Kamis, 29 Agustus 2013


Para Sahabat (I)

Saya adalah orang yang sangat diberkati, sebab dalam keadaan apapun selalu dikelilingi oleh teman dekat dan sahabat-sahabat yang mendampingi saya dalam suka dan duka. Dan terlebih lagi, mereka semua menerima saya apa adanya (ya mesthiii….lha wong kalau mereka menunjukkan gelagat tidak bisa menerima saya apa adanya, pasti saya langsung bereaksi. Kalau perlu menghindar secepat kilat :)). Mereka selalu ada pada saat dibutuhkan, tepat seperti pepatah ‘a friend in need is a friend indeed’. Dan sekarang ini, saya hendak membagi kisah tentang orang-orang istimewa yang mendampingi saya di periode paling kelam dalam hidup, dan oleh merekalah saya kembali bangkit. Beberapa dari mereka adalah:

1.      Mamad (dulu saya pernah tahu nama lengkapnya, sekarang lupa :)).
Kami sudah berteman dekat sejak 1998 dan terpisah selama beberapa tahun sebelum akhirnya bertemu lagi pada medio 2010-an. Ia adalah teman diskusi lintas agama, politik, budaya, dan blablabla yang sangat mengasyikkan, sekaligus bahan olok-olokan yang sangat empuk. Kami biasa ngobrol sampai subuh, dan tiap kali habis berdiskusi dengannya biasanya saya mendapatkan pencerahan. Mungkin karena ia kerap saya bantu jaman masih susah, giliran saya susah ia gantian menjadi ATM berjalan yang tulus dan ikhlas. Kalau sedang kepepet saya tinggal telpon lalu berseru,”Mad, aku BU (Butuh Uang)!”, dan tak lama kemudian sekian juta rupiah masuk ke rekening saya. Dan jangan salah! Itu semua bukan pinjaman, ya, melainkan cuma-cuma. Ia juga yang selalu mengingatkan saya untuk tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah. Tapi belakangan Mamad jadi agak menyebalkan, karena sering mendesak-desak saya masuk Islam, bahkan membayangkan saya pake kerudung dan jalan bareng ibu-ibu PKK menenteng kitab untuk belajar mengaji segala :). Biasanya saya menghardik,”Jaman muda dulu gelagatnya bakal kayak Gus Dur, giliran tua malah simpatisan Amrozi!” Mamad cengengesan. Kalau saya membentak,”Jangan kau kira semua rupiahmu bisa membeli imanku!”, ia tambah cekikikan dan justru kian bersemangat dalam upayanya mengintimidasi saya :).

2.      Gembul (yang ini boro-boro nama lengkapnya, nama panggilan aslinya saja saya tidak tahu :)).
Ia sudah menjadi bagian dari keluarga saya sejak SMA, padahal tidak begitu jelas dari mana asal-usulnya J. Orangnya sangat lembut padahal badannya segede mesin cuci dua tabung kapasitas 20 kilo. Sejak dulu kegemarannya mengajak makan, dan tidak peduli sedang bokek atau tidak, ia sangat royal dalam menghamburkan uang untuk menraktir kami. Kalau diajak pergi ke toko mainan oleh Gembul, motto yang saya tanamkan pada si kecil Kinasih adalah ‘Shop ‘till Oom Gembul Drop’ :). Sejak dulu ia juga menganggap saya super woman, dan lebih sering tanpa alasan jelas. Misalnya saat membicarakan perempuan-perempuan jaman sekarang, dengan segenap keyakinan ia berkata,”Cewek-cewek sekarang nggak kayak kamu yang apa-apa bisa, May, bahkan termasuk urusan rumah tangga.” Haaa??? Maksudnya??!! Lha wong rumah selalu berantakan, baju-baju cuma dilipat begitu saja termasuk baju pergi (saya terakhir menyetrika baju mungkin setahun lalu atau bahkan lebih :)), kalau masak selalu sambil ngomel-ngomel dan merasa terdzolimi tanpa alasan, bahkan bikin teh hangat saja rasanya seringkali lebih mirip kobokan (kalau saya buatkan teh, Gembul biasanya menambahkan ini atau itu supaya rasanya jadi agak mendingan J), lalu atas dasar apa semua puja-puji tersebut ia lontarkan? Tapi semua protes saya tak pernah digubris, dan hingga kini Gembul tetap yakin bahwa saya adalah perempuan terhebat kedua setelah ibunya. Aneh.

Gembul selalu memberikan cerita-cerita motivasi yang menyegarkan dan geli setengah mati untuk setiap lelucon saya, segaring apapun itu. Ini sangat penting, karena saya selalu berkata pada diri sendiri bahwa ‘daya pikatku terutama adalah karena aku karena humoris dan apa adanya’ :). Gembul juga sangat ringan tangan dan bersikap sangat mengayomi. Sabarnya minta ampun, tak peduli saya sedang rewel sampai ke ubun-ubun sekalipun. Ia adalah jenis orang yang membuat saya tenang, dan selalu menyayangi saya dengan tulus tanpa sedikitpun merasa bangga karenanya. Waktu saya kembali ke Manado, ia begitu diguncang kesedihan sampai bicaranya tersendat-sendat. Kalimat perpisahannya yang paling membuat sanubari saya tergetar adalah,”Di mana lagi aku bisa menemukan orang yang bisa kuajak nge-trek makan petai?”


Hal yang menyebalkan darinya adalah dia gendut banget, sampai melihatnya saja saya berasa sesak napas. Terus tampangnya selalu kucel, padahal jaman duluuuuu….banget sepertinya pernah agak cakep. Mbak Na dan Dik Pita, salah satu kakak dan adik saya, malah bersikukuh bahwa di balik semua timbunan lemak itu, sesungguhnya tersembunyi wajah setampan Tommy Soeharto (“Versi lecek,” balas saya tandas). Yang lebih ngeselin, kalau saya paksa diet dan make over dia malah berkelit,”Memangnya kalau aku ramping dan mempesona, kamu mau kawin sama aku, gitu?”.

3.      Herdie ‘Simbah’.
Sebenarnya ia tidak pernah masuk dalam daftar sahabat saya. Herdie ini teman SMP dan baru sering ngobrol justru ketika kami lulus dan masuk SMA berbeda. Ceritanya, lulusan SMP kami dulu kebanyakan melanjutkan ke SMA Katholik favorit juga. Hanya segelintir yang mau masuk SMA negeri, diantaranya saya untuk memenuhi keinginan Bapak. Walhasil teman-teman jaman SMP (cowok semua, karena dulu saya tomboy banget) yang pada masuk Kolese Katholik itu tiap hari menyatroni rumah saya. Mereka sering bolos dan memenuhi sesaki rumah (termasuk kamar saya), sedangkan saya sendiri rajin berangkat sekolah dengan motivasi bertemu teman-teman dan menunggu bel pulang berdentang. Adalah hal biasa bila pulang sekolah saya mendapati cowok-cowok gondrong kumal itu –termasuk Herdie- bergeletakan seantero rumah bagai sampah masyarakat, atau membuat kamar saya jadi baunya minta ampun.

Sutralah. Singkatnya, hampir 20 tahun kemudian saya memasuki fase paling pahit dalam hidup, dan Herdie mendadak muncul. Belakangan ia tahu saya gemar menulis, dan membuatkan blog berbayar ini. Ia juga memberi saya banyak dukungan, motivasi, dan semangat hidup, padahal kondisinya juga lagi susah. Mengenai ini, ia mengatakan hal yang membuat saya terharu. Jaman SMA dan sering bolos di rumah saya, beberapa kali malam Minggu saya dan Ibu mendapati Herdie tetap nongkrong di rumah sementara yang lainnya sudah pada kabur. Siap-siap malam Mingguan, termasuk saya. Kami heran kenapa dia tidak siap-siap, dan dia bilang nggak punya duit sepeserpun, jadi mendingan ngadem di kamar Si May aja. Lalu dia tidur, dan saya pikir cerita berakhir sampai di sini. Ternyata waktu bangun, dia menemukan di dompetnya sudah ada sepuluh ribu perak. (jaman dulu duit segitu gede banget, dan seingat saya cukup buat nonton dua orang lalu pulangnya makan di restoran fastfood). Herdie bilang pelakunya kalau bukan saya ya pasti Ibu, karena hanya kami berdualah yang tahu bahwa dia bokek total. Itulah salah satu hal yang membuatnya sangat menyayangi saya dan Ibu, dan terus mengenangnya hingga detik ini. Padahal suwer, saya benar-benar tetap tidak ingat pernah melakukan hal itu, tak peduli sekeras apapun usaha Herdie untuk mengingatkan saya. Dan ia merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa membalas kebaikan yang dulu pernah saya lakukan padanya. Saya sampai berkaca-kaca, tidak percaya Herdie begitu baik sampai mengingat hal-hal semacam itu; hal-hal yang saya abaikan begitu saja. Hal yang menyebalkan darinya adalah kalau ngomong nggak jelas. Jadi kalau ngobrol lewat telepon, saya terus-menerus berseru,”Haaa? Apa? Ngomong apa? Ulangin!” Kesannya kan saya budheg banget.
Catatan: Mamad, Gembul, dan Herdie ini adalah cowok-cowok yang sama sekali enggak lucu (yang biasanya langsung saya coret dari daftar teman –apalagi jadi sahabat. Mimpi!- karena saya paling malas berdekatan dengan orang yang tidak humoris. Namun kekurangan yang sangat penting itu dihapus oleh segala kelebihan mereka yang jauh lebih penting.

4.      Septi (saya tidak pernah tahu nama lengkapnya J), teman sekelas jaman SMA yang psikolog atau apalah gitu dan punya sekolah, tapi kalau sedang ada masalah ya curhatnya ke ‘guru spiritual’ gratisan yang selalu berhasil memberi solusi terbaik: Yuanita Maya :). Septi adalah pendengar yang sangat baik (mungkin karena sudah terbiasa memberikan terapi pada orang-orang bermasalah). Ia sangat menyayangi Kinasih serta memenuhi semua keinginannya, sehingga Kinasih memanggilnya Mami. Ia selalu mendorong saya untuk melakukan hal-hal yang berguna bagi orang lain, walaupun kemungkinan ia tidak menyadarinya. Ia adalah orang yang selalu ingin memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya, dan untuk ini saya sangat mengaguminya. Hal berikut yang membuat saya mengaguminya adalah karena ia dan suaminya pacaran sejak SMA (jaman dulu saya pernah naksir suaminya yang juga teman sekelas :)), dan mereka sangat kompak sampai hari ini. Plus ia berhasil mendidik anak-anaknya dengan sangat baik meskipun sibuk luar biasa.

Namun ada dua hal yang menyebalkan darinya. Yang pertama, kalau saya sedang under pressure, dia justru memberi saran psikologis yang menyesatkan. Contohnya saat saya stress berat gara-gara ditinggal Inoy si anjing angkat sampai-sampai mengalami delusi (lalu parno sendiri karena saya pikir saya sudah gila), dengan cueknya Septi bilang gini, “Yaaaah, anggap saja dirimu adalah anak indigo.” DHANG! Kelas kambing banget nggak, sih?! Saya ngamuk-ngamuk mendengar solusi yang melecehkan itu dan dia malah cekikikan. Akhirnya kami cekikikan berdua, yang kemudian lumayan meredakan stress saya. Well, paling tidak mission accomplished :). Hal kedua yang menyebalkan darinya adalah: dia tidak bakal menelepon atau sms duluan, kecuali kalau BENAR-BENAR perlu. Sialan. Tapi paling tidak dia menganggap saya soulmate, jadi cukuplah itu menghibur hati yang terluka atas kelakukannya yang sok Y.

5.      Siti ‘Ambon Centeng’ Amanah, yang seperti Septi juga merupakan teman sekelas waktu SMA, terpisah selama bertahun-tahun, dan kembali dekat belakangan tahun ini. Ia benar-benar sosok kekar ber-aura centeng asal Ambon nan berhati keibuan (kesan itu sekarang sudah jauh berkurang, karena belakangan tahun ini ia selalu memakai busana muslimah yang rapat, termasuk memakai jilbab untuk menutupi rambutnya yang MW –Mak Whug a.k.a ngembang banget :)). Preman yang satu ini baiknya luar biasa. Ketulusannya sering membuat saya merasa sebagai seorang pecundang. Yang membuat saya kagum, ia mengingat semua kemurahan hati yang saya lakukan padanya belasan tahun lalu, PADAHAL SAYA SAMA SEKALI TIDAK MERASA MELAKUKANNYA, APALAGI MENGINGATNYA. Ia selalu kelimpungan setiap kali saya mendapat kesulitan, dan hanya bisa tenang kalau sudah berhasil membantu saya. Menghadapi kebiasaannya ini, saya (yang tak tahu terima kasih) dan Septi ngerasanin sambil cekikikan, intinya: Lha wong yang kena saja masalah biasa-biasa aja, kenapa dia yang petakilan, ya? :).

Walaupun anaknya empat berurutan bagai penghuni panti asuhan (saya dan Septi tak pernah berhasil mengingat nama anak-anak itu), tapi dia sangat memerhatikan Kinasih. Perhatian itu membuat si kecil lebih suka memanggilnya Umi A’am ketimbang Tante Ambon seperti yang saya dan Septi ajarkan. Ia juga orang dengan semangat belajar yang tinggi, sampai kami sering meledeknya, “Hobi kok kuliah.” Dengan empat anak laki-laki yang masih pada precil (paling tua kalau tak salah kelas II SD dan yang bungsu balita), ia punya dua gelar sarjana, dan belum lama ini menyelesaikan studi notariat atau apalah. Benar-benar semangat yang membara, terlebih secara finansial ia masih jauh dari ukuran kaya.

Ambon adalah orang yang sangat setia kawan, selalu membantu saya mengurus ini itu, dan rajin menemani saya sana-ke mari di sela-sela pekerjaan, kesibukan kuliah, dan kerepotan mengurus empat cindhil. Dalam masa-masa sulit ketika itu, ia berjuang keras untuk membuat saya merasa terhibur. Ia juga sangat setia mendengar setiap keluh kesah saya, walaupun tanggapannya lebih sering enggak nyambung dan malah bikin emosi :).
Yang menyebalkan darinya adalah ia suka ngerasanin kekurangan teman lain, dan sering saya bentak-bentak karena ulahnya ini. Kalau saya marah-marahi begini biasanya dia hanya mengibaskan tangan sambil berkata,”Engko sik, to! (‘Ntar dulu, dong!)”, lalu lanjut ngerasanin. Hal menyebalkan kedua adalah kelakuannya yang sering memancing emosi dengan cara-cara yang sama sekali tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Tapi setiap kali kami hardik dan damprati, Ambon hanya cekikikan dengan ekspresi yang membuat kami justru tambah emosi. Ia benar-benar personifikasi Dr. Jeckyl and Mrs. Hyde; di satu sisi sangat baik dan di sisi lain memancing orang menjadi ndolimin :). Oh ya, jam karetnya KW1. Kalau saya, Septi, dan anggota genk ‘The Mbecak Sisters’ lainnya bikin janji misalnya jam lima, kami akan bilang bahwa kencan kami adalah jam 3!

6.      Feni Setiawati a.k.a Meme a.k.a Cina 5 watt (karena Cina tapi item banget, sampai kalau kami jalan SELALU saya yang dikira Cina :)).
Kami bertemu di tempat kos jaman kuliah, dan sejak itulah kami bersahabat erat. Dari dulu, entah kenapa, kami sering marahan bagai anak kecil baik kala berdekatan maupun berjauhan. Bedanya saya kalau marah mendiamkan, sedangkan dia membentak-bentak (kalau sedang face to face kadang sambil kakinya dihentak-hentak. Kalau dia sudah histeris begitu, biasanya saya pura-pura terpekur dan memasang mimik terpukul, tapi sambil cekikikan dalam hati dan membatin,”Kok malah kayak nge-rap sambil break dance, ya?” :)). Saya sendiri pernah begitu marah lalu mendiamkannya sampai beberapa tahun. Sebetulnya tidak berniat mendiamkan selama itu, sih, tapi kemudian sibuk sendiri terus kelupaan sampai sekitar 3 tahunan. Serius.

Kami dekat dengan keluarga masing-masing, karena sejak dulu sering menginap di rumah satu sama lain. Saudara-saudara perempuannya (Yuli, Linda, dan Vera) juga sangat welcome pada saya dan Kinasihpun dekat dengan keponakan-keponakannya. Maminya baik hati dan jago masak. Mami juga cuek walaupun tiap kali saya tidur di sana, Meme dan saya selalu cekakakan dan bertingkah bagai orang gila dari pagi sampai malam sejak hari kedatangan saya, sampai saya melambaikan tangan dari dalam bis. Beliau bahkan tidak merasa terganggu saat nonton sinetron kesayangannya, saya dan Meme ngobrol dengan suara menggelegar di ruang yang sama, lalu ngakak-ngakak sampai bergulingan di lantai. Paling-paling Mami hanya menyela,”Dari tadi ketawa terus apa nggak lemes? Makan dulu sana.” Kamipun break makan sesaat, lalu membuat keributan lagi sampai larut. Kadang-kadang kami mengisi waktu melakukan kegiatan tak bermutu seperti mencoba berbagai kostum ajaib lalu joged-joged dan foto-fotoan atau hal-hal memalukan lain, padahal sudah sama-sama tuwir. Mami tetap cuek dan stay tune dengan sinetronnya tanpa sedikitpun usaha untuk menegur kelakuan kami. Pernah kami telpon-telponan sambil cekikikan padahal ada dalam satu kamar, sehingga Abel, anak sulung saya, berkomentar singkat,”Idiotis.” Pokoknya asal bersama Meme bahkan hingga kini, level idiot saya melonjak melewati ambang batas, sehingga kalau kepala saya dipasangin mesin deteksi ketololan, pasti ada suara mbak-mbak otomat berkata,”Over capacity! Warning! Over capacity! Last warning! Please rebooth!”

Melawan pendapat umum tentang karakter pelit etnis Tionghoa, Meme adalah Cina yang sangat murah hati dan itu membuat saya sangat kagum. Kalau melihat kelakuan sesama etnis yang pelit, ia selalu mengumpat dengan emosi,”Cina edan, pelite ora karuan (pelitnya enggak karuan)!” Sayapun menghardik,”Kaya dapurmu apik-apik.a dhewe! Lha memange kowe dudu Cina edan? (kaya mukamu yang paling bagus! Lha emangnya kamu bukan Cina edan?).” Masih dengan kesal ia berkelit,”Pancen aku Cina edan, ning kan ora pelit! (memang aku Cina edan, tapi kan enggak pelit!)” :). Ia bahkan pernah berantem dengan Maminya sambil mengatai,”Mami ki wis Cina, pelit sisan! (Mami tu udah Cina, pelit lagi!)”. Mami menyahut tak kalah sengit,”Cina ora pelit ki ya dudu Cina! (Cina enggak pelit itu ya bukan Cina!)” :).

Meme adalah orang yang sangat sederhana walaupun Maminya boleh dibilang berada. Ia menjahit baju-bajunya sendiri, tidak neka-neka, gemar sekali memberi pertolongan pada siapapun, dan sama sekali tak mengagungkan kecantikan ragawi (padahal saya dulu sangat iri pada kulitnya yang gelap, tubuh pipih tinggi, dan wajah manis dengan mata bagai kucing. Benar-benar cantik dan eksotis). Ia sangat setia kawan sekaligus maha bodoh dalam urusan rumah tangga (sekali-kalinya setrika, ia membuat hati Linda terluka. Waktu itu ceritanya Linda buru-buru sekali ke sekolah padahal seragam masih kusut. Meme menawarkan diri menyetrikakan seragam itu, yang ternyata malah berakhir BOLONG DENGAN CETAKAN SETRIKAAN). Hal-hal itulah yang menyatukan kami dalam jalur yang sama (selain kemampuan menjahit, tentu saja. Boro-boro bikin baju, saya menjahit bet lokasi seragam anak saja hasilnya lengan baju malah nempel jadi satu :)). Karena berbagai kesamaan itulah kami masih langgeng sampai sekarang biarpun sering sekali marahan (oh ya, kalau saya sedang marah dan mendiamkan, Meme sangat tegar dalam usahanya membujuk. Ia tetap setia mengirim sms, bahkan berkata bahwa dirinya berlinang air mata saat melihat foto saya yang sedang pakai wig kribo. Saat membaca sms itu sebetulnya saya juga berlinang air mata karena rindu dan sesal, tapi tetap jual mahal :)).

Ia juga selalu tertawa dan memancing tawa. Di kalangan keluarga dan teman-teman dekat, saya dikenal sebagai joker karena kebiasaan ngebodor tak kenal waktu dan tempat (apalagi kalau pakai Bahasa Jawa yang membuat urat malu saya selalu putus, bahkan hingga beradegan komik slapstick di tempat umum). Tapi sesungguhnya saya sama sekali tidak ada seujung kuku hitam dibandingkan ke-koplak-an Meme. Dia adalah orang paling sinting yang pernah saya temui seumur hidup. Entah berapa kali ia membuat saya terkencing-kencing di celana, baik di ruang privat maupun di tempat umum, gara-gara kelakuannya yang seratus persen sarap. Kami punya kebiasaan sms-an berbentuk pantun atau minimal persamaan bunyi, dan kalau main pantun biasanya temanya mengandung unsur SARA J. Misalnya suatu pagi saya mengirimnya pantun:
Cina kere dodolan tempe, adol awit isuk ora payu-payu (Cina miskin jualan tempe, jualan sejak pagi nggak laku-laku) J.
Selamat pagi, Me. Semoga hari ini kau sudah siap berperang pantun denganku.”
Atau begini:
Cina ora sopan lungguh pekoko’an. Dilokke uwong Cinane malah ngguyu (Cina enggak sopan duduk pekangkangan. Ditegur orang Si Cina malah cekakakan) J.
Aku wis ngantuk arep mapan. Tapi sak durunge turu aku arep ndongakke awakmu (aku sudah ngantuk dan tubuh hendak kubaringkan. Tapi sebelum tidur aku akan mendoakan dirimu).

Dia begitu terharu oleh pantun tersebut, sampai-sampai tidak sanggup membalasnya malam itu juga J. Begitu dekatnya kami sampai hal-hal seperti itu (yang bagi sebagian orang bisa dijadikan alasan untuk bakar-bakaran bahkan bunuh-bunuhan) hanya kami jadikan bahan becandaan. Suatu hari ia pernah sms saya gini,”Aku begitu takut kau tinggal mati! Sebab kalau kau pergi, siapa yang akan jadi partnerku dalam sms-an pakai persamaan bunyi?” J. Butuh buku tersendiri untuk menceritakan kelakuan gilanya dan kelakuan gila kami berdua sejak jaman kuliah sampai sekarang saya sudah punya cucu. Dan kalau saya terbitkan (termasuk kumpulan pantun dan sms kami yang sebagian masih saya simpan), buku itu pasti bakalan membuat Radika Ditya langsung terdepak dari pasaran J.

Meme adalah orang yang secara khusus ditugaskan Tuhan untuk menaburkan bubuk tawa dan kebahagiaan di atas kepala saya, dan saya selalu mensyukuri hari dimana saya memutuskan untuk menempati kos yang sama dengannya. Saya akan selalu mencintainya tanpa batas, walaupun ia punya dua kebiasaan yang LUAR BIASA MENJENGKELKAN:
1.      Kalau melakukan apapun lamanya minta ampun. Saat menunggunya mencuci piring atau apa, saya sering diam-diam berkhayal menendang bokongnya, menggunduli rambutnya, atau melakukan berbagai tindak kriminalitas lainnya. Ia tentu saja tak pernah menyadari ekspresi saya yang penuh kebencian dan haus darah, karena sibuk berceloteh sambil menyabuni piring yang itu-itu saja sejak 6-9 menit terakhir.
2.      Tiap kali diajak ngobrol hal yang serius –misalnya masalah bangsa dan negara- PASTI ketiduran sambil duduk dengan mulut menganga.

Dan setelah saya pikirkan lebih lanjut, ternyata –selain Meme- nama-nama yang saya sebut di atas itu adalah teman-teman baik yang lama menghilang bahkan sampai belasan tahun, kemudian mendadak pada muncul begitu saja saat saya berada pada titik yang paling nadir dalam hidup. Dan mereka masing-masing memenuhi apa yang saya butuhkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Kelebihan yang satu menutupi kekurangan yang lain, sehingga semua yang saya perlukan pun tercukupi. Luar biasa Tuhan! Ia benar-benar tahu apa yang saya butuhkan, dan memberikannya pada waktu yang sangat tepat. Sekarang, tiap kali menengok kembali ke masa-masa itu, saya mengerti bahwa ketika hidup seakan tak ada harapan sekalipun, Tuhan ternyata diam-diam tengah bekerja. Dan Ia bekerja dengan seribu satu cara untuk menopang tangan kita, hingga sekalipun kita jatuh tetapi tetap tak akan tergeletak.

Saya menangis hari demi hari ketika itu, mengeluh mengapa Ia tak kunjung mengulurkan tangan dan membantu. Saya meratap dalam doa yang menyayat-nyayat, memohon Ia melakukan keajaiban yang dahsyat. Namun ternyata keajaiban itu muncul dengan cara yang sangat sederhana: teman-teman saya. Maka siapapun anda yang tengah berada dalam himpitan masalah, merataplah. Meratap dan terus berharaplah, karena Ia diam-diam tengah menyiapkan keajaiban untuk anda yang tengah lelah. Saya tahu pasti, karena itu semua pernah saya alami. Tuhan memberkati! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar