Mama
Minta Pulsa? Tak Usah, Ya!
Pada awal ‘90-an ketika membawa
pager saja sudah dianggap tajir, maka
bukan main dampak sosial dan psikologis yang didapat oleh seseorang ketika ia
membawa telepon genggam. Sekalipun sesungguhnya sulit digenggam karena ukurannya
lebih mirip radio dua band, namun harga yang mencapai belasan juta (terlebih
mengingat rendahnya nilai dolar saat itu) membuat pemilik mobile phone era
tersebut merasa sangat sah menganggap dirinya ‘kaum terpilih’. Namun jaman
ternyata berpihak kepada ‘kaum tak terpilih’, karena waktu berjalan hanya untuk
membuktikan bahwa telepon genggam dapat dimiliki oleh siapapun termasuk para
penerima BLSM. Telepon genggam juga bukan lagi milik eksklusif kaum menengah
perkotaan, sebab warga kampung urban, suburban, dan rural pula telah percaya
bahwa hand phone adalah bagian dari kebutuhan dan gaya hidup. Demikian
merakyatnya telepon genggam di Indonesia hingga negara ini ditetapkan sebagai
basis pengguna terbesar di Asia. Meskipun sesungguhnya Cina dengan penduduk lima
kali lipat dari Indonesia lebih pantas mendapat predikat ini, namun fanatisme
orang Indonesia terhadap telepon genggam membuat fakta berkata lain.
Adiksi orang Indonesia terhadap
telepon genggam memang tak terbantahkan. Mencari anak SD di perkotaan yang tak
memiliki HP mungkin sama sulitnya dengan mencari tempe saat harga kedelai
import melonjak tinggi. Lelang HP di mall-mall selalu berhasil menghasilkan
antrian yang melingkar bagai ular naga nan panjangnya bukan kepalang. Di masa
mendatang nanti, orang bisa jadi berganti handphone lebih cepat daripada Lucky
Luke menembak bayangannya sendiri. Sebagai akibatnya status pulsapun melonjak
drastis menjadi kebutuhan primer, dimana
perusahaan operator adalah pihak yang paling diuntungkan olehnya. Pada periode
2011-2013, rata-rata pendapatan per pengguna (Average Revenue Per Unit/ARPU
layanan data di Indonesia meningkat dari Rp.32 ribu menjadi Rp.34 ribu/ bulan.
Dan secara umum, pendapatan layanan data operator telekomunikasi pada tahun
2012 meningkat 96% menjadi 2,3 miliar US dolar dibandingkan tahun sebelumnya.
Bahkan menurut data Finance Today, pendapatan operator telekomunikasi pada
tahun ini akan meningkat 59% menjadi 3,6 miliar US dolar.
Penghasilan yang sungguh fantastis,
hingga sama sekali tak mengada-ada bila operator telekomunikasi dituntut untuk
lebih serius dalam menunaikan CSR (Company Social Responsibility). Logikanya
sederhana: apa yang telah didapat dari masyarakat mustinya dikembalikan kepada
masyarakat, terlebih ketika hal itu mencapai bilangan yang spektakuler. Secara
positif CSR telah ditunjukkan oleh PT XL Axiata Tbk, yang sejak tahun 2006
telah memulai program ‘Indonesia Berprestasi’. Dari program ini telah bergulir
bantuan komputer dan koneksi internet dengan target 60 sekolah dan 300 murid
per tahunnya. Program ini dilengkapi dengan training Bahasa Inggris dan
penggunaan internet yang baik, bantuan alat multiplexer transmission untuk 14
universitas di Indonesia, insentif pendidikan bagi murid berprestrasi yang
kurang mampu, pembangunan sekolah, taman membaca dan perpustakaan, perpustakaan
keliling, serta taman pintar telekomunikasi di Yogyakarta.
Sungguh menginspirasi! Namun tetap
itu bukan alasan untuk membuat siapapun berpuas diri. Taburkan sejumput
inspirasi, maka program yang selama ini berkutat pada pendidikan an sich tersebut dapat melebarkan sayapnya lebih lebar
pada pencerdasan umum dengan dampak peningkatan kualitas bangsa. Dan tarif komunikasi yang kian murah dari
waktu ke waktu adalah jembatan besar bagi tujuan ini. Kalau dulu kita harus
menghamburkan sekian banyak uang untuk membeli berbagai macam buku untuk
menambah wawasan, kini dengan bekal pulsa tipis atau beberapa ribu rupiah modal
ke warnet kita sudah bisa mendapatkan informasi apapun yang kita butuhkan. Namun
seperti sekeping koin yang tak pernah memiliki hanya satu sisi, demikian pula dengan
teknologi komunikasi. Ada sisi kelam dalam hal ini, di mana tarif komunikasi
termasuk internet murah digunakan untuk mengunjungi situs pornografi dan
berbagai situs sampah lainnya. Tarif komunikasi yang sangat bersahabat ini pula
yang kemudian ditangkap oleh sebagian pihak untuk melakukan tindakan penipuan,
diantaranya lewat sms ‘Mama minta pulsa’. ‘Mama minta pulsa’ memang belakangan
sudah dijadikan bahan lelucon. Namun bagi kelompok yang masih terpasung dalam
keluguan logika, ‘Mama minta pulsa’ tetap punya peluang besar untuk membuat
mereka kehilangan sedikitnya dua puluh ribu rupiah. Jumlah itu meningkat
seiring dengan kebutuhan ‘Mama’, apakah ia sedang di kantor polisi atau di
rumah sakit. Belum terhitung rasa panik karena ‘Mama’ mendapat celaka.
Sungguh menyedihkan nasib kaum yang
belum tercerdaskan tersebut. Secara umum, tingkat kecerdasan seseorang dinilai
dari latar belakang akademis serta banyaknya titel yang ia miliki. Namun
tentunya itu adalah logika sederhana yang cenderung naïf, karena fakta di
lapangan menyatakan bahwa banyak orang berhasil dan tokoh-tokoh besar berkelas
internasional sekalipun yang hanya memiliki ijazah SMA. Bill Gates, Bunda
Theresa, Affandi, Bob Sadino, dan Thomas Alva Edison adalah segelintir dari
sekian banyak manusia besar tanpa gelar sarjana. Di luar itu ada tak terhitung
individu yang menikmati kehidupan mapan dan atau bermanfaat bagi umat tanpa
bekal ijazah akademis, karena mereka berhasil mengasah kecerdasan di kuadran
luar sekolah. Tetapi tidak semua orang seberuntung itu. Dan inilah yang harus
ditangkap oleh perusahaan operator komunikasi untuk menunaikan CSR dalam
kerangka pencerdasan masyarakat, sehingga demikian kualitas hidup rakyat
Indonesia secara umum bisa meningkat. Ada sedikitnya tiga variabel normatif
yang wajib dimiliki oleh seseorang untuk dikatakan memiliki hidup yang
berkualitas, yakni derajat pendidikan dan pengetahuan, kesehatan pribadi, serta
tingkat ekonomi yang layak. Ada dua
perkara dalam hal yang bisa dimanfaatkan, yakni tarif murah dan potensi kaum
perempuan.
Mengapa
perempuan?
Karena perempuan adalah sosok yang
berperan sangat penting dalam tinggi rendahnya kualitas seorang anak, sejak ia kecil
hingga dewasa. Peran sentral perempuan dalam diri seorang manusia itulah yang
melahirkan adagium ‘perempuan adalah tiang kehidupan’. Namun bagaimana seorang
perempuan bisa tiang kehidupan yang menghasilkan keluarga dan keturunan yang
berkualitas, bila dirinya sendiri tidak lebih daripada ‘tiang yang rapuh’? Sekalipun
belum pernah diteliti secara ilmiah, namun dalam kehidupan sehari-hari kita
bisa dengan mudah melihat segerombolan perempuan berkumpul untuk membicarakan
hal-hal yang tidak perlu. Ini bisa meningkat hingga ke taraf menyebar gosip,
yang berujung pada pendzoliman terhadap pihak lain. Pada babak lain, adegan dua
perempuan saling cakar dan menjambak rambut memerebutkan laki-laki kiranya
bukanlah kasus yang spektakuler
.
Tetapi siapakah sesungguhnya kita hingga
merasa berhak menghakimi mereka? Sebab kerapkali para perempuan itu bahkan
tidak tahu apa yang telah mereka perbuat. Struktur sosial dan struktural yang
menasbihkan laki-laki sebagai tiang ekonomi membuat perempuan tak terhindarkan
lagi dipaksa masuk ke ruang sub ordinat, salah satunya dengan implikasi pada
terlewatinya perempuan dalam pembagian potongan kue pendidikan. Ini berlaku
terutama di negara dunia ketiga dan atau berkembang, termasuk Indonesia. Inilah
perkara besar yang membuat perempuan dinobatkan sebagai warga kelas dua,
sehingga secara umum maupun profesional nilainya dianggap lebih rendah daripada
laki-laki. Andaipun mendapat kue pendidikan, pada kalangan akar rumput kerapkali
itu hanya berupa remah-remahnya saja. “Kau hanya akan berakhir di kasur dan
dapur” adalah lagu tema yang memaksa cita-cita banyak perempuan terkubur,
sedangkan sesungguhnya wilayah kasur dan dapur itu adalah cikal-bakal apakah
seorang anak akan bertumbuh menjadi manusia dewasa yang berkualitas atau tidak.
Cerita klasik berakhir, dan tinggallah para perempuan meneguk ludah menatap
laki-laki mengunyah potongan kue pendidikan yang terbesar. Sedangkan hiburan
termewah bagi para perempuan malang itu hanyalah sinetron-sinetron stripping dengan muatan ibu mertua yang
dzolim, anak-anak rebutan warisan, tetangga yang saling sirik satu sama lain,
arwah-arwah penasaran serta segala setan gentayangan, dan sebagainya, yang
lama-kelamaan mereka percaya sebagai sebuah kemutlakan. Dengan kisah yang berawal
dan berakhir sedih seperti ini, masih bisakah kita menudingkan jari?
Namun setidaknya di hulu sana masih
ada sekelip cahaya, karena bagaimanapun rendahnya posisi seorang perempuan di
komunitasnya, ia tetap memiliki dua kekuatan natural yang didapatkannya secara
cuma-cuma yakni sifat nurturing (memelihara/mengasuh) dan berkomunikasi. Karakter
nurturing yang bersifat given ini membuat perempuan secara
alamiah akan merasa bertanggung jawab pada keluarga dan orang-orang yang
dikasihinya, sejak terbentuk hingga waktunya kembali ke bumi. Kecenderungan
merawat dan mengasuh ini memberi dampak devosi natural, dengan kecenderungan
memberikan yang terbaik pada orang-orang terdekatnya. Dan ini tidak terbatas
pada suami dan anak-anak saja, melainkan juga kerabat, tetangga, teman-teman,
dan berbagai manusia lain yang dekat di hatinya. Sedangkan dalam hal
berkomunikasi, sebuah studi menyatakan bahwa perempuan menghamburkan sedikitnya
25 ribu kata setiap harinya sedangkan laki-laki hanya kurang dari sepertiganya
saja. Ini membuktikan bahwa perempuan secara natural memiliki potensi sebagai
komunikator yang ulung, selain kebutuhan untuk didengarkan yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki.
Perkawinan
Kekuatan Perempuan dan Komunikasi Murah
Penggabungan dua kekuatan natural di
atas akan menghasilkan kecenderungan perempuan untuk memberikan yang terbaik dan
bersifat membangun bagi orang-orang yang dikasihinya. Maka perempuan baik yang
telah tercerdaskan maupun belum, adalah materi besar yang bisa digarap oleh
perusahaan operator telekomunikasi dengan memanfaatkan tarif murah dalam
kerangka CSR. Dan bila kekuatan natural perempuan serta komunikasi murah ini
dikawinkan oleh operator, maka kelemahan perempuan secara kultural yang
menghambat akses mereka terhadap pendidikan akan dengan mudah dipatahkan. Untuk
ini maka kita perlu membaginya dalam empat hal, yakni materi untuk meningkatkan
kualitas perempuan, metoda serta penyampaian materi, pihak-pihak yang perlu
diajak bekerjasama, serta program lanjutan.
1.
Materi
Peningkatan Kualitas Diri
Seperti telah dipaparkan di atas,
kecerdasan seseorang tidak semata ditentukan oleh latar belakang pendidikannya
saja, selain fakta bahwa tidak semua orang punya kesempatan untuk menempuh
pendidikan formal hingga ke jenjang tinggi. Terlebih bila dikaitkan dengan
perempuan yang waktunya banyak tersita untuk urusan domestik yang tiada
habisnya sejak anak lahir hingga tumbuh besar dan hambatan kultural seperti
diuraikan di atas, sehingga kesempatan melanjutkan jenjang pendidikan formal seringkali
jauh dari jangkauan. Di sinilah operator dapat memberikan pendidikan informal melalui
sms gratis atau paket berlangganan murah berbagai tips, informasi, dan
pengetahuan umum. Untuk meningkatkan gairah pelanggan dalam menyebarluaskan
informasi, operator perlu memberikan insentif seperti pulsa gratis bila
pelanggan mencapai kuota tertentu dalam peran serta membagikan
informasi-informasi tersebut. Mengingat teknologi yang terus berkembang,
tentunya bukan hal sulit bagi operator untuk memantau aktifitas pengiriman sms
para pelanggan. Pantauan juga perlu dilakukan terhadap jenis kelamin pengguna,
yang bisa dilakukan dengan cara crosscheck identitas saat otorisasi kartu.
Operator
bisa membagi berbagai informasi tersebut dalam paket langganan dengan
kategori-kategori berbeda sesuai kebutuhan dan atau minat pelanggan. Kategori
pertama misalnya paket informasi gizi dan kesehatan, misalnya manfaat tempe
untuk meningkatkan kecerdasan anak serta mencegah berbagai penyakit pada orang
dewasa, bahaya penggunaan MSG terlalu banyak serta pengganti penyedap rasa yang
alami, tips membedakan gula merah non dan bersulfit serta manfaat gula merah
non sulfit, dan sebagainya. Kategori lain adalah paket informasi ekonomi dan
usaha, yakni informasi berbagai peluang usaha yang bisa dilakukan di rumah
tanpa harus mengabaikan keluarga. Dalam hal ini tips perlu diperluas dengan
pembagian khusus mulai dari pilihan usaha, pemahaman pemasaran, peluang dan
strategi pemasaran serta penjualan, peningkatan kualitas serta standarisasi
produk, manajemen keuangan, dan lain-lain.
Kategori
selanjutnya adalah lingkungan hidup seperti isu pemanasan global, perubahan
iklim, dan sebagainya. Misalnya, dampak buruk penggunaan tas plastik dan
stereofoam untuk selanjutnya ajakan membawa kantung belanjaan sendiri dari
rumah, kebiasaan membakar sampah dengan residu yang bersifat racun bagi tanah
dan persediaan air tanah, krisis air global yang bisa ditangkal dengan cara
menghemat penggunaan air serta menghentikan kebiasaan buruk membiarkan kran
menyala saat menyabuni piring, gosok gigi, dan sebagainya, membuat sumur
resapan sangat sederhana untuk mencegah banjir sekaligus menyimpan air tanah, serta
berbagai isu lingkungan lain. Kategori lain yang menarik adalah paket langganan
belajar bahasa asing dengan fasilitas audio, sehingga dengan demikian pelanggan
bisa melatih kemampuan conversation tanpa
harus berburu bule di pelabuhan atau bandara.
Masih
banyak kategori yang bisa ditawarkan oleh operator, namun ada satu hal dasar
yang sangat penting dilakukan oleh pihak operator yakni motivasi kepada
pelanggan. Pelanggan perlu diyakinkan bahwa menjadi cerdas dengan terus-menerus
meningkatkan pengetahuan dan wawasan, adalah hal terindah yang bisa dihadiahkan
oleh seorang perempuan kepada dirinya sendiri. Motivasi selanjutnya adalah
bahwa berbagi –termasuk informasi- adalah hal yang sangat mulia, dan peran
serta perempuan di sini akan meningkatkan kualitas hidup keluarga secara khusus
serta bangsa secara umum. Motivasi ini perlu terus-menerus ditanamkan, dengan keniscayaan
bahwa ‘apa yang kita dengar terus-menerus cenderung akan kita percaya’.
Penanaman motivasi secara spartan akan membuat pelanggan memercayai
kebenarannya secara psikologis. Sebagai akibatnya secara otomatis mereka akan
merasa puas pada diri sendiri, ketika sudah melakukan hal-hal positif yang
ditanamkan dalam benak mereka tersebut. Dan secara langsung atau tidak, self worth and esteem tersebut akan
semakin mendorong mereka untuk kian aktif dalam kegiatan pencerdasan dan
peningkatan kualitas hidup tersebut. Pada akhirnya, secara alamiah self worth and esteem akan meningkatkan
nilai tawar perempuan itu sendiri. Dan…..voila! Tak peduli apakah seorang
perempuan menghabiskan waktunya di balik tembok dapur atau di mana saja, ia
akan tetap berakhir sebagai perempuan yang cerdas, berwawasan luas, dan penuh
harga diri!
2.
Alat
dan Metoda Pengasahan Serta Penyampaiannya.
Yang pertama adalah mengembangkan layanan SMS
menjadi langganan paket murah sms berisi berbagai tips dan informasi dari
operator seperti telah dijelaskan di atas. Paket murah ini tentunya sudah
dilengkapi fasilitas forward sms secara gratis, sehingga pelanggan bisa
menyebarluaskannya pada kenalan/sanak keluarganya yang tidak berlangganan paket
tersebut. Yang kedua adalah memanfaatkan internet, mengingat kebanyakan telepon
genggam sudah dilengkapi dengan fasilitas ini. Operator bisa memanfaatkannya untuk
menyebarluaskan link-link yang memuat berbagai informasi positif dengan harga
langganan murah. Termasuk di sini adalah langganan tips dan informasi atau grup
yang dibentuk oleh operator di Facebook. Yang perlu diedukasikan sejak awal dalam
hal ini adalah bahwa internet bisa menjadi pisau bermata dua, yang bila
digunakan secara keliru akan menghasilkan dampak negatif dan sebaliknya. Tanpa
pengetahuan yang cukup tentang manfaat positif internet, masyarakat bisa
menggunakannya untuk hal-hal buruk atau sebaliknya paranoia terhadap internet. Yang
ketiga adalah menyediakan fitur-fitur interaktif sehingga pelanggan mendapat
keleluasaan untuk bukan hanya menyebar informasi, melainkan juga berdiskusi
dengan pelanggan lain sekalipun mereka sebelumnya tidak saling mengenal.
3. Kerjasama dengan lembaga lain.
Sebagai
contoh, dalam sms peningkatan kualitas ekonomi operator dapat bekerjasama
dengan pemerintah. Dalam hal ini materi dapat dikerucutkan ke program eknomi
kerakyatan seperti KUR, PNPM Mandiri, dan sebagainya. Lembaga-lembaga terkait
dalam program ini (dan program-program kesejahteraan rakyat lain) juga perlu
dilibatkan, sedikitnya dalam level informasi. Instutisi lain-lain yang perlu
digandeng adalah kelompok PKK, Dharma Wanita, LSM Anti Kekerasan Terhadap Anak
dan Perempuan, dan lain-lain. Besar pula peluang operator untuk menjadi intermediate bagi pihak perempuan dan
lembaga-lembaga tersebut, mengingat kerapkali kaum perempuan terlebih dari
kalangan menengah ke bawah sulit untuk mendapatkan akses ke lembaga formal
manapun.
4. Program Lanjutan
Langkah
berikut adalah merancang berbagai program, yang setidaknya merupakan penguatan
motivasi sekaligus moda publikasi. Yang pertama adalah pembentukan komunitas,
yang bila digarap dengan serius akan menjadi movement tersendiri. Dengan peserta para pelanggan paket-paket
langganan seperti tersebut di atas, program ini bisa diklasifikasikan menurut
letak geografis untuk memermudah acara kopi darat. Program-program pengembangan
kualitas diri sendiri, keluarga, dan masyarakat yang terstruktur dan terukur
tersebut hendaknya didokumentasikan dengan baik termasuk implikasinya terhadap
pelanggan dan komunitas di sekitarnya, misalnya dampak industri rumahan membuat
asesori dari bahan bekas terhadap peningkatan ekonomi warga dan perbaikan kesehatan
lingkungan. Selanjutnya adalah kompetisi antar komunitas dengan sub-sub tema
seperti lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan anak, ekonomi kerakyatan, dan
sebagainya. Kompetisi bisa digelar antar wilayah hingga level nasional, dengan
publikasi proses kompetisi untuk semakin merangsang minat dan kesadaran
masyarakat akan program ini serta berbagai manfaatnya. Akan semakin menarik dan
memotivasi bila operator juga memberikan penghargaan untuk kategori ‘Pemimpin
Komunitas Terbaik’.
Ke
depan saat semua program di atas sudah berjalan baik, operator dapat memberikan
pendidikan teknologi internet dan multimedia bagi perempuan dan atau ibu rumah
tangga terutama kalangan menengah ke bawah. Program yang dapat dikembangkan di
sini misalnya perpustakaan on line, diskusi on line, dan kelas on line dengan
pendamping yang disediakan oleh operator. Di sini operator kembali dapat
bekerja sama dengan Pos Yandu, PKK, dan berbagai organisasi keperempuanan level
dasar, dengan kader-kader yang dapat dilatih pula menjadi pendamping. Dengan
demikian, kefasihan teknologi bukan hanya hak perempuan kantoran dengan tas
kerja yang disesaki berbagai gadget keluaran terbaru atau perempuan rumahan
kelas menengah dan menengah ke atas, namun juga milik perempuan ‘akar rumput’
yang selama ini kerap terbelakangkan.
Bila ini semua terwujud, maka
sesulit apa kita mendongkrak kualitas masyarakat? Kaum lugu yang selama ini
menjadi bulan-bulanan ‘Mama minta pulsa’ akan dengan mudah tertawa dan membalas
“Mama minta pulsa? Tak usah, ya!”. Sebab Si Lugu kini telah cerdas. Dan bukan
hanya mampu melawan para scammer, ia bahkan telah sanggup mencerdaskan
orang-orang disekelilingnya. Dan bukankah ini adalah salah satu komponen utama
percepatan peningkatan kualitas kehidupan bangsa? Inilah hal yang tentunya kita
rindukan sebagai bangsa secara kolektif, yakni potensi rakyat Indonesia dengan
jumlah hampir 250 juta ini tergarap maksimal dan membantu Indonesia untuk selekasnya
mendapat gelar Negara maju dan makmur.
Peningkatan kualitas bangsa ini
tentunya juga berdampak pada kemajuan ekonomi yang akan meningkatkan daya beli,
sehingga dengan demikian secara finansial perusahaan operator akan menuai buah
yang telah ditanam dengan susah-payah. Dan di atas segalanya, perusahaan
operator komunikasi akan mendapatkan citra baik sebagai perusahaan yang berperan
besar dalam kemajuan bangsa dan Negara. Lebih dari itu perusahaan operator
berhasil merobohkan tembok terakhir antara ‘kaum terpilih’ dan ‘tidak
terpilih’, sebab apakah seseorang memilih telepon genggam model radio dua band,
tempat minum anak TK, atau apa saja, ia tetap memiliki hak dan peluang yang
sama untuk mencerdaskan dirinya. Citra ini pula yang akan menentukan preferensi
masyarakat, sebab siapapun tentu lebih memilih perusahaan yang dikelola untuk
kebaikan bersama dan bukan untuk membuncitkan perut para pemegang sahamnya
semata. Pada akhirnya, keputusan untuk menjadi operator pilihan bangsa ada di
tangan perusahaan telekomunikasi itu sendiri. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu
rumah tangga).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar