Kamis, 19 April 2012


Berhenti Mendongak Dengan Dada Sesak.

Rasa cinta dan pesimis telah sama besar dalam negeri ini. Cinta negara mulai terkikis oleh sikap pesimis akan masa depan yang terus jadi pertanyaan dalam diri rakyat. Seperti apakah negara ini 30 tahun lagi? Akankah kita kuat bersatu dan mengangkat Merah Putih kembali disegani dunia Internasional?

Itu tadi adalah komen dari seorang pembaca blog Indonesia Saja! Sampai Akhir Menutup Mata…. Hanya saja ia menuliskannya dalam sebuah postingan di sebuah grup yang saya ikuti. Dalam berbagai posting sebelumnya saya telah berkoar-koar betapa pentingnya kita untuk kembali kepada Pancasila, di mana butir favorit saya yakni butir kedua sila pertama menganjurkan kita untuk kembali ke kitab. Dan sebagai orang yang tengah berjuang supaya ketika mati kelak disebut ‘Seorang Pancasilais sejati’, maka sayapun kembali ke Al-kitab. Ya iyalah, masa Al-Qur’an, wong saya Kristen. Nanti malah saya jadi ‘umat yang aneh’, bersaing dengan umat yang narsis dan umat yang lebay:) (anda yang punya kitab berbeda dengan saya silakan datang pada masing-masing kitab anda). Ada salah satu ayat favorit saya (saya memang punya banyak ayat favorit sebagai pemompa semangat), yang bunyinya: “Siapa yang senantiasa memperhatikan awan tidak akan menabur. Siapa yang senantiasa melihat langit tidak akan menuai.” Ya iyalah, gimana mau menuai kalau menabur aja enggak? Di sini patut saya jelaskan, bahwa sebagai orang Kristen saya terbiasa dengan bahasa Alkitab yang seringkali sangat metaforis (tidak tahu antara anda dan kitab tuntunan anda). Awan di sini bagi saya secara pribadi adalah metafora bagi masalah-masalah hidup, baik dalam kapasitas sebagai pribadi atau anggota masyarakat, dan lebih luas lagi dalam skup kebangsaan sebagai manusia Indonesia. Entah dalam kapasitas sebagai apapun, ada banyak masalah yang dalam derajat tertentu berpotensi membuat kita menjadi galau. Nah, waktu membaca dan merenungkan ayat ini saya membayangkan dua orang petani yang berangkat dari rumah dengan bekal benih.

Beginilah kisah imajiner saya secara lengkap: Sesampai di sawah, baru menabur beberapa benih, tiba-tiba gelap memayungi dua petani yang nampak enerjik tersebut. Mendung ternyata datang begitu saja di luar dugaan, dan tiba-tiba terdengarlah guntur yang menggelegar bertalu-talu. Dua petani tersebut langsung galau. Mereka berpandangan, lalu petani yang pertama berkata sambil mengangkat bahu, ”Halah, sutralah. Cuma mendung ini.” Petani kedua ngeyel, “Tapi ini gelap banget, bro, mana guntur bersahutan lagi.” “So what gitu loh?” kata si petani pertama cuek, sambil tetap menabur benihnya. “Hih, bro, kalau hujan deras terus sawah kita tergenang gimana? Apa kabar bibit-bibit kita?”, petani kedua menangkis dengan semangat pesimis. “Bro, jangan berisik, kalau ngoceh terus kapan kelarnya? SEMANGKA'! SEMANGAT KAKA',” seru petani pertama bergelora. “Bro, jangan kamseupay, deh!” ketus petani kedua, “Masak nggak tau kalau hujan yang datang bukan pada masanya bisa bikin rusak urusan kita?”. Sekarang petani pertama benar-benar kesal, lalu menghardik, “Terserah elo, deh, bro, kalau lebih suka mendongak dengan dada sesak lalu berhenti bergerak. Kalau memang begitu lebih baik kita jalan sendiri-sendiri. Pokoknya, lo, gue, end!”. Dua petani yang ternyata alay tersebut kemudian terpisah jarak, karena petani yang pertama terus menabur dan tak mau buang waktu untuk mendongak-dongakkan kepala ke arah langit lebih dari dua kali, sedangkan petani kedua terus menerus memandang awan pekat dengan galau, sehingga ia hanya bergerak sedikit dari posisinya semula. Dan tanpa saya perlu susah-payah mengarang lebih panjang, kita semua tahu siapa yang akhirnya menuai happy ending story *maksa*.

Demikian juglah langkah yang saya lakukan, yang mana terilhami dari petani pertama. Saya mendengar guntur menggelegar bersahutan dan awan pekat yang memekatkan, kemudian saya putuskan untuk menabur dengan bijih-bijih yang saya miliki, sesedikit apapun itu. Ketika seorang petani menanam bijih anggur, tak mungkinlah ia menuai duri. Tak mungkin pula ia menuai hanya satu butir buah anggur. Tuaiannya pasti anggur juga, yang jika dirawat dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan buah yang jauh lebih lezat. Dan berlipat-lipat. Itulah yang sedang saya lakukan, dengan segala keterbatasan yang saya miliki. Saya tidak sudi mendongak ke atas terus menerus dengan dada berdebar cemas, hingga hilang waktu dan kesempatan untuk menabur, lalu kehilangan kesempatan untuk menuai.

Tentu saja ada waktu di mana saya serasa tercekik dengan masalah-masalah yang membelit, dan akhirnya jadi galau luar biasa. Tapi saya sama sekali tak sudi distir oleh rasa galau. Bukan masalah yang mengendalikan saya, melainkan sayalah yang mengendalikannya. Galau lebay cukuplah dinikmati sesaat, setelah itu, hey, life goes on! Setelah air mata tumpah ruah dan serasa kering, kembalilah ke dunia nyata sambil kumpulkan segala mitraliur yang ada. Omong kosong jika Tuhan menempatkan kita di dunia tanpa ‘mesiu’ apa-apa. Kita semua pasti punya teman, sanak-saudara, tetangga, dan sebagainya. Itu salah satu mesiu kita. Kita punya tubuh dan tenaga, talenta, kesempatan, pekerjaan, keluarga atau anak-anak  yang harus diurus, dan sebagainya. Saya punya buku favorit berjudul ‘Dog Stories’ karangan James Herriot. Dengan pengalamannya sebagai dokter hewan di pedesaan Yorksire selama puluhan tahun, ia belajar mengerti bahwa seringkali hewan-hewan jadi hancur semangatnya ketika kehilangan teman bermain atau tuannya, dan dalam derajat yang terburuk bisa menggiring mereka kepada kematian yang lebih cepat dari yang seharusnya. Sebaliknya ada banyak pula kasus yang menarik, misalnya seekor induk domba yang kepayahan karena pendarahan setelah melahirkan ternyata pulih dengan ajaib, hanya karena secara natural ia tahu bahwa ada domba-domba kecil yang harus disusui serta dirawatnya.

Itulah insting alami yang Tuhan anugerahkan pada hewan yang tak memiliki akal budi. Apalagi kita, manusia yang diciptakan-Nya sebagai mahluk paling sempurna. Paling tidak, jika anda sudah sampai pada titik merasa tak ada gunanya lagi hidup, atau sudah tak peduli lagi pada apapun, anda bisa memalingkan perhatian, tenaga, pikiran, dan konsentrasi anda pada hal-hal yang harus anda urus, sesederhana apapun itu. Untuk tiap-tiap hal yang mana anda punya andil atau tanggung jawab kepadanya, saya yakin Tuhan sudah memberikan setidaknya satu bijih talenta. Mungkin anda ibu rumah tangga yang sedang hancur karena ditinggal kabur suami begitu saja? Di sini anda punya bijih talenta kecil untuk tetap berada di samping anak-anak anda dan merawat mereka dengan segenap cinta yang anda miliki. Anda juga punya bilih talenta doa. Atau apapun. Mungkin anda adalah orang tua yang tak dipedulikan lagi oleh anak-anak anda yang telah anda besarkan dengan susah-payah? Di sini bisa jadi anda diberi talenta untuk membuat kelompok penguatan dengan mereka yang bernasib sama seperti anda. Atau setidaknya talenta untuk mendoakan pertobatan anak-anak anda.

Bagaimanapun bentuk awan gelapnya dan seberapapun pekatnya, dengan sangat saya memohon agar anda tidak terus-menerus memerhatikannya dengan gundah dan gelisah. Karena itu semua adalah bibit-bibit pesimisme, yang jika dikembangkan akan menjadi pohon apatisme. Palingkan perhatian anda pada bijih-bijih talenta yang anda miliki di telapak tangan anda, lalu taburkan, dan anda akan terkejut dengan tuaian yang anda dapat di kemudian hari! Akan tiba saatnya. di mana Sang Saka Merah Putih nan agung itu berkibar-kibar di jagad dunia dengan semua kepala memandang hormat kepadanya. Melalui tulisan-tulisan saya dalam blog ini, saya menabur bijih kecil yang saya punya untuk Indonesia. Kalau saya saja bisa, apalagi anda! Marilah sekarang juga kita berhenti melihat awan dan mulai menaburkan bijih-bijih talenta kita di tanah dan air Indonesia, supaya negeri dan anak cucu kita menuai hasilnya.

Tuhan memberkati benih-benih yang ditabur oleh tangan anda dan saya! Tuhan memberkati tuaian kita bagi Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar