Kamis, 12 April 2012

Galau yang Sehat

Kata galau sudah ada sejak lama, entah kenapa jadi happening secara tiba-tiba. Bahkan saya ikut-ikut memakainya dalam beberapa posting yang sudah ada. Kalau mau jujur, bangsa kita juga tengah galau. Masalah tak kunjung putus, bencana silih berganti, amuk massa di mana-mana, terorisme, gagal panen, rencana kenaikan BBM, aduuuuuhhhhh.....banyak sekali yang lain-lainnya! Belum terhitung masalah pribadi masing-masing. Itu menjawab pertanyaan kenapa rumah sakit jiwa kebanjiran pasien. Narkoba semakin laris. Pusat-pusat dugem makin sesak. Minuman keras dan rumah pelacuran tak pernah kehilangan konsumen, malah tambah membludak. Angka bunuh diri kian meningkat, demikian pula kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi perselingkuhan (kalau yang satu ini kayaknya nggak butuh galau terlebih dulu, deh, karena syahwat memang seringkali lebih suka jalan sendiri:)). Sebutkan hal-hal buruk apa saja sebagai katarsis kegalauan, maka saya jamin bibir anda bakal jontor dibuatnya. 

Tapi sekarang muncul trend baru: galau yang sehat. Ada yang bilang galau yang sehat adalah galau sambil menyapu halaman dan menimbun sampah dedaunan. Atau lari keliling lapangan lima putaran. Atau ngepel rumah dan menguras kamar mandi. Apapun, terserah the galauers. Saya sendiri (ternyata) juga punya acara galau yang sehat. Kenapa saya bilang ternyata? Karena saya menemukannya secara tak sengaja, ketika beberapa hari lalu membersihkan kamar yang tidak saya pakai sekian lama. Di sana, di antara tumpukan buku dan kertas-kertas entah apa, saya menemukan beberapa puisi. Hasil karya saya sendiri:). Waktu saya baca ulang saya merasa terharu sekaligus malu sendiri dibuatnya, karena tak menyangka bahwa saya ternyata bisa puitis juga:). Ketika saya lihat tanggal pembuatannya (yang sayang sekali karena beberapa alasan pribadi tak bisa saya cantumkan di sini), ternyata itu adalah masa-masa di mana saya berada dalam puncak kegalauan. Nah, sidang pembaca yang terhormat dan lemah-lembut, silakan menikmati galau yang sehat a la Yuanita Maya:).


Dalam Teriakan Kalut dan Gelisah

Kepada siapakah kubisa menyerahkan jiwaku yang lelah,
jika bukan kepadamu saja, ya, Allah?
Sebab Kau bisa melebur dalam hatiku yang pedih,
bahkan sekalipun ku tak mengeluh dalam rintih.
Kepadamu sajalah, wahai Allah nan mahsyur,
kubisa memercayakan batinku yang hancur.

Tengoklah bagaimana kumeratap,
hapuslah air mataku supaya kepedihanku tak tinggal tetap.
Perhatikanlah bagaimana kuberseru dalam tangis;
tidakkah air mataku ini lebih deras ketimbang aliran sungai Tigris?

Kiranya jiwaku terhibur oleh janji-janji-Mu yang manis,
dan biarlah deraan-Mu ini membuatku liat dan khalis.
Sebab curahan air mataku serupa hujan nan lebat.
Tak kenal lelah kuberseru pada-Mu dalam ratap yang kuat.
Berbelas kasihlah, ya Allah, pada rintihanku yang menyayat.

Siang malam kuberseru tanpa jemu,
dan tak kan berhenti sebelum Kau ulurkan tangan-Mu.
Tak kan putus kumenangis dalam lolong,
hingga Kau bergegas-gegas datang menolong.

Ya Allah,
kasihanilah!
Sebab jiwaku gelisah,
dan aku bagai buluh yang telah patah.

Hatiku tercerai-berai entah di mana,
bagaikan sebuah kota yang terserak oleh gempa.
Derita membuatku hangus dan kering.
Batinku luruh dalam keping,
karena lelah berseru dalam tangis yang nyaring.

Wahai Kau yang membentangkan langit seorang diri,
bukankah hanya Engkau yang mampu membuatku bangkit berdiri?
Maka ulurkan, Tuhan, ulurkan,
tangan-Mu yang kuat dan penuh belas kasihan.
Sebab sekiranya kukumpulkan semua umat manusia,
adakah jalan keluar yang bisa kudapat dari mereka?
Tetapi pertolonganku ialah dari Engkau,
maka berbuatlah sesuatu agar kutak lagi risau.

Ya Allah yang berkenan memanggilku anak,
kumenunggu-nunggu Engkau bertindak.
Janganlah kiranya pertolongan itu Kau tunda-tunda,
karena jika demikian lebih baik kumati merana.

Biarlah saat ini kumelihat-Mu bangkit,
tuk memberi pertolongan bagi hidup dan jiwaku yang sakit.
Sebab hanya Engkau, ya Tuhan,
dengan kuat kuasa-Mu yang tak terkalahkan,
yang bisa memberiku pertolongan,
hingga kubisa bernapas dalam kelegaan.


Breath taking, ya?:). Beberapa bagian dalam draft puisi yang saya temukan tersebut kabur tintanya, menandakan bahwa saya membuatnya sambil bercucuran air mata. Ketika saya temukan dan baca ulang, saya kembali menangis. Saya teringat masa-masa itu, masa-masa yang begitu pahit dan mencekam. Masa-masa yang membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apalah arti hidup ini? Masa-masa yang terbersit dalam benakpun tidak akan saya alami. Kalau ini berarti buat anda, saya hendak mengatakan bahwa pencobaan saya sama sekali belum usai jua. Saya masih berada dalam ujian yang sama, dan secara manusiawi belum ada tanda-tanda jalan keluarnya. Tapi ada beberapa hal yang membedakan: ketika itu saya merasa lumpuh secara rohani, kini saya tegar menghadapi apapun yang terjadi. Ketika itu saya melihat semuanya gelap, kini saya menjalani kehidupan dengan langkah tegap. Ketika itu saya merasa di ambang hidup dan mati, kini saya merasakan sukacita di hati. 

Saya curiga, mengapa sikap saya bisa berbanding terbalik antara masa itu dan sekarang dengan deraan  dan cobaan yang masih tetap sama, salah satunya adalah karena puisi yang saya tulis tadi. Sebab sekalipun secara kualitatif tidak bisa dibilang 'sesuatu banget', namun saya menuliskannya benar-benar dengan hati yang hancur. Dan saya membawa hati yang tinggal serpih-serpih tersebut kepada Tuhan, bukan kepada siapa-siapa. Bukan kepada orang tua, saudara atau teman-teman saya. Bukan kepada apa-apa, bukan kepada minuman keras, narkoba, obat tidur melebihi dosis supaya saya lelap dan tak bangun lagi, atau apapun. Saya lantak secara jasmani. Dan hampir mati secara rohani. Kemudian diri saya yang nyaris tak bersisa ini saya serahkan seutuhnya kepada Sang Penguasa langit dan bumi. Saya percaya Ia tersentuh dengan tiap patah kata yang saya tuliskan, yang kabur dan nyaris tak bisa terbaca karena air mata yang tumpah tak tertahankan. Namun Ia Maha Melihat. Ia tak hanya mampu melihat tulisan yang lenyap oleh tumpahan air mata atau bahkan minyak sekalipun. Ia tak hanya mampu melihat lubuk hati saya yang telah busuk oleh kepedihan, duka cita, dan rasa terhina yang jauh melampaui akal pikiran manusia. Lebih dari itu, Ia menghargai setiap tetes air mata saya. Ia menghargai setiap keluh-kesah dan jerit putus asa saya. Ia menghargai betapa saya memilih datang untuk menangis dan meratap pada-Nya, dan bukan yang lain-lainnya. Itu sebabnya Ia kemudian memberi saya kekuatan yang baru. Dan sukacita yang tidak akan pernah saya dapat dari siapapun atau apapun juga. 

Kalau saya boleh jujur, saya menulis posting ini dengan air mata yang berlelehan di pipi. Sebab saya mengingat tiap detil bagaimana Tuhan menunjukkan cinta, kasih, penyertaan, kemurahan, dan pertolongan-Nya yang tak putus-putus. Saya menangis untuk tiap-tiap kekuatan yang Ia berkenan bagi pada saya. Saya menangis untuk cara-Nya menghargai cara saya menghormati-Nya. Saya sebetulnya malu, sangat malu membicarakan masalah yang demikian pribadi pada anda semua. Namun saya tahu bahwa saya punya kewajiban untuk membagi berkat apapun yang telah saya terima. Bahwa saya melarikan kegalauan dengan cara yang sehat adalah sebuah berkat. Bahwa dengan cara itu saya semakin merasakan kemurahan Tuhan adalah berkat yang lainnya. Dan semua itu tak boleh berhenti hanya pada catatan hidup saya pribadi. Sebab saya tahu anda semua pasti juga punya masalah dalam menjalani kehidupan ini, dan anda layak untuk menumpahkan kegelisahan serta kegalauan anda dengan cara yang sehat. Cara yang menyenangkan hati Tuhan, yang membuat kasih dan pertolongan-Nya semakin nyata bagi anda.

Biarlah masing-masing kita, tiap-tiap pribadi yang hidup di tanah Indonesia menemukan cara masing-masing untuk mengatasi kegalauan dengan cara yang berkenan di hadapan Tuhan. Supaya oleh kita berkat-Nya makin tercurah, bagi anda dan saya, bagi Indonesia. Tuhan mengobati semua luka anda dan saya, Tuhan mengobati Indonesia!

6 komentar:

  1. Salute utk pelampiasan jiwa Anda saat dilanda k'galauan...!!

    tpi maaf, saya agak merinding ketika membaca/memaknai alinea ke 8 barisan 3-4...:::

    Janganlah kiranya pertolongan itu Kau tunda-tunda,
    karena jika demikian lebih baik kumati merana....

    :bukankah kalimat tsb bermuatan 'ancaman' thd Yang Mahakuasa... mohon pencerahannya...

    BalasHapus
  2. Betul mbak saya juga merinding seperti mas Eky...sepertinya tiada rasa syukur dan percaya pada kasih Tuhan yang senantiasa melimpah kepada kita sadar atau tidak kita sadari... Siapakah kita? apa hak kita? kita yg seperti inipun tetap direngkuhNya. Kembangkan syukur,menerima dan siap melepas apapun yg membuat kita melekat dengan keduniawian yg sifatnya sementara dan kosong ini..tujukan hati kita hanya satu pada kasih dan kehendakNya maka saya percaya segala kegalauan, penderitaan akan lewat...GBU

    BalasHapus
  3. Bung Eky Tulalo yang baik budi, saya akan tidurkan kembali bulu-bulu kuduk anda yang berdiri (demikian juga bung Yosumi). Jawaban saya akan panjang dan lebar, maka kiranya anda berdua membacanya dengan sabar. Kemudian, untuk menjawab pertanyaan ini mau tak mau saya harus memakai perspektif iman saya, yakni kristen. Karena siapa tahu anda berbeda keyakinan dengan saya, maka saya harus terlebih dahulu menjelaskan bagaimana duduk perkaranya dalam paradigma kristen. Eng ing eng....:):
    1. Tidak perlu memeluk agama Kristen untuk mengerti bahwa kami juga menyebut Tuhan dengan Bapa. Karena sesuai yang tertera dalam Alkitab, demikianlah Ia memosisikan diri kepada kami umat yang percaya pada-Nya, yakni sebagai Ayah atau Bapa Surgawi. Dalam kapasitasnya sebagai Maha Pencipta yang Kuasa, Ia begitu manis dan murah hati, sehingga tidak semata-mata menempatkan Diri sebagai Sosok yang Berwibawa dan Kuat Kuasa. Namun Ia juga mengambil porsi sebagai Bapa (tentu saja dalam hal ini yang kita bicarakan adalah bapak yang baik, bukan yang menelantarkan anaknya atau memelihara hanya dalam tataran standart saja). Sebagai Bapa Sorgawi yang berlimpah kasih dan tanpa cacat, Ia adalah sosok yang bisa kita temui kapan saja, entah sedang bahagia atau sedang galau. Dan apapun yang kita bawa kepada-Nya, sebagai Bapa Sorgawi yang tak terbatas sayang serta tanggung jawab serta kemampuan-Nya, maka Ia akan menyediakan segala yang kita butuhkan. Tidak ada sekat dalam hal ini antara saya sebagai anak dan Ia sebagai Bapa. Saya bisa curhat apa saja, sepuasnya,tanpa rasa risih atau canggung, apalagi takut dengan adanya batasan antara Sang Pencipta dengan mahluk ciptaan-Nya.
    2. Saya harus bercerita bahwa saya punya hubungan yang dekat dengan bapak saya. Kami biasa saling curhat apa saja dan sebagai anak kebannyakan saya patuh terhadap beliau. Tapi namanya manusia, tentu beliau tak luput dari kesalahan. Kadang saya kena marah untuk kesalahan yang sama sekali tidak saya lakukan. Kalau sudah begini biasanya saya ngambeg, lalu mogok bicara:). Dan saya betah sekali kalau disuruh begini:). Biasanya bapak saya tak peduli, namun hanya tahan selama beberapa hari:). Sesudahnya beliau pasti berusaha cari perhatian:) sampai saya mau bicara lagi (benar-benarbesarkepaladotcom). Itulah bapak manusiawi saya yang begitu baik dan saya sayangi, pun sangat sayang pada saya. Dan Bapa Surgawi saya jauuuuuuuhhhhhh....lebih hebat ketimbang beliau. kalau saya boleh ngambeg pada bapak duniawi saya, lalu kenapa saya tidak boleh 'ngambeg' pada Bapa Sorgawi saya? Kalau bapa duniawi saya bisa mengerti mengapa saya merajuk, kenapa saya berani berpikir bahwa Bapa Surgawi saya tidak bisa memahami kekesalan hati saya? Dan jauh di atas segalanya, Ialah yang menciptakan saya, merancang saya jauh-jauh hari sebelum saya diletakkan dalam kandungan ibu saya. Ia tahu lubuk hati saya yang paling dalam, bahkan jauh melampaui pengetahuan saya tentang diri saya sendiri. Nah, perkara ngambeg saya ada perbandingan, yakni Nabi Yunus yang kesal dan ngambeg pada Tuhan. Bukannya murka, Tuhan melunakkan hati dan membujuk Yunus supaya tak ngambeg lagi. Bukannya saya berpretensi membanding-bandingkan diri saya dengan nabi, tapi saya tahu pasti bahwa saya tak perlu harus jadi nabi terlebih dahulu untuk mendapat kasih sayang dan pengertian yang melimpah dan dalam dari Bapa Sorgawi saya.

    BalasHapus
  4. Sambungan di atas:

    3. Puisi saya di atas adalah berisi keluh, kesah, dan ratapan. Kedengarannya kurang ajar, ya? Sudah bagus diberi hidup dengan segala berkat, eh, masih juga lebay. Tapi biarlah saya ceritakan suatu hal. Dulu, hingga sekitar 8 atau 10 tahun lalu, saya sama sekali tak pernah mengadukan masalah saya pada Tuhan, seberat apapun. Menurut hemat saya, sangat tidak pantas jika saya datang-datang hanya untuk mengeluh, apalagi menangis. Kemudian datanglah suatu masa ketika saya sedang sedih dan menahan kesedihan itu seorang diri karena tidak berani curhat pada Tuhan. Saat itu saya membaca Alkitab, dan menemukan sebuah ayat yang kira-kira demikian bunyinya,"Setiap tetes air matamu Kutampung dalam kirbat-Ku." Kirbat adalah tempat penyimpanan anggur yang sangat berharga. Betapa saya tersentak ketika menyadari bahwasanya tiap tetes air mata saya dipandang sangat berharga oleh-Nya,untuk kemudian ditampung dalam kirbat-Nya. Lalu saya mengerti bahwa Ia sangat menghargai bila kita datang pada-Nya membawa beban dan keluhan, dan menangis saat memohon pertolongan dan mengajukan keluhan. Ia menghargai semua itu sama besarnya dengan Ia menghargai ucapan syukur kita atas segala perkara. Sejak itu, sayapun jadi hobi curhat di depan Tuhan, dan cengengnya luar biasa:). Rasanya sungguh nikmat, sangat membebaskan, dan tiap kali melakukan-Nya saya semakin tahu bahwa cinta-Nya pada saya kian berkembang hari demi hari. Sayapun berkembang menjadi manusia yang tak takut membuka diri pada Pencipta saya, sebab saya tahu kemurahan dan kasih-Nya mengataai apapun, termasuk semua dosa dan kesalahan saya. Terpujilah Tuhan dari dulu, sekarang, hingga selama-lamanya!
    Demikianlah 'pencerahan' yang bisa di saya berikan, semoga benar-benar dapat mencerahkan anda. Btw, enak lho cengeng di hadapan Tuhan. Cobain aja:).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika mas eky n mas Yos merinding, saya malah hampir meneteskan air mata sebagai tanda larut dalam suasana galau-gundah si cengeng yang tak bukan adalah si penulis puisi..

      Oh my God! I love the way Yuanita Maya 'ngambek'
      Sangat berkarakter, ekspresif, dan hidup!
      (Jujur, pada situasi tertentu saya juga melakukan hal yang sama: cengeng n ngambek. Benar2 jurus jitu untuk merebut perhatianNya. Terkesan egois memang, tapi ini adalah 'bumbu yang halal' dalam hubungan yang saling mengasihi.

      Kepada Tuhan, mengapa harus jaga image? Saya belum pernah melihat indikasi bahwa Tuhan adalah pribadi yang ja'im.

      Hapus
  5. Kali ini giliran saya yang merinding, dan semua gara-gara Mbak Sarintan (tumben komen di sini, mbak. Biasanya cuma mau komen di FB:)). Merindingnya pas sampai di kalimat 'cengeng dan ngambeg benar-benar jurus jitu dalam merebut perhatian-Nya'. Kalau Mbak Sarintan saja hampir meneteskan air mata haru, maka bukan main tersentuhnya Bapa Sorgawi saya maniiiiiiissssssss..... dan lembuuuuuuuuuuttttt.... hati itu. Tapi kalimat paling mak 'nyes' dari komentar Mbak Sarintan adalah 'Saya belum pernah melihat indikasi bahwa Tuhan adalah Pribadi yang jaim (huruf besar pada kata 'Pribadi' ya, Mbak:)'. Saya sangat bersyukur punya Tuhan yang bisa ditemui kapanpun, dengan suasana hati apapun, bahkan ketika saya merajuk dan sok imut. Dan harus diakui, ketika saya 'sok imut' di hadapan bapak saya yang di dunia, saya bisa dengan sangat mudah merebut perhatiannya. Apalagi di depan Bapak saya di Surga. Sebab hati-Nya pasti melebihi luas samudra, dan kelembutan-Nya tentulah melebihi kapas yang berkualitas paling tinggi sekalipun. Soenggoeh, saya tidak pernah merasa begitu terlindung dan disayangi kecuali saat berada di dekat-Nya *mewek again*. Terpujilah Tuhan yang selalu membuka hati untuk anak-anakNya!

    (Btw, saya menanti-nanti komentar (atau lebih tepat postingan:)) Lomar Dasika. Ke mana dia, ya? Lomiiiieeee.... can't you feel how much i miss you??? *suara bergetar tanda menghiba*.

    BalasHapus