Senin, 09 April 2012

Merekalah yang Pantas Disebut Mahasiswa

Belajarlah, kembali ke bangku kuliah kalian. Jadilah juara. Jadilah orang hebat yang kelak memimpin negara ini. Yang kelak jadi direktur. Manajer. Pengusaha hebat. Bukalah lapanngan pekerjaan buat kami. Majukanlah kehidupan kami rakyat miskin dengan cara yang lebih baik. Majukanlah bangsa ini dengan prestasi kalian.

Itulah harapan entah siapa yang saya jadikan preambule dalam posting berjudul 'Mahasiswa? Mahasia-sia? Mahasial? Mahaksiat?' seminggu yang lalu. Harapan yang sederhana, jauh dari muluk-muluk. Namanya juga sederhana, pastilah tidak jauh-jauh dari hal yang bersifat normatif. Seperti halnya tanggung jawab normatif orang tua di manapun adalah memelihara anak-anak mereka. Dan kalau mereka puas dan bangga dengan hal itu, maka itu namanya orang tua yang aneh. Karena sesungguhnya menjadi orangtua itu adalah masalah kesempatan dan atau pilihan. Jadi kalau yang itu saja tidak mampu, lalu buat apa mereka jadi orang tua? 

Saya bukan hendak menentang siapapun yang menaruh harapan di atas terhadap para mahasiswa. Sebab, harapan tersebut adalah harapan yang baik. Sangat baik, malah. Tapi bukankah semua siswa juga diharapkan menjadi seperti itu? Belajar dengan tekun, mengerjakan tugas sebaik-baiknya, menghormati ibu serta bapak guru, mencetak prestasi sebanyak-banyaknya, lalu menjadi generasi cemerlang penerus harapan bangsa. Dan kalau hanya itu saja yang dibebankan pada mahasiswa, lalu apa bedanya mereka dengan anak-anak SD yang buang ingus dengan bersih saja belum tentu bisa? Kalau memang itu standartnya, kiranya tak perlulah mereka jadi mahasiswa. Cukup jadi murid atau siswa, yang resminya dimulai dari tingkat playgroup atau minimal TK.

Orang bilang, semakin tinggi dan terhormat posisi kita, semakin besar pulalah tanggung jawab yang kita emban. Demikian pula mahasiswa. Sekedar kembali ke bangku kuliah dan menjadi juara sangatlah normatif. Kalau jadi maha kemudian outputnya hanya normatif belaka, bukankah jauh panggang dari api namanya? Saya jadi ingat sebuah acara talkshow yang saya tonton di sebuah stasiun televisi swasta, dengan bintang tamu biasanya orang-orang yang berprestasi. Saya sangat gemar talkshow ini, walaupun jarang sekali nonton karena tidak pernah ingat jadwalnya (terus gemar darimana, coba?:)). Tidak etis jika saya sebutkan nama acaranya, tapi cluenya adalah kita diminta  untuk menendang si pembawa acara:). Nah, suatu hari saya beruntung menontonnya (biasanya karena tidak sengaja memencet channel, yang mana jarang saya lakukan karena saya juga jarang menonton televisi secara teratur). Bintang tamunya malam itu adalah seorang anak muda luar biasa, kalau tidak salah namanya Goris Albukhari atau siapalah, saya agak-agak lupa. Anak muda ini diundang oleh Presiden Obama karena prestasinya dalam hal apa saya juga lupa:). Yang jelas, dia punya sebuah komunitas atau sesuatu atau entah apa saya masih tetap lupa (di titik ini pembaca pasti ingin menggampar saya:)). 

Ceritanya, waktu lulus dia berada dalam persimpangan jalan, hendak bekerja di perusahaan luar negeri dengan gaji tinggi atau berbuat sesuatu untuk kampung halamannya. Dan dengan mudah kita bisa menebak bahwa kemudian ia menjatuhkan pilihan pada yang kedua (kalau nggak pasti dia nggak bakal jadi bintang tamu di acara 'Tendang si Kribo', dong:)). Kemudian ia mengajak teman-temannya yang dulu juga pernah buka usaha dengannya jaman kuliah untuk bergabung. Akhirnya, yayasan yang ia bangun tersebut berkembang luar biasa, dan mencakup banyak hal. Tak hanya dalam kegiatan ekonomi namun juga pendidikan, termasuk mengolah sebuah tanaman yang katanya cuma ada di kampung halamannya di Garut. Tak terhitung jumlah anggota masyarakat yang tersentuh dan terangkat taraf hidupnya dari apa yang Goris dan teman-temannya lakukan, baik secara ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Semua itu hebat, namun yang membuat saya terkesan adalah pesan yang ia sampaikan pada mahasiswa di akhir acara, kira-kira begini: "Jangan jadi generasi muda yang cemen, yang lulus kuliah cuma berani ngelamar kerja di perusahaan elit dengan gaji tinggi. Jadilah berani, ambillah resiko dan lakukan sesuatu untuk bangsa dan negara." Begitulah kurang lebihnya.

Luar biasa sekali si Goris ini. Yang biasa terjadi kan begini: sekolah, kuliah, cari kerja atau buka usaha, merintis dari bawah, konsentrasi dan bekerja keras serta prihatin dalam membina stabilitas ekonomi demi diri sendiri dan keluarga, lalu kalau ekonomi sudah mapan mulai bersenang-senang. Demikian polanya, yang kemudian diteruskan pada anak cucu. Pertanyaannya: kapan berbuat sesuatu untuk bangsa dan negara? Tapi pemuda Goris ini sama sekali tidak tergiur dengan jabatan mentereng di perusahaan asing. Dia justru pulang ke kampung halamannya, dan membangun dari titik yang kecil di sana. Goris benar-benar pemuda pemberani yang jauh dari cemen. Saya yakin dia tidak pernah jadi anak alay:).

Dan saya juga yakin, Goris tidak mendadak jadi pejantan tangguh macam ini. Sebab tidak ada seorangpun bisa melewati proses panjang jadi pejantan unggulan. Kalau prosesnya dilompati paling banter ya jadi pejantan karbitan, yang lebih lekas busuk ketimbang yang matang secara natural. Dulu pasti dia benar-benar mahasiswa, dan bukan sekedar anak kuliahan dengan hasil tak beda dari siswa-siswa di bawah levelnya. Apalagi mahasial atau mahaksiat. Saya sendiri meskipun tidak pernah jadi mahaksiat, dengan jujur dan malu mengakui bahwa dulu tak pantas disebut mahasiswa. Saya dulu tak lebih dari sekedar anak kuliahan biasa, yang serba standart, dan segala pencapaian saya tak melebihi level normatif. Sayangnya saya tidak begitu pandai, dan dulu tidak ada yang memberi saya nasihat tentang bagaimana semestinya menjadi mahasiswa. Andai dulu saya paham benar bagaimana menjadi mahasiswa yang sebenar-benarnya, pasti saya akan melakukan salah satu atau lebih dari hal-hal berikut ini:

1. Membangun kelompok dengan teman-teman dan dengan rendah hati serta penuh semangat masuk ke sebuah kampung kumuh di kota saya. Di sana saya dan teman-teman akan mengajak penduduk kampung kumuh tersebut untuk menata kampung sekaligus menghijaukannya, mengolah sampah dan menjual hasil olahan barang buangan tersebut sehingga dengan demikian meningkatkan derajat perekonomian warga, membuat jadwal buang sampah dan kerja bakti serta kesepakatan award and punishment bagi siapapun yang berpartisipasi atau merusak kebersihan dan keindahan kampung. Itu kalau saya prihatin pada kesehatan rakyat miskin yang seringkali tak paham bagaimana hidup sehat itu. 

2. Bekerja keras dengan teman-teman menciptakan bahan bakar dari bahan terbarukan. Kalau bisa malah dari sampah atau bahan bekas apapun, lalu mengembangkannya sehingga bisa dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat. Itu kalau saya  sudah eneg terhadap masalah lingkungan sekaligus isu harga BBM.

3. Terjun ke komunitas anak-anak jalanan, mengajar mereka membaca, berhitung, bahasa Inggris, menulis, membuat puisi dan apapun untuk mencerdaskan mereka. Lalu saya dan teman-teman akan mengajari mereka manajemen keuangan, karena fakta mengatakan bahwa mereka punya kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan uang, hanya tak tahu cara mengaturnya, sehingga keadaan mereka dari dulu ya begitu-begitu saja. Lebih lagi, saya dan teman-teman akan mengajarkan mereka pola hidup yang sehat, termasuk mengatur jadwal tidur dan pola makan. Kalau perlu saya dan teman-teman akan mengajari mereka pengetahuan gizi dan mengelola dapur bersama, sehingga mereka tak perlu setiap kali keluar uang untuk makan di warung. Selain itu, makanan yang dimasak sendiri pastilah lebih sehat dan bersih, karena mereka kan sudah mendapat pendidikan gizi dan kebersihan dari kami. Itu kalau saya gerah pada masalah anak-anak jalanan. 

4. Mengelola jamban umum di kampung-kampung kumuh kota, dan mengolahnya menjadi biogas dengan pipa-pipa yang tersambung ke tiap-tiap rumah. Biaya perawatan dan produksi bisa diperoleh dengan meletakkan kotak di tiap-tiap jamban atau kamar mandi umum. Atau bisa menarik iuran goceng sampai ceban untuk tiap keluarga per bulannya. Dan jika proyek ini berhasil maka saya akan galang kekuatan dengan mahasiswa-mahasiswa dari universitas-universitas lain, tepat seperti mahaksiat berkonsolidasi antar kampus dan atau universitas. Program ini akan membesar dan berkuranglah ketergantungan rakyat pada LPG subsidi pemerintah. Itu kalau saya peduli soal lingkungan sekaligus geram perkara tabung gas 3 kilo yang gemar sekali meledak-ledak seperti cara bicara saya.

5. Menyisihkan uang jajan dan jalan, lalu  bersama teman-teman membuat brosur soal superioritas tempe. Di brosur itu juga akan saya cantumkan resep-resep variatif, kemudian saya sebarkan di puskesmas, rumah sakit umum, posyandu, kampung-kampung, dan di manapun. Kemudian bekerja sama dengan ketua PKK, Kepala Puskesmas, Posyandu atau apapun, saya dan teman-teman akan memberikan penyuluhan sekaligus demo mengolah tempe. Kalau perlu secara berkala saya dan teman-teman akan membuat festival tempe, meskipun dalam skala sederhana. Itu kalau saya peduli soal gizi dan pertumbuhan generasi penerus bangsa.

6. Memenetrasi pengetahuan soal ketahanan pangan. Sekali lagi, bersama teman-teman saya akan bergiat-giat keluar masuk perkampungan terutama kampung-kampung urban, mengajak para penghuni untuk menanam sumber-sumber pangan yang berbeda-beda di tiap-tiap rumah. Lahan perumahan di kota terbatas? Nggak masalah, kan ada yang namanya tabulampot. Lalu memakai lahan terbuka milik warga (atau halaman pribadi) untuk dijadikan kolam lele atau ikan air tawar lainnya. Jadi nggak perlu pusing kalau harga cabe naik. Meskipun tidak semua kebutuhan pangan bisa dipenuhi dengan sistem seperti ini, paling tidak pola seperti ini sangat meringankan. Terlebih mempererat tali kekerabatan dan kerja sama yang kabarnya semakin luntur di tanah air kita.

Ada banyak sekali yang bisa saya lakukan, bukan cuma 6 contoh di atas saja, kalau saya dulu benar-benar mahasiswa. Itu jauh lebih mulia ketimbang memikirkan IPK saja. Jauh lebih mulia ketimbang teriak-teriak soal kemiskinan, gizi buruk, anak jalanan, protes keras soal tabung gas kecil, harga cabe atau sayur-mayur yang naik dan sebagainya, tanpa berbuat apapun untuk menanggulanginya. Tapi tentu saja itu bukan hal yang mudah. Jauh lebih mudah memikirkan bagaimana lulus dengan nilai baik, bekerja di perusahaan besar, meniti karir, memupuk kekayaan, beranak-pinak, menjadi tua sebagai orang kaya, dan mati sebagai manusia yang biasa-biasa saja. Jauh lebih mudah mengorganisir massa dari kampus ke kampus, mengumpulkan ban bekas, membuat huru-hara di jalanan, dan sebagainya. Jauh lebih mudah memaki-maki dengan kata-kata yang paling jahat sekalipun, jauh lebih mudah membuat bom molotov dan menenteng botol air raksa dan menyiramkannya, menggulingkan serta membakar mobil-mobil plat merah, melempari polisi dengan batu, membuat onar di restoran, pompa bensin atau di manapun, jauh lebih mudah melakukan aksi perusakan dengan cara haram apa saja, lalu menghalalkannya dengan kalimat 'memperjuangkan rakyat kecil', ketimbang melakukan setidaknya 6 contoh di atas.

Sebab untuk melakukan hal-hal di atas (dan jauh lebih banyak lagi yang tidak saya cantumkan di sini), jelas membutuhkan kecerdasan dan determinasi tinggi. Hal-hal tersebut membutuhkan kemampuan untuk membuat peta masalah kemudian mencari jalan keluarnya, dengan detil yang jelas di atas kertas maupun di lapangan. Itu semua  membutuhkan kemampuan evaluasi yang akurat. Butuh kemampuan untuk merendahkan diri dan tidak menganggap diri lebih pintar ketika memasuki komunitas kelas bawah yang tidak berpendidikan dan faktanya memang sulit diatur. Butuh dedikasi dan kesabaran. Butuh determinasi yang kuat. Butuh kemampuan di atas rata-rata untuk menyisihkan kepentingan diri sendiri demi kepentingan rakyat kecil dengan cara nyata yang sesungguhnya. Butuh kejujuran yang luar biasa untuk mengakui bahwa kepedulian tidak hanya sebatas makian dan kemampuan melempar bom molotov saja. Butuh seorang mahasiswa yang sesungguhnya untuk menjadi itu semua. Mahasiswa Indonesia, yang benar-benar layak disebut penerus tongkat estafet perjalanan bangsa. Tuhan memberkati anda dan saya, Tuhan memberkati mahasiswa Indonesia!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar