Kamis, 29 Agustus 2013


Mama Minta Pulsa? Tak Usah, Ya!

Pada awal ‘90-an ketika membawa pager saja sudah dianggap tajir, maka bukan main dampak sosial dan psikologis yang didapat oleh seseorang ketika ia membawa telepon genggam. Sekalipun sesungguhnya sulit digenggam karena ukurannya lebih mirip radio dua band, namun harga yang mencapai belasan juta (terlebih mengingat rendahnya nilai dolar saat itu) membuat pemilik mobile phone era tersebut merasa sangat sah menganggap dirinya ‘kaum terpilih’. Namun jaman ternyata berpihak kepada ‘kaum tak terpilih’, karena waktu berjalan hanya untuk membuktikan bahwa telepon genggam dapat dimiliki oleh siapapun termasuk para penerima BLSM. Telepon genggam juga bukan lagi milik eksklusif kaum menengah perkotaan, sebab warga kampung urban, suburban, dan rural pula telah percaya bahwa hand phone adalah bagian dari kebutuhan dan gaya hidup. Demikian merakyatnya telepon genggam di Indonesia hingga negara ini ditetapkan sebagai basis pengguna terbesar di Asia. Meskipun sesungguhnya Cina dengan penduduk lima kali lipat dari Indonesia lebih pantas mendapat predikat ini, namun fanatisme orang Indonesia terhadap telepon genggam membuat fakta berkata lain.

Adiksi orang Indonesia terhadap telepon genggam memang tak terbantahkan. Mencari anak SD di perkotaan yang tak memiliki HP mungkin sama sulitnya dengan mencari tempe saat harga kedelai import melonjak tinggi. Lelang HP di mall-mall selalu berhasil menghasilkan antrian yang melingkar bagai ular naga nan panjangnya bukan kepalang. Di masa mendatang nanti, orang bisa jadi berganti handphone lebih cepat daripada Lucky Luke menembak bayangannya sendiri. Sebagai akibatnya status pulsapun melonjak drastis menjadi  kebutuhan primer, dimana perusahaan operator adalah pihak yang paling diuntungkan olehnya. Pada periode 2011-2013, rata-rata pendapatan per pengguna (Average Revenue Per Unit/ARPU layanan data di Indonesia meningkat dari Rp.32 ribu menjadi Rp.34 ribu/ bulan. Dan secara umum, pendapatan layanan data operator telekomunikasi pada tahun 2012 meningkat 96% menjadi 2,3 miliar US dolar dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan menurut data Finance Today, pendapatan operator telekomunikasi pada tahun ini akan meningkat 59% menjadi 3,6 miliar US dolar.

Penghasilan yang sungguh fantastis, hingga sama sekali tak mengada-ada bila operator telekomunikasi dituntut untuk lebih serius dalam menunaikan CSR (Company Social Responsibility). Logikanya sederhana: apa yang telah didapat dari masyarakat mustinya dikembalikan kepada masyarakat, terlebih ketika hal itu mencapai bilangan yang spektakuler. Secara positif CSR telah ditunjukkan oleh PT XL Axiata Tbk, yang sejak tahun 2006 telah memulai program ‘Indonesia Berprestasi’. Dari program ini telah bergulir bantuan komputer dan koneksi internet dengan target 60 sekolah dan 300 murid per tahunnya. Program ini dilengkapi dengan training Bahasa Inggris dan penggunaan internet yang baik, bantuan alat multiplexer transmission untuk 14 universitas di Indonesia, insentif pendidikan bagi murid berprestrasi yang kurang mampu, pembangunan sekolah, taman membaca dan perpustakaan, perpustakaan keliling, serta taman pintar telekomunikasi di Yogyakarta.

Sungguh menginspirasi! Namun tetap itu bukan alasan untuk membuat siapapun berpuas diri. Taburkan sejumput inspirasi, maka program yang selama ini berkutat pada pendidikan an sich  tersebut dapat melebarkan sayapnya lebih lebar pada pencerdasan umum dengan dampak peningkatan kualitas bangsa. Dan tarif komunikasi yang kian murah dari waktu ke waktu adalah jembatan besar bagi tujuan ini. Kalau dulu kita harus menghamburkan sekian banyak uang untuk membeli berbagai macam buku untuk menambah wawasan, kini dengan bekal pulsa tipis atau beberapa ribu rupiah modal ke warnet kita sudah bisa mendapatkan informasi apapun yang kita butuhkan. Namun seperti sekeping koin yang tak pernah memiliki hanya satu sisi, demikian pula dengan teknologi komunikasi. Ada sisi kelam dalam hal ini, di mana tarif komunikasi termasuk internet murah digunakan untuk mengunjungi situs pornografi dan berbagai situs sampah lainnya. Tarif komunikasi yang sangat bersahabat ini pula yang kemudian ditangkap oleh sebagian pihak untuk melakukan tindakan penipuan, diantaranya lewat sms ‘Mama minta pulsa’. ‘Mama minta pulsa’ memang belakangan sudah dijadikan bahan lelucon. Namun bagi kelompok yang masih terpasung dalam keluguan logika, ‘Mama minta pulsa’ tetap punya peluang besar untuk membuat mereka kehilangan sedikitnya dua puluh ribu rupiah. Jumlah itu meningkat seiring dengan kebutuhan ‘Mama’, apakah ia sedang di kantor polisi atau di rumah sakit. Belum terhitung rasa panik karena ‘Mama’ mendapat celaka.

Sungguh menyedihkan nasib kaum yang belum tercerdaskan tersebut. Secara umum, tingkat kecerdasan seseorang dinilai dari latar belakang akademis serta banyaknya titel yang ia miliki. Namun tentunya itu adalah logika sederhana yang cenderung naïf, karena fakta di lapangan menyatakan bahwa banyak orang berhasil dan tokoh-tokoh besar berkelas internasional sekalipun yang hanya memiliki ijazah SMA. Bill Gates, Bunda Theresa, Affandi, Bob Sadino, dan Thomas Alva Edison adalah segelintir dari sekian banyak manusia besar tanpa gelar sarjana. Di luar itu ada tak terhitung individu yang menikmati kehidupan mapan dan atau bermanfaat bagi umat tanpa bekal ijazah akademis, karena mereka berhasil mengasah kecerdasan di kuadran luar sekolah. Tetapi tidak semua orang seberuntung itu. Dan inilah yang harus ditangkap oleh perusahaan operator komunikasi untuk menunaikan CSR dalam kerangka pencerdasan masyarakat, sehingga demikian kualitas hidup rakyat Indonesia secara umum bisa meningkat. Ada sedikitnya tiga variabel normatif yang wajib dimiliki oleh seseorang untuk dikatakan memiliki hidup yang berkualitas, yakni derajat pendidikan dan pengetahuan, kesehatan pribadi, serta tingkat ekonomi yang layak.  Ada dua perkara dalam hal yang bisa dimanfaatkan, yakni tarif murah dan potensi kaum perempuan.

Mengapa perempuan?
Karena perempuan adalah sosok yang berperan sangat penting dalam tinggi rendahnya kualitas seorang anak, sejak ia kecil hingga dewasa. Peran sentral perempuan dalam diri seorang manusia itulah yang melahirkan adagium ‘perempuan adalah tiang kehidupan’. Namun bagaimana seorang perempuan bisa tiang kehidupan yang menghasilkan keluarga dan keturunan yang berkualitas, bila dirinya sendiri tidak lebih daripada ‘tiang yang rapuh’? Sekalipun belum pernah diteliti secara ilmiah, namun dalam kehidupan sehari-hari kita bisa dengan mudah melihat segerombolan perempuan berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Ini bisa meningkat hingga ke taraf menyebar gosip, yang berujung pada pendzoliman terhadap pihak lain. Pada babak lain, adegan dua perempuan saling cakar dan menjambak rambut memerebutkan laki-laki kiranya bukanlah kasus yang spektakuler
.
Tetapi siapakah sesungguhnya kita hingga merasa berhak menghakimi mereka? Sebab kerapkali para perempuan itu bahkan tidak tahu apa yang telah mereka perbuat. Struktur sosial dan struktural yang menasbihkan laki-laki sebagai tiang ekonomi membuat perempuan tak terhindarkan lagi dipaksa masuk ke ruang sub ordinat, salah satunya dengan implikasi pada terlewatinya perempuan dalam pembagian potongan kue pendidikan. Ini berlaku terutama di negara dunia ketiga dan atau berkembang, termasuk Indonesia. Inilah perkara besar yang membuat perempuan dinobatkan sebagai warga kelas dua, sehingga secara umum maupun profesional nilainya dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Andaipun mendapat kue pendidikan, pada kalangan akar rumput kerapkali itu hanya berupa remah-remahnya saja. “Kau hanya akan berakhir di kasur dan dapur” adalah lagu tema yang memaksa cita-cita banyak perempuan terkubur, sedangkan sesungguhnya wilayah kasur dan dapur itu adalah cikal-bakal apakah seorang anak akan bertumbuh menjadi manusia dewasa yang berkualitas atau tidak. Cerita klasik berakhir, dan tinggallah para perempuan meneguk ludah menatap laki-laki mengunyah potongan kue pendidikan yang terbesar. Sedangkan hiburan termewah bagi para perempuan malang itu hanyalah sinetron-sinetron stripping dengan muatan ibu mertua yang dzolim, anak-anak rebutan warisan, tetangga yang saling sirik satu sama lain, arwah-arwah penasaran serta segala setan gentayangan, dan sebagainya, yang lama-kelamaan mereka percaya sebagai sebuah kemutlakan. Dengan kisah yang berawal dan berakhir sedih seperti ini, masih bisakah kita menudingkan jari?

Namun setidaknya di hulu sana masih ada sekelip cahaya, karena bagaimanapun rendahnya posisi seorang perempuan di komunitasnya, ia tetap memiliki dua kekuatan natural yang didapatkannya secara cuma-cuma yakni sifat nurturing (memelihara/mengasuh) dan berkomunikasi. Karakter nurturing yang bersifat given ini membuat perempuan secara alamiah akan merasa bertanggung jawab pada keluarga dan orang-orang yang dikasihinya, sejak terbentuk hingga waktunya kembali ke bumi. Kecenderungan merawat dan mengasuh ini memberi dampak devosi natural, dengan kecenderungan memberikan yang terbaik pada orang-orang terdekatnya. Dan ini tidak terbatas pada suami dan anak-anak saja, melainkan juga kerabat, tetangga, teman-teman, dan berbagai manusia lain yang dekat di hatinya. Sedangkan dalam hal berkomunikasi, sebuah studi menyatakan bahwa perempuan menghamburkan sedikitnya 25 ribu kata setiap harinya sedangkan laki-laki hanya kurang dari sepertiganya saja. Ini membuktikan bahwa perempuan secara natural memiliki potensi sebagai komunikator yang ulung, selain kebutuhan untuk didengarkan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Perkawinan Kekuatan Perempuan dan Komunikasi Murah
Penggabungan dua kekuatan natural di atas akan menghasilkan kecenderungan perempuan untuk memberikan yang terbaik dan bersifat membangun bagi orang-orang yang dikasihinya. Maka perempuan baik yang telah tercerdaskan maupun belum, adalah materi besar yang bisa digarap oleh perusahaan operator telekomunikasi dengan memanfaatkan tarif murah dalam kerangka CSR. Dan bila kekuatan natural perempuan serta komunikasi murah ini dikawinkan oleh operator, maka kelemahan perempuan secara kultural yang menghambat akses mereka terhadap pendidikan akan dengan mudah dipatahkan. Untuk ini maka kita perlu membaginya dalam empat hal, yakni materi untuk meningkatkan kualitas perempuan, metoda serta penyampaian materi, pihak-pihak yang perlu diajak bekerjasama, serta program lanjutan.

1.    Materi Peningkatan Kualitas Diri
Seperti telah dipaparkan di atas, kecerdasan seseorang tidak semata ditentukan oleh latar belakang pendidikannya saja, selain fakta bahwa tidak semua orang punya kesempatan untuk menempuh pendidikan formal hingga ke jenjang tinggi. Terlebih bila dikaitkan dengan perempuan yang waktunya banyak tersita untuk urusan domestik yang tiada habisnya sejak anak lahir hingga tumbuh besar dan hambatan kultural seperti diuraikan di atas, sehingga kesempatan melanjutkan jenjang pendidikan formal seringkali jauh dari jangkauan. Di sinilah operator dapat memberikan pendidikan informal melalui sms gratis atau paket berlangganan murah berbagai tips, informasi, dan pengetahuan umum. Untuk meningkatkan gairah pelanggan dalam menyebarluaskan informasi, operator perlu memberikan insentif seperti pulsa gratis bila pelanggan mencapai kuota tertentu dalam peran serta membagikan informasi-informasi tersebut. Mengingat teknologi yang terus berkembang, tentunya bukan hal sulit bagi operator untuk memantau aktifitas pengiriman sms para pelanggan. Pantauan juga perlu dilakukan terhadap jenis kelamin pengguna, yang bisa dilakukan dengan cara crosscheck identitas saat otorisasi kartu.


Operator bisa membagi berbagai informasi tersebut dalam paket langganan dengan kategori-kategori berbeda sesuai kebutuhan dan atau minat pelanggan. Kategori pertama misalnya paket informasi gizi dan kesehatan, misalnya manfaat tempe untuk meningkatkan kecerdasan anak serta mencegah berbagai penyakit pada orang dewasa, bahaya penggunaan MSG terlalu banyak serta pengganti penyedap rasa yang alami, tips membedakan gula merah non dan bersulfit serta manfaat gula merah non sulfit, dan sebagainya. Kategori lain adalah paket informasi ekonomi dan usaha, yakni informasi berbagai peluang usaha yang bisa dilakukan di rumah tanpa harus mengabaikan keluarga. Dalam hal ini tips perlu diperluas dengan pembagian khusus mulai dari pilihan usaha, pemahaman pemasaran, peluang dan strategi pemasaran serta penjualan, peningkatan kualitas serta standarisasi produk, manajemen keuangan, dan lain-lain.


Kategori selanjutnya adalah lingkungan hidup seperti isu pemanasan global, perubahan iklim, dan sebagainya. Misalnya, dampak buruk penggunaan tas plastik dan stereofoam untuk selanjutnya ajakan membawa kantung belanjaan sendiri dari rumah, kebiasaan membakar sampah dengan residu yang bersifat racun bagi tanah dan persediaan air tanah, krisis air global yang bisa ditangkal dengan cara menghemat penggunaan air serta menghentikan kebiasaan buruk membiarkan kran menyala saat menyabuni piring, gosok gigi, dan sebagainya, membuat sumur resapan sangat sederhana untuk mencegah banjir sekaligus menyimpan air tanah, serta berbagai isu lingkungan lain. Kategori lain yang menarik adalah paket langganan belajar bahasa asing dengan fasilitas audio, sehingga dengan demikian pelanggan bisa melatih kemampuan conversation tanpa harus berburu bule di pelabuhan atau bandara.  


Masih banyak kategori yang bisa ditawarkan oleh operator, namun ada satu hal dasar yang sangat penting dilakukan oleh pihak operator yakni motivasi kepada pelanggan. Pelanggan perlu diyakinkan bahwa menjadi cerdas dengan terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan wawasan, adalah hal terindah yang bisa dihadiahkan oleh seorang perempuan kepada dirinya sendiri. Motivasi selanjutnya adalah bahwa berbagi –termasuk informasi- adalah hal yang sangat mulia, dan peran serta perempuan di sini akan meningkatkan kualitas hidup keluarga secara khusus serta bangsa secara umum. Motivasi ini perlu terus-menerus ditanamkan, dengan keniscayaan bahwa ‘apa yang kita dengar terus-menerus cenderung akan kita percaya’. Penanaman motivasi secara spartan akan membuat pelanggan memercayai kebenarannya secara psikologis. Sebagai akibatnya secara otomatis mereka akan merasa puas pada diri sendiri, ketika sudah melakukan hal-hal positif yang ditanamkan dalam benak mereka tersebut. Dan secara langsung atau tidak, self worth and esteem tersebut akan semakin mendorong mereka untuk kian aktif dalam kegiatan pencerdasan dan peningkatan kualitas hidup tersebut. Pada akhirnya, secara alamiah self worth and esteem akan meningkatkan nilai tawar perempuan itu sendiri. Dan…..voila! Tak peduli apakah seorang perempuan menghabiskan waktunya di balik tembok dapur atau di mana saja, ia akan tetap berakhir sebagai perempuan yang cerdas, berwawasan luas, dan penuh harga diri!


2.    Alat dan Metoda Pengasahan Serta Penyampaiannya.
Yang pertama adalah mengembangkan layanan SMS menjadi langganan paket murah sms berisi berbagai tips dan informasi dari operator seperti telah dijelaskan di atas. Paket murah ini tentunya sudah dilengkapi fasilitas forward sms secara gratis, sehingga pelanggan bisa menyebarluaskannya pada kenalan/sanak keluarganya yang tidak berlangganan paket tersebut. Yang kedua adalah memanfaatkan internet, mengingat kebanyakan telepon genggam sudah dilengkapi dengan fasilitas ini. Operator bisa memanfaatkannya untuk menyebarluaskan link-link yang memuat berbagai informasi positif dengan harga langganan murah. Termasuk di sini adalah langganan tips dan informasi atau grup yang dibentuk oleh operator di Facebook. Yang perlu diedukasikan sejak awal dalam hal ini adalah bahwa internet bisa menjadi pisau bermata dua, yang bila digunakan secara keliru akan menghasilkan dampak negatif dan sebaliknya. Tanpa pengetahuan yang cukup tentang manfaat positif internet, masyarakat bisa menggunakannya untuk hal-hal buruk atau sebaliknya paranoia terhadap internet. Yang ketiga adalah menyediakan fitur-fitur interaktif sehingga pelanggan mendapat keleluasaan untuk bukan hanya menyebar informasi, melainkan juga berdiskusi dengan pelanggan lain sekalipun mereka sebelumnya tidak saling mengenal.


3.    Kerjasama dengan lembaga lain.
Sebagai contoh, dalam sms peningkatan kualitas ekonomi operator dapat bekerjasama dengan pemerintah. Dalam hal ini materi dapat dikerucutkan ke program eknomi kerakyatan seperti KUR, PNPM Mandiri, dan sebagainya. Lembaga-lembaga terkait dalam program ini (dan program-program kesejahteraan rakyat lain) juga perlu dilibatkan, sedikitnya dalam level informasi. Instutisi lain-lain yang perlu digandeng adalah kelompok PKK, Dharma Wanita, LSM Anti Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan, dan lain-lain. Besar pula peluang operator untuk menjadi intermediate bagi pihak perempuan dan lembaga-lembaga tersebut, mengingat kerapkali kaum perempuan terlebih dari kalangan menengah ke bawah sulit untuk mendapatkan akses ke lembaga formal manapun.


4.    Program Lanjutan
Langkah berikut adalah merancang berbagai program, yang setidaknya merupakan penguatan motivasi sekaligus moda publikasi. Yang pertama adalah pembentukan komunitas, yang bila digarap dengan serius akan menjadi movement tersendiri. Dengan peserta para pelanggan paket-paket langganan seperti tersebut di atas, program ini bisa diklasifikasikan menurut letak geografis untuk memermudah acara kopi darat. Program-program pengembangan kualitas diri sendiri, keluarga, dan masyarakat yang terstruktur dan terukur tersebut hendaknya didokumentasikan dengan baik termasuk implikasinya terhadap pelanggan dan komunitas di sekitarnya, misalnya dampak industri rumahan membuat asesori dari bahan bekas terhadap peningkatan ekonomi warga dan perbaikan kesehatan lingkungan. Selanjutnya adalah kompetisi antar komunitas dengan sub-sub tema seperti lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan anak, ekonomi kerakyatan, dan sebagainya. Kompetisi bisa digelar antar wilayah hingga level nasional, dengan publikasi proses kompetisi untuk semakin merangsang minat dan kesadaran masyarakat akan program ini serta berbagai manfaatnya. Akan semakin menarik dan memotivasi bila operator juga memberikan penghargaan untuk kategori ‘Pemimpin Komunitas Terbaik’.


Ke depan saat semua program di atas sudah berjalan baik, operator dapat memberikan pendidikan teknologi internet dan multimedia bagi perempuan dan atau ibu rumah tangga terutama kalangan menengah ke bawah. Program yang dapat dikembangkan di sini misalnya perpustakaan on line, diskusi on line, dan kelas on line dengan pendamping yang disediakan oleh operator. Di sini operator kembali dapat bekerja sama dengan Pos Yandu, PKK, dan berbagai organisasi keperempuanan level dasar, dengan kader-kader yang dapat dilatih pula menjadi pendamping. Dengan demikian, kefasihan teknologi bukan hanya hak perempuan kantoran dengan tas kerja yang disesaki berbagai gadget keluaran terbaru atau perempuan rumahan kelas menengah dan menengah ke atas, namun juga milik perempuan ‘akar rumput’ yang selama ini kerap terbelakangkan.

Bila ini semua terwujud, maka sesulit apa kita mendongkrak kualitas masyarakat? Kaum lugu yang selama ini menjadi bulan-bulanan ‘Mama minta pulsa’ akan dengan mudah tertawa dan membalas “Mama minta pulsa? Tak usah, ya!”. Sebab Si Lugu kini telah cerdas. Dan bukan hanya mampu melawan para scammer, ia bahkan telah sanggup mencerdaskan orang-orang disekelilingnya. Dan bukankah ini adalah salah satu komponen utama percepatan peningkatan kualitas kehidupan bangsa? Inilah hal yang tentunya kita rindukan sebagai bangsa secara kolektif, yakni potensi rakyat Indonesia dengan jumlah hampir 250 juta ini tergarap maksimal dan membantu Indonesia untuk selekasnya mendapat gelar Negara maju dan makmur.

Peningkatan kualitas bangsa ini tentunya juga berdampak pada kemajuan ekonomi yang akan meningkatkan daya beli, sehingga dengan demikian secara finansial perusahaan operator akan menuai buah yang telah ditanam dengan susah-payah. Dan di atas segalanya, perusahaan operator komunikasi akan mendapatkan citra baik sebagai perusahaan yang berperan besar dalam kemajuan bangsa dan Negara. Lebih dari itu perusahaan operator berhasil merobohkan tembok terakhir antara ‘kaum terpilih’ dan ‘tidak terpilih’, sebab apakah seseorang memilih telepon genggam model radio dua band, tempat minum anak TK, atau apa saja, ia tetap memiliki hak dan peluang yang sama untuk mencerdaskan dirinya. Citra ini pula yang akan menentukan preferensi masyarakat, sebab siapapun tentu lebih memilih perusahaan yang dikelola untuk kebaikan bersama dan bukan untuk membuncitkan perut para pemegang sahamnya semata. Pada akhirnya, keputusan untuk menjadi operator pilihan bangsa ada di tangan perusahaan telekomunikasi itu sendiri. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar