi saya di periode paling kelam dalam hidup, dan oleh merekalah saya
kembali bangkit. Beberapa dari mereka adalah:
1.
Mamad (dulu saya
pernah tahu nama lengkapnya, sekarang lupa :)).
Kami sudah berteman
dekat sejak 1998 dan terpisah selama beberapa tahun sebelum akhirnya bertemu
lagi pada medio 2010-an. Ia adalah teman diskusi lintas agama, politik, budaya,
dan blablabla yang sangat mengasyikkan, sekaligus bahan olok-olokan yang sangat
empuk. Kami biasa ngobrol sampai subuh, dan tiap kali habis berdiskusi
dengannya biasanya saya mendapatkan pencerahan. Mungkin karena ia kerap saya
bantu jaman masih susah, giliran saya susah ia gantian menjadi ATM berjalan
yang tulus dan ikhlas. Kalau sedang kepepet saya tinggal telpon lalu
berseru,”Mad, aku BU (Butuh Uang)!”, dan tak lama kemudian sekian juta rupiah
masuk ke rekening saya. Dan jangan salah! Itu semua bukan pinjaman, ya, melainkan
cuma-cuma. Ia juga yang selalu mengingatkan saya untuk tetap sabar dan ikhlas
dalam menghadapi masalah. Tapi belakangan Mamad jadi agak menyebalkan, karena
sering mendesak-desak saya masuk Islam, bahkan membayangkan saya pake kerudung
dan jalan bareng ibu-ibu PKK menenteng kitab untuk belajar mengaji segala :). Biasanya saya menghardik,”Jaman
muda dulu gelagatnya bakal kayak Gus Dur, giliran tua malah simpatisan Amrozi!”
Mamad cengengesan. Kalau saya membentak,”Jangan kau kira semua rupiahmu bisa
membeli imanku!”, ia tambah cekikikan dan justru
kian bersemangat dalam upayanya mengintimidasi saya :).
2.
Gembul (yang ini
boro-boro nama lengkapnya, nama panggilan aslinya saja saya tidak tahu :)).
Ia sudah menjadi
bagian dari keluarga saya sejak SMA, padahal tidak begitu jelas dari mana
asal-usulnya J. Orangnya
sangat lembut padahal badannya segede mesin cuci dua tabung kapasitas 20 kilo.
Sejak dulu kegemarannya mengajak makan, dan tidak peduli sedang bokek atau
tidak, ia sangat royal dalam menghamburkan uang untuk menraktir kami. Kalau diajak
pergi ke toko mainan oleh Gembul, motto yang saya tanamkan pada si kecil Kinasih
adalah ‘Shop ‘till Oom Gembul Drop’ :).
Sejak dulu ia juga menganggap saya super woman, dan lebih sering tanpa alasan
jelas. Misalnya saat membicarakan perempuan-perempuan jaman sekarang, dengan segenap keyakinan ia
berkata,”Cewek-cewek sekarang nggak kayak kamu yang apa-apa bisa, May, bahkan
termasuk urusan rumah tangga.” Haaa??? Maksudnya??!! Lha wong rumah selalu
berantakan, baju-baju cuma dilipat begitu saja termasuk baju pergi (saya
terakhir menyetrika baju mungkin setahun lalu atau bahkan lebih :)), kalau masak selalu sambil
ngomel-ngomel dan merasa terdzolimi tanpa alasan, bahkan bikin teh hangat saja
rasanya seringkali lebih mirip kobokan (kalau saya buatkan teh, Gembul biasanya
menambahkan ini atau itu supaya rasanya jadi agak mendingan J), lalu atas dasar apa semua
puja-puji tersebut ia lontarkan? Tapi semua protes saya tak pernah digubris,
dan hingga kini Gembul tetap yakin bahwa saya adalah perempuan terhebat kedua
setelah ibunya. Aneh.
Gembul selalu
memberikan cerita-cerita motivasi yang menyegarkan dan geli setengah mati untuk
setiap lelucon saya, segaring apapun itu. Ini sangat penting, karena saya
selalu berkata pada diri sendiri bahwa ‘daya pikatku terutama adalah karena aku
karena humoris dan apa adanya’ :). Gembul juga
sangat ringan tangan dan bersikap sangat mengayomi. Sabarnya minta ampun, tak
peduli saya sedang rewel sampai ke ubun-ubun sekalipun. Ia adalah jenis orang
yang membuat saya tenang, dan selalu menyayangi saya dengan tulus tanpa
sedikitpun merasa bangga karenanya. Waktu saya kembali ke Manado, ia begitu
diguncang kesedihan sampai bicaranya tersendat-sendat. Kalimat perpisahannya
yang paling membuat sanubari saya tergetar adalah,”Di mana lagi aku bisa
menemukan orang yang bisa kuajak nge-trek makan petai?”
Hal yang
menyebalkan darinya adalah dia gendut banget, sampai melihatnya saja saya
berasa sesak napas. Terus tampangnya selalu kucel, padahal jaman
duluuuuu….banget sepertinya pernah agak cakep. Mbak Na dan Dik Pita, salah satu
kakak dan adik saya, malah bersikukuh bahwa di balik semua timbunan lemak itu,
sesungguhnya tersembunyi wajah setampan Tommy Soeharto (“Versi lecek,” balas
saya tandas). Yang lebih ngeselin, kalau saya paksa diet dan make over dia
malah berkelit,”Memangnya kalau aku ramping dan mempesona, kamu mau kawin sama
aku, gitu?”.
3.
Herdie ‘Simbah’.
Sebenarnya ia
tidak pernah masuk dalam daftar sahabat saya. Herdie ini teman SMP dan baru
sering ngobrol justru ketika kami lulus dan masuk SMA berbeda. Ceritanya,
lulusan SMP kami dulu kebanyakan melanjutkan ke SMA Katholik favorit juga.
Hanya segelintir yang mau masuk SMA negeri, diantaranya saya untuk memenuhi
keinginan Bapak. Walhasil teman-teman jaman SMP (cowok semua, karena dulu saya
tomboy banget) yang pada masuk Kolese Katholik itu tiap hari menyatroni rumah
saya. Mereka sering bolos dan memenuhi sesaki rumah (termasuk kamar saya),
sedangkan saya sendiri rajin berangkat sekolah dengan motivasi bertemu
teman-teman dan menunggu bel pulang berdentang. Adalah hal biasa bila pulang
sekolah saya mendapati cowok-cowok gondrong kumal itu –termasuk Herdie- bergeletakan
seantero rumah bagai sampah masyarakat, atau membuat kamar saya jadi baunya
minta ampun.
Sutralah.
Singkatnya, hampir 20 tahun kemudian saya memasuki fase paling pahit dalam
hidup, dan Herdie mendadak muncul. Belakangan ia tahu saya gemar menulis, dan
membuatkan blog berbayar ini. Ia juga memberi saya banyak dukungan, motivasi,
dan semangat hidup, padahal kondisinya juga lagi susah. Mengenai ini, ia
mengatakan hal yang membuat saya terharu. Jaman SMA dan sering bolos di rumah
saya, beberapa kali malam Minggu saya dan Ibu mendapati Herdie tetap nongkrong
di rumah sementara yang lainnya sudah pada kabur. Siap-siap malam Mingguan,
termasuk saya. Kami heran kenapa dia tidak siap-siap, dan dia bilang nggak
punya duit sepeserpun, jadi mendingan ngadem di kamar Si May aja. Lalu dia
tidur, dan saya pikir cerita berakhir sampai di sini. Ternyata waktu bangun,
dia menemukan di dompetnya sudah ada sepuluh ribu perak. (jaman dulu duit
segitu gede banget, dan seingat saya cukup buat nonton dua orang lalu pulangnya
makan di restoran fastfood). Herdie bilang pelakunya kalau bukan saya ya pasti
Ibu, karena hanya kami berdualah yang tahu bahwa dia bokek total. Itulah salah
satu hal yang membuatnya sangat menyayangi saya dan Ibu, dan terus mengenangnya
hingga detik ini. Padahal suwer, saya benar-benar tetap tidak ingat pernah
melakukan hal itu, tak peduli sekeras apapun usaha Herdie untuk mengingatkan
saya. Dan ia merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa membalas kebaikan yang
dulu pernah saya lakukan padanya. Saya sampai berkaca-kaca, tidak percaya
Herdie begitu baik sampai mengingat hal-hal semacam itu; hal-hal yang saya
abaikan begitu saja. Hal yang menyebalkan darinya adalah kalau ngomong nggak
jelas. Jadi kalau ngobrol lewat telepon, saya terus-menerus berseru,”Haaa? Apa?
Ngomong apa? Ulangin!” Kesannya kan saya budheg banget.
Catatan: Mamad, Gembul, dan Herdie ini adalah
cowok-cowok yang sama sekali enggak lucu (yang biasanya langsung saya coret
dari daftar teman –apalagi jadi sahabat. Mimpi!- karena saya paling malas
berdekatan dengan orang yang tidak humoris. Namun kekurangan yang sangat
penting itu dihapus oleh segala kelebihan mereka yang jauh lebih penting.
4.
Septi (saya tidak pernah
tahu nama lengkapnya J), teman sekelas
jaman SMA yang psikolog atau apalah gitu dan punya sekolah, tapi kalau sedang
ada masalah ya curhatnya ke ‘guru spiritual’ gratisan yang selalu berhasil
memberi solusi terbaik: Yuanita Maya :).
Septi adalah pendengar yang sangat baik (mungkin karena sudah terbiasa
memberikan terapi pada orang-orang bermasalah). Ia sangat menyayangi Kinasih
serta memenuhi semua keinginannya, sehingga Kinasih memanggilnya Mami. Ia
selalu mendorong saya untuk melakukan hal-hal yang berguna bagi orang lain,
walaupun kemungkinan ia tidak menyadarinya. Ia adalah orang yang selalu ingin
memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya, dan untuk ini saya sangat
mengaguminya. Hal berikut yang membuat saya mengaguminya adalah karena ia dan
suaminya pacaran sejak SMA (jaman dulu saya pernah naksir suaminya yang juga
teman sekelas :)), dan mereka
sangat kompak sampai hari ini. Plus ia berhasil mendidik anak-anaknya dengan
sangat baik meskipun sibuk luar biasa.
Namun ada dua
hal yang menyebalkan darinya. Yang pertama, kalau saya sedang under pressure,
dia justru memberi saran psikologis
yang menyesatkan. Contohnya saat saya stress berat gara-gara ditinggal Inoy si
anjing angkat sampai-sampai mengalami delusi (lalu parno sendiri karena saya
pikir saya sudah gila), dengan cueknya Septi bilang gini, “Yaaaah, anggap saja
dirimu adalah anak indigo.” DHANG! Kelas kambing banget nggak, sih?! Saya
ngamuk-ngamuk mendengar solusi yang melecehkan itu dan dia malah cekikikan. Akhirnya
kami cekikikan berdua, yang kemudian lumayan meredakan stress saya. Well,
paling tidak mission accomplished :).
Hal kedua yang menyebalkan darinya adalah: dia tidak bakal menelepon atau sms
duluan, kecuali kalau BENAR-BENAR perlu. Sialan. Tapi paling tidak dia
menganggap saya soulmate, jadi cukuplah itu menghibur hati yang terluka atas
kelakukannya yang sok Y.
5.
Siti ‘Ambon
Centeng’ Amanah,
yang seperti Septi juga merupakan teman sekelas waktu SMA, terpisah selama
bertahun-tahun, dan kembali dekat belakangan tahun ini. Ia benar-benar sosok kekar
ber-aura centeng asal Ambon nan berhati keibuan (kesan itu sekarang sudah jauh
berkurang, karena belakangan tahun ini ia selalu memakai busana muslimah yang
rapat, termasuk memakai jilbab untuk menutupi rambutnya yang MW –Mak Whug a.k.a
ngembang banget :)). Preman yang
satu ini baiknya luar biasa. Ketulusannya sering membuat saya merasa sebagai
seorang pecundang. Yang membuat saya kagum, ia mengingat semua kemurahan hati
yang saya lakukan padanya belasan tahun lalu, PADAHAL SAYA SAMA SEKALI TIDAK
MERASA MELAKUKANNYA, APALAGI MENGINGATNYA. Ia selalu kelimpungan setiap kali saya mendapat kesulitan,
dan hanya bisa tenang kalau sudah berhasil membantu saya. Menghadapi kebiasaannya
ini, saya (yang tak tahu terima kasih) dan Septi ngerasanin sambil cekikikan, intinya: Lha wong yang kena saja masalah
biasa-biasa aja, kenapa dia yang petakilan,
ya? :).
Walaupun anaknya
empat berurutan bagai penghuni panti asuhan (saya dan Septi tak pernah berhasil
mengingat nama anak-anak itu), tapi dia sangat memerhatikan Kinasih. Perhatian
itu membuat si kecil lebih suka memanggilnya Umi A’am ketimbang Tante Ambon
seperti yang saya dan Septi ajarkan. Ia juga orang dengan semangat belajar yang
tinggi, sampai kami sering meledeknya, “Hobi kok kuliah.” Dengan empat anak laki-laki
yang masih pada precil (paling tua kalau
tak salah kelas II SD dan yang bungsu balita), ia punya dua gelar sarjana, dan
belum lama ini menyelesaikan studi notariat atau apalah. Benar-benar semangat
yang membara, terlebih secara finansial ia masih jauh dari ukuran kaya.
Ambon adalah
orang yang sangat setia kawan, selalu membantu saya mengurus ini itu, dan rajin
menemani saya sana-ke mari di sela-sela pekerjaan, kesibukan kuliah, dan
kerepotan mengurus empat cindhil. Dalam masa-masa sulit ketika itu, ia berjuang
keras untuk membuat saya merasa terhibur. Ia juga sangat setia mendengar setiap
keluh kesah saya, walaupun tanggapannya lebih sering enggak nyambung dan malah
bikin emosi :).
Yang menyebalkan
darinya adalah ia suka ngerasanin kekurangan teman lain, dan sering saya
bentak-bentak karena ulahnya ini. Kalau saya marah-marahi begini biasanya dia
hanya mengibaskan tangan sambil berkata,”Engko sik, to! (‘Ntar dulu, dong!)”,
lalu lanjut ngerasanin. Hal menyebalkan kedua adalah kelakuannya yang sering
memancing emosi dengan cara-cara yang sama sekali tak bisa dijabarkan dengan
kata-kata. Tapi setiap kali kami hardik dan damprati, Ambon hanya cekikikan
dengan ekspresi yang membuat kami justru tambah emosi. Ia benar-benar personifikasi
Dr. Jeckyl and Mrs. Hyde; di satu sisi sangat baik dan di sisi lain memancing
orang menjadi ndolimin :). Oh ya, jam
karetnya KW1. Kalau saya, Septi, dan anggota genk ‘The Mbecak Sisters’ lainnya bikin
janji misalnya jam lima, kami akan bilang bahwa kencan kami adalah jam 3!
6.
Feni Setiawati
a.k.a Meme a.k.a Cina 5 watt (karena Cina tapi item banget, sampai
kalau kami jalan SELALU saya yang dikira Cina :)).
Kami bertemu di
tempat kos jaman kuliah, dan sejak itulah kami bersahabat erat. Dari dulu,
entah kenapa, kami sering marahan bagai anak kecil baik kala berdekatan maupun
berjauhan. Bedanya saya kalau marah mendiamkan, sedangkan dia membentak-bentak (kalau
sedang face to face kadang sambil kakinya dihentak-hentak. Kalau dia sudah
histeris begitu, biasanya saya pura-pura terpekur dan memasang mimik terpukul,
tapi sambil cekikikan dalam hati dan membatin,”Kok malah kayak nge-rap sambil break
dance, ya?” :)). Saya sendiri pernah
begitu marah lalu mendiamkannya sampai beberapa tahun. Sebetulnya tidak berniat
mendiamkan selama itu, sih, tapi kemudian
sibuk sendiri terus kelupaan sampai sekitar 3 tahunan. Serius.
Kami dekat
dengan keluarga masing-masing, karena sejak dulu sering menginap di rumah satu
sama lain. Saudara-saudara perempuannya (Yuli, Linda, dan Vera) juga sangat
welcome pada saya dan Kinasihpun dekat dengan keponakan-keponakannya. Maminya
baik hati dan jago masak. Mami juga cuek walaupun tiap kali saya tidur di sana,
Meme dan saya selalu cekakakan dan bertingkah bagai orang gila dari pagi sampai
malam sejak hari kedatangan saya, sampai saya melambaikan tangan dari dalam bis.
Beliau bahkan tidak merasa terganggu saat nonton sinetron kesayangannya, saya
dan Meme ngobrol dengan suara menggelegar di ruang yang sama, lalu
ngakak-ngakak sampai bergulingan di lantai. Paling-paling Mami hanya menyela,”Dari
tadi ketawa terus apa nggak lemes? Makan dulu sana.” Kamipun break makan sesaat,
lalu membuat keributan lagi sampai larut. Kadang-kadang kami mengisi waktu melakukan
kegiatan tak bermutu seperti mencoba berbagai kostum ajaib lalu joged-joged dan
foto-fotoan atau hal-hal memalukan lain, padahal sudah sama-sama tuwir. Mami
tetap cuek dan stay tune dengan sinetronnya tanpa sedikitpun usaha untuk
menegur kelakuan kami. Pernah kami telpon-telponan sambil cekikikan padahal ada
dalam satu kamar, sehingga Abel, anak sulung saya, berkomentar
singkat,”Idiotis.” Pokoknya asal bersama Meme bahkan hingga kini, level idiot
saya melonjak melewati ambang batas, sehingga kalau kepala saya dipasangin
mesin deteksi ketololan, pasti ada suara mbak-mbak otomat berkata,”Over
capacity! Warning! Over capacity! Last warning! Please rebooth!”
Melawan pendapat
umum tentang karakter pelit etnis Tionghoa, Meme adalah Cina yang sangat murah
hati dan itu membuat saya sangat kagum. Kalau melihat kelakuan sesama etnis
yang pelit, ia selalu mengumpat dengan emosi,”Cina edan, pelite ora karuan
(pelitnya enggak karuan)!” Sayapun menghardik,”Kaya dapurmu apik-apik.a dhewe!
Lha memange kowe dudu Cina edan? (kaya mukamu yang paling bagus! Lha emangnya
kamu bukan Cina edan?).” Masih dengan kesal ia berkelit,”Pancen aku Cina edan,
ning kan ora pelit! (memang aku Cina edan, tapi kan enggak pelit!)” :). Ia bahkan pernah berantem
dengan Maminya sambil mengatai,”Mami ki wis Cina, pelit sisan! (Mami tu udah
Cina, pelit lagi!)”. Mami menyahut tak kalah sengit,”Cina ora pelit ki ya dudu
Cina! (Cina enggak pelit itu ya bukan Cina!)” :).
Meme adalah
orang yang sangat sederhana walaupun Maminya boleh dibilang berada. Ia menjahit
baju-bajunya sendiri, tidak neka-neka, gemar sekali memberi pertolongan pada
siapapun, dan sama sekali tak mengagungkan kecantikan ragawi (padahal saya dulu
sangat iri pada kulitnya yang gelap, tubuh pipih tinggi, dan wajah manis dengan
mata bagai kucing. Benar-benar cantik dan eksotis). Ia sangat setia kawan
sekaligus maha bodoh dalam urusan rumah tangga (sekali-kalinya setrika, ia
membuat hati Linda terluka. Waktu itu ceritanya Linda buru-buru sekali ke
sekolah padahal seragam masih kusut. Meme menawarkan diri menyetrikakan seragam
itu, yang ternyata malah berakhir BOLONG DENGAN CETAKAN SETRIKAAN). Hal-hal itulah
yang menyatukan kami dalam jalur yang sama (selain kemampuan menjahit, tentu
saja. Boro-boro bikin baju, saya menjahit bet lokasi seragam anak saja hasilnya
lengan baju malah nempel jadi satu :)).
Karena berbagai kesamaan itulah kami masih langgeng sampai sekarang biarpun
sering sekali marahan (oh ya, kalau saya sedang marah dan mendiamkan, Meme sangat tegar dalam usahanya membujuk. Ia tetap setia mengirim sms, bahkan berkata bahwa dirinya berlinang air mata saat melihat foto saya yang sedang pakai wig kribo. Saat membaca sms itu sebetulnya saya juga berlinang air mata karena rindu dan sesal, tapi tetap jual mahal :)).
Ia juga selalu
tertawa dan memancing tawa. Di kalangan keluarga dan teman-teman dekat, saya dikenal
sebagai joker karena kebiasaan ngebodor
tak kenal waktu dan tempat (apalagi kalau pakai Bahasa Jawa yang membuat urat
malu saya selalu putus, bahkan hingga beradegan komik slapstick di tempat umum). Tapi sesungguhnya saya sama sekali
tidak ada seujung kuku hitam dibandingkan ke-koplak-an Meme. Dia adalah orang paling sinting yang pernah saya temui
seumur hidup. Entah berapa kali ia membuat saya terkencing-kencing di celana, baik
di ruang privat maupun di tempat umum, gara-gara kelakuannya yang seratus
persen sarap. Kami punya kebiasaan sms-an berbentuk pantun atau minimal
persamaan bunyi, dan kalau main pantun biasanya temanya mengandung unsur SARA J. Misalnya suatu pagi saya
mengirimnya pantun:
“Cina kere dodolan tempe, adol awit isuk ora
payu-payu (Cina miskin jualan tempe, jualan sejak pagi nggak laku-laku) J.
Selamat pagi, Me. Semoga hari ini kau sudah siap
berperang pantun denganku.”
Atau begini:
“Cina ora sopan lungguh pekoko’an. Dilokke
uwong Cinane malah ngguyu (Cina enggak sopan duduk pekangkangan. Ditegur
orang Si Cina malah cekakakan) J.
Aku wis ngantuk arep mapan. Tapi sak durunge turu
aku arep ndongakke awakmu (aku sudah ngantuk dan tubuh hendak kubaringkan.
Tapi sebelum tidur aku akan mendoakan dirimu).
Dia begitu
terharu oleh pantun tersebut, sampai-sampai tidak sanggup membalasnya malam itu
juga J. Begitu
dekatnya kami sampai hal-hal seperti itu (yang bagi sebagian orang bisa
dijadikan alasan untuk bakar-bakaran bahkan bunuh-bunuhan) hanya kami jadikan
bahan becandaan. Suatu hari ia pernah sms saya gini,”Aku begitu takut kau
tinggal mati! Sebab kalau kau pergi, siapa yang akan jadi partnerku dalam
sms-an pakai persamaan bunyi?” J. Butuh buku
tersendiri untuk menceritakan kelakuan gilanya dan kelakuan gila kami berdua
sejak jaman kuliah sampai sekarang saya sudah punya cucu. Dan kalau saya
terbitkan (termasuk kumpulan pantun dan sms kami yang sebagian masih saya
simpan), buku itu pasti bakalan membuat Radika Ditya langsung terdepak dari
pasaran J.
Meme adalah
orang yang secara khusus ditugaskan Tuhan untuk menaburkan bubuk tawa dan
kebahagiaan di atas kepala saya, dan saya selalu mensyukuri hari dimana saya memutuskan
untuk menempati kos yang sama dengannya. Saya akan selalu mencintainya tanpa
batas, walaupun ia punya dua kebiasaan yang LUAR BIASA MENJENGKELKAN:
1.
Kalau
melakukan apapun lamanya minta ampun. Saat menunggunya mencuci piring atau apa,
saya sering diam-diam berkhayal menendang bokongnya, menggunduli rambutnya,
atau melakukan berbagai tindak kriminalitas lainnya. Ia tentu saja tak pernah
menyadari ekspresi saya yang penuh kebencian dan haus darah, karena sibuk
berceloteh sambil menyabuni piring yang itu-itu saja sejak 6-9 menit terakhir.
2.
Tiap
kali diajak ngobrol hal yang serius –misalnya masalah bangsa dan negara- PASTI ketiduran
sambil duduk dengan mulut menganga.
Dan setelah saya
pikirkan lebih lanjut, ternyata –selain Meme- nama-nama yang saya sebut di atas
itu adalah teman-teman baik yang lama menghilang bahkan sampai belasan tahun,
kemudian mendadak pada muncul begitu saja saat saya berada pada titik yang
paling nadir dalam hidup. Dan mereka masing-masing memenuhi apa yang saya
butuhkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Kelebihan yang satu menutupi
kekurangan yang lain, sehingga semua yang saya perlukan pun tercukupi. Luar
biasa Tuhan! Ia benar-benar tahu apa yang saya butuhkan, dan memberikannya pada
waktu yang sangat tepat. Sekarang, tiap kali menengok kembali ke masa-masa itu,
saya mengerti bahwa ketika hidup seakan tak ada harapan sekalipun, Tuhan
ternyata diam-diam tengah bekerja. Dan Ia bekerja dengan seribu satu cara untuk
menopang tangan kita, hingga sekalipun kita jatuh tetapi tetap tak akan
tergeletak.
Saya menangis
hari demi hari ketika itu, mengeluh mengapa Ia tak kunjung mengulurkan tangan
dan membantu. Saya meratap dalam doa yang menyayat-nyayat, memohon Ia melakukan
keajaiban yang dahsyat. Namun ternyata keajaiban itu muncul dengan cara yang
sangat sederhana: teman-teman saya. Maka siapapun anda yang tengah berada dalam
himpitan masalah, merataplah. Meratap dan terus berharaplah, karena Ia
diam-diam tengah menyiapkan keajaiban untuk anda yang tengah lelah. Saya tahu
pasti, karena itu semua pernah saya alami. Tuhan memberkati! (Yuanita
Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar